Liputan6.com, Singapura - Singapore Biennale 2022 resmi dimulai pada Minggu, 16 Oktober 2022. Diselenggarakan oleh Singapore Art Museum (SAM), edisi ke-7 pameran karya seni kontemporer dua tahunan di Singapura itu dinamai Natasha.
Empat kurator dari berbagai negara menyeleksi berbagai karya seni untuk ditampilkan di Singapore Biennale tahun ini. Mereka adalah Binna Choi dari Korea, Nida Ghouse dari India yang kini tinggal di Jerman, June Yap dari Singapura, dan Ala Younis asal Jordan.
Tim kurator sengaja memilih nama yang familiar sebagai upaya menjauh dari pemahaman mengenai biennale yang cenderung dikenal dengan pameran megah yang dianggap berbeda dari cara-cara seni. Mereka berharap pengunjung gelaran seni akar tersebut bisa menemukan makna suatu karya seni dari berbagai perspektif.
Advertisement
Baca Juga
Singapore Biennale dilaksanakan di sejumlah lokasi, yakni Singapore Art Museum di Tanjong Pagar Distripark (SAM TPD), Singapore Art Museum (SAM) Hoardings di Bras Basah dan Queen Street, Sentosa Cove, St John's Island, Lazarus Island, Singapore Flyer, International Plaza, dan Yan Kit Playfield. Setidaknya 100 karya seni dari 50 seniman secara individu maupun hasil kolaborasi dari berbagai negara ditampilkan pada ajang itu.
Liputan6.com berkesempatan mengunjungi galeri SAM TPD, yang menjadi lokasi utama pembukaan biennale pada Sabtu malam, 15 Oktober 2022. Didapati karya seni ditampilkan dalam beragam bentuk. Instalasi multimedia dan media campuran yang berupa gabungan karya seni, dari lukisan, video, hingga rekaman suara, menonjol di ruang pamer itu.
Rata-rata merespons beragam isu sosial, mulai dari isu lingkungan, pengalaman masa lampau, hidup di masa pandemi Covid-19, hingga pasca-pandemi. Salah satunya karya seni berupa patung sonik bertajuk The Hybrid Intermediates -Â Flourishing Electrophorus Duo (Sonic Intermediate - Hairy Carbonous Dweller and The Randing Intermediate - Furless Uncolored Dweller).
Karya seniman asal Korea Selatan, Haegue Yang. Ada dua patung sonik yang dihadirkan. Satu terbuat dari sedotan plastik dan lonceng, sedangkan patung kedua memanfaatkan anyaman jerami dan bambu, yang menggambarkan perjalanan tradisional dan moden manusia dalam segala aspek.
Â
Dari Kisah Cinta hingga Pandemi
Beralih ke karya seni berjudul Hut Tep Soda Chan yang berarti gubuk seorang malaikat. Karya instalasi media campuran itu dibuat oleh seniman Kamboja, Kanitha Tith. Karya tersebut terinspirasi dari film Khmer buatan 1968 tentang kisah cinta antara manusia dan malaikat.
Lewat karya itu, Tith ingin menggambarkan soal seseorang yang miskin dalam harta benda tetapi bisa kaya dalam kebahagiaan dan cinta. Si seniman menampilkan banyak simbol lewat gambaran rumah si miskin, yang hanya memiliki tempat tidur, televisi usang, serta foto-foto dan barang tua khas warga Kamboja.
Berlanjut ke karya berikutnya, The Viscous Sea. Karya seni berupa instalasi audio visual imersif itu merupakan garapan seniman lokal Singapura, Ong Kian Peng. Ia mengeksplorasi efek perubahan iklim dan hubungan manusia dengan alam.Â
Ong terinspirasi dari dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat perusakan oleh manusia secara terus-menerus. Gambar bergerak yang ditampilkan merupakan hasil penelitiannya bersama seniman Darat al Funun di Laut Mati, Yordania, pada Mei--Juli 2022.
Saya juga sempat menyambangi Museum Rumah Nina Bell F. Karya yang terinspirasi dari kegiatan manusia saat pandemi Covid-19 itu merupakan hasil kolektif dari seniman Donghwan Kam, Sophia Park, Ying Que, dan Nuraini Juliastuti. Nama terakhir merupakan seniman asal Indonesia.
Advertisement
Suku Minahasa
Sentuhan seniman Indonesia lainnya datang dari Natasha Tontey, seniman asal Jakarta yang berbasis di Yogyakarta. Pada Singapore Biennale 2022 ini, dia menampilkan karya seni bertajuk Garden Amidst The Flame; Lacuna For Compassion (2022).
Suku Minahasa menjadi fokus utama Natasha Tontey pada karya seninya yang dipamerkan di Singapore Art Museum (SAM) Tanjong Pagar Distripark (TPD). Karyanya berbentuk instalasi multimedia berupa video yang berfokus pada upacara ritual masyarakat Minahasa yang disebut Karai.
Dalam ritual itu, prajurit Minahasa mengenakan baju besi yang tidak dapat ditembus, sehingga membuat diri mereka kebal. Co-Artistic Director Binna Choi menyebut, Natasha mencoba menampilkan kembali Karai, yang sebagian besar dipahami sebagai ritual hiper-maskulin karena sebagian besar hanya diikuti laki-laki.
Daripada mengaitkan hal itu dengan agresi dan maskulinitas, Tontey mencoba mengkaitkan ritual Karai dengan kepedulian dan kerentanan. Kepercayaan suku Minahasa terhadap cerita penciptaan itu juga dapat dilihat melalui mural yang ditampilkan.
Harga Tiket
Ada pula karya seni dari seniman Indonesia lainnya berjudul Ex. Asi Archive yang digagas Extended Asia. Itu adalah platform yang dijalankan oleh seniman Indonesia seperti Andang Kelana, Aditya Fachrizal Hafiz, Theo Nugraha, Nissal Nur Afryansah, dan Alifah Melisa. Proyek ini dapat dijumpai di Tanjong Pagar Distripark (TPD), Singapura pada galeri 1 .
Singapore Biennale 2022 bakal dibuka untuk umum hingga 19 Maret 2023. Pengunjung disarankan membeli tiket terlebih dulu. Informasi mengenai tiket dapat diperoleh pada website resmi Singapore Biennale www.singaporebiennale.org
Untuk warga Singapura, tiket dibanderol seharga 15 dolar Singapura atau setara Rp162 ribu. Sementara bagi yang bukan warga negara Singapura atau tidak menetap di Singapura, akan dikenai biaya tiket 25 dolar Singapura atau senilai Rp270 ribu. Tiket masuk Singapore Biennale 2022 gratis untuk anak-anak berusia 6 tahun ke bawah, penyandang disabilitas siswa dan guru yang tinggal di Singapura.Â
Tersedia pula konsesi untuk pelajar asing, manula berusia 60 tahun ke atas, dan National Servicemen (NSF) penuh waktu. Bagi pelajar asing dan manula bukan warga negara Singapura harga tiket konsesi dijual senilai 20.00 dolar Singapura atau sekitar Rp216 ribu. (Winda Nelfira)
Advertisement