Sukses

Sejarah hingga Makna Logo Sumpah Pemuda 2022

Sumpah Pemuda 2022 mengusung tema "Bersatu Bangun Bangsa".

Liputan6.com, Jakarta - Peringatan Sumpah Pemuda setiap tahunnya jatuh pada 28 Oktober. Pertama kali dideklarasikan pada 1928 silam, tahun ini Sumpah Pemuda telah memasuki perayaan yang ke-94.

Berdasarkan Surat Edaran Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI terkait Panduan Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-94 Tahun 2022, tertuang pula terkait tema hingga logo Sumpah Pemuda 2022. Surat Edaran yang ditandatangani Menpora Zainudin Amali pada 21 September 2022 itu tertera bahwa peringatan tahun ini adalah "Bersatu Bangun Bangsa".

Sedangkan logo Sumpah Pemuda 2022 menunjukkan angka "94" dengan paduan warna hingga garis yang memiliki makna tersendiri. Mulai dari karakter logo merupakan karakteristik penggabungan warna yang menggambarkan Indonesia memiliki keberagaman suku, bangsa, dan budaya.

Makna garis dari logo Sumpah Pemuda 2022, yakni garis putih yang berada dalam angka 9 dan 4 mengikuti bentuk logo. Ini juga menjadi satu kesatuan yang menambah indahnya keberagaman sekaligus menjadi simbol persatuan yang suci.

Berlanjut dengan makna lingkaran, yakni dijelaskan ibarat gambar kepalan tangan yang menggambarkan semangat persatuan dan semangat kepemudaan. Terakhir, dua garis berjajar yang mengarah ke atas menggambarkan semangat pemuda-pemudi Indonesia untuk terus bangkit bersama sebagai wujud dari rasa cintanya pada Indonesia.

Dikutip dari laman resmi Museum Sumpah Pemuda, Senin (24/10/2022), sejarah Sumpah Pemuda dimulai dari gagasan digelarnya Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Ini adalah sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia.

2 dari 4 halaman

Sejarah Sumpah Pemuda

Atas inisiatif PPPI, kongres berlangsung di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat sampai akhirnya menghasilkan Sumpah Pemuda. Berikut ketiga rapat tersebut:

Rapat Pertama, Gedung Katholieke Jongenlingen Bond

Rapat pertama diselenggarakan pada Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda.

Acara lantas dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin mengenai arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yakni sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat Kedua, Gedung Oost-Java Bioscoop

Kemudian rapat kedua berlangsung pada Minggu, 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop. Rapat ini membahas terkait masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan.

Mereka juga sepakat harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

3 dari 4 halaman

Rapat Ketiga

Pada sesi selanjutnya, Soenario mengungkapkan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan menjelaskan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.

Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia" karya Wage Rudolf Supratman.

Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres.

Oleh pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia, berbunyi:

"PERTAMA.

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE,TANAH INDONESIA.

KEDOEA.

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE,BANGSA INDONESIA.

KETIGA.

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA."

Sementara, kronologis waktu perkembangan Gedung Sumpah Pemuda bermula dari Commensalen Huis pada 1908. Menurut catatan yang ada, Museum Sumpah Pemuda pada awalnya adalah rumah tinggal milik Sie Kong Lian. Gedung didirikan pada permulaan abad ke-20.

Sejak 1908, Gedung Kramat disewa pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechtsschool) sebagai tempat tinggal dan belajar, yang kala itu dikenal dengan nama Commensalen Huis. Mahasiswa yang pernah tinggal adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.

 
4 dari 4 halaman

Gedung Sumpah Pemuda

Sejak 1927, Gedung Kramat 106 digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk berkegiatan pergerakan. Bung Karno dan tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung kerap hadir di Gedung Kramat 106 untuk membicarakan format perjuangan dengan para penghuni Gedung Kramat 106.

Di gedung ini pernah diselenggarakan kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, PPPI. Gedung ini juga menjadi sekretariat PPPI dan sekretariat majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI. Mengingat digunakan berbagai organisasi, maka sejak 1927 Gedung Kramat 106 yang semula bernama Langen Siswo diberi nama Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).

Pada 15 Agustus 1928, di gedung ini diputuskan akan diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua pada Oktober 1928. Soegondo Djojopuspito, ketua PPPI, terpilih sebagai ketua kongres. Kalau pada Kongres Pemuda Pertama telah berhasil diselesaikan perbedaan-perbedaan sempit berdasarkan kedaerahan dan tercipta persatuan bangsa Indonesia, Kongres Pemuda Kedua diharapkan akan menghasilkan keputusan yang lebih maju. Di gedung ini memang dihasilkan keputusan yang lebih maju, yang lantas dikenal sebagai sumpah pemuda.

Setelah peristiwa Sumpah Pemuda banyak penghuninya yang meninggalkan gedung Indonesische Clubgebouw karena sudah lulus belajar. Usai para pelajar tidak melanjutkan sewanya pada 1934, gedung kemudian disewakan kepada Pang Tjem Jam selama tahun 1934--1937. Pang Tjem Jam menggunakan gedung itu sebagai rumah tinggal.

Gedung ini disewa Loh Jing Tjoe yang menggunakannya sebagai toko bunga pada1937--1948. Dari 1948--1951 gedung berubah fungsi menjadi Hotel Hersia. Pada 1951--1970, Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran dan penampungan karyawannya.

Pada 3 April 1973, Gedung Kramat 106 dipugar Pemda DKI Jakarta. Pemugaran selesai 20 Mei 1973. Gedung Kramat 106 kemudian dijadikan museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda.

Gedung Kramat Raya 106 dijadikan Museum karena memiliki sederet perjalanan sejarah dan menjadi saksi dari proses panjang pembentukan semangat perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia. Di tempat dilaksanaannya Kongres Pemuda Kedua ini, sendi-sendi dasar persatuan Indonesia didiskusikan, dirumuskan, untuk kemudian diikrarkan.