Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengaku menerima banyak masukan dari pelaku usaha pariwisata terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Mereka umumnya menentang pasal perzinahan mengenai larangan pasangan belum menikah untuk menginap di hotel.
Para pelaku pariwisata banyak yang keberatan dengan rencana aturan tersebut bisa membuat turis asing enggan datang ke Indonesia. Mereka yang datang bukan dengan pasangan resmi bisa saja khawatir akan dikenakan pidana. Pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata pun langsung melobi Sandiaga Uno.
Advertisement
Baca Juga
"Kami menampung semua masukan terutama yang berkaitan bahwa beberapa pasal dinilai kontraproduktif terhadap sektor pariwisata," ucap Sandiaga Uno saat The Weekly Brief with Sandi Uno yang digelar secara hybrid, Senin (24/10/2022). Menurut mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu, pihaknya terus melakukan pembahasan dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
Sandiaga mengimbau agar para pelaku ekonomi kreatif dan masyarakat tetap tenang menjaga situasi agar tetap kondusif. Menurut Sandiaga Uno, RUU tersebut saat ini masih dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jadi, masukan dari masyarakat, khususnya pengusaha perhotelan juga masih bisa dipertimbangkan untuk memengaruhi keputusan akhir di DPR. "Masukan sudah kami terima dari PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) dari beberapa pelaku usaha dan ekonomi kreatif, terutama pelaku usaha di destinasi wisata. Tentunya, semua masukan ini kami akan sampaikan kepada rekan-rekan di DPR,” ucap Sandiaga.
"Kita apresiasi masukan dari PHRI dan pihak-pihak lainnya. Kita juga sudah menbahas ini dengan Wakil Gubernur Bali tentang RUU KUHP ini, kira-kira apa saja dampaknya bagi pariwisata kita nantinya termasuk di Bali yang banyak didatangi wisman,” lanjutnya.
Menurunkan Tingkat Hunian
Dalam RUU KUHP disebutkan ada pasal yang mengancam hukuman pidana bagi pelaku perzinahan. Yang termasuk dalam tindakan perzinahan itu adalah pasangan belum menikah yang kedapatan menginap dalam satu kamar penginapan atau hotel. Apabila disahkan, para pelaku usaha mengkhawatirkan akan menurunkan tingkat hunian kamar di hotel.
“Jangan sampai, usaha pariwisata ekonomi kreatif yang baru saja bangkit ini mendapat narasi negatif,” kata Sandiaga. Ia berharap ada kebijaksanaan dari pihak-pihak yang membahas RUU tersebut, terutama Komisi X DPR RI.
Sandiaga menilai kondisi perekonomian saat ini mulai bangkit setelah pandemi COVID-19 mereda. Namun, Indonesia juga disebut terancam oleh resesi ekonomi global pada tahun depan sehingga diperlukan persiapan untuk menghadapinya mulai saat ini.
“Kita harus pastikan agar kebangkitan ekonomi kita terbuka. Lapangan kerja itu mungkin akan terganggu dengan satu narasi yang mungkin tidak sesuai dengan konteks yang sekarang sedang dibahas dalam pemulihan ekonomi,” ujar pria yang akrab disapa Sandi ini.
Lebih lanjut, Sandi menjelaskan persiapan Indonesia menghadapi ancaman resesi ekonomi tahun depan. Mulai dari penguatan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), menyiapkan destinasi pariwisata dan meningkatkan keterjangkauannya oleh para wisatawan.
Advertisement
Turis Asing Enggan Datang
Sebelumnya, pengusaha hotel memprotes aturan yang tertuang dalam draf RUU KUHP khususnya dalam pasal perzinahan terkait ancaman hukuman pidana bagi mereka yang belum menikah namun melakukan check in di hotel. Pengusaha menganggap hal tersebut kontraproduktif dengan sektor pariwisata. Ketua DPP Perhimpunan Hotel dan Restoran Indoneisa (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono, menilai adanya kebijakan itu bahkan bisa membuat turis asing enggan datang ke Indonesia.
"Pasal itu termasuk pasal aduan, jadi ketika ada yang mengadu baru berlaku. Namun bagi turis asing, dimana kalau bukan hubungan resmi akan dikenakan pidana. Tidak mungkin mereka mempelajari secara detail dari aturan tersebut," kata Sutrisno kepada tim Bisnis Liputan6.com, Minggu, 23 Oktober 2022.
Sementara turis itu tidak mau mengambil resiko, alhasil turis tersebut memilih liburan ke negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan lainnya. Artinya, ini akan merugikan kepentingan nasional karena masalah devisa."Pariwisata kan hubungannya dengan devisa," imbuhnya.
Menurutnya, dalam hal perzinahan sebetulnya adalah ranah privat yang sudah bisa diatur berdasarkan hukum adat daerah masing-masing, norma agama, dan norma moral. Artinya, Pemerintah tidak perlu sampai mempidanakan, harus ada aduan dahulu.
"Itu yang kita lihat sebenarnya itu kan ranah private bukan ranah publik. Sarana private itu kan sudah ada rambu-rambu moral, agama, adat istiadat untuk mengendalikan kepentingan Indonesia, sehingga kita berharap pasal mengenai itu di bicarakan ulang," ucapnya.
Kata dia, jika wisatawan asing tidak ke Indonesia maka dampaknya ke pariwisata. Dimana pariwisata itu berhubungan erat dengan sektor lainnya, seperti perdagangan kerajinan, hotel, restoran, dan sebagainya.
RUU KUHP Sudah Final
"Kalau wisatawannya pada mundur ya pengaruhnya kemana-mana, perdagangan dan pengangkutan jadi mundur. Angkutan udara terkena, darat juga, pemerintah juga kehilangan pajak," ujarnya. Oleh karena itu, PHRI meminta agar kebijakan tersebut didiskusikan kembali untuk menimbang dampak yang dirasakan jika aturan itu benar-benar diterapkan. "Kita berharap pasal mengenai itu dibicarakan ulang," pungkasnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejagung Fadil Zumhana mengatakan, RUU KUHP telah final disusun sebagai pengganti dari Wetboek van Strafrecht peninggalan Belanda yang telah berlaku sejak tahun 1918 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Hal ini dikatakan, dalam Dialog Publik Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang diselenggarakan di Hotel Truntum, Sumatera Barat.
"KUHP peninggalan Belanda telah dipergunakan oleh bangsa Indonesia, dalam penegakan hukum sebagai pengisi kekosongan hukum pidana materiil, sekalipun Pemerintah secara resmi belum pernah menetapkan terjemahan resmi dari KUHP tersebut," kata Fadil, Selasa (27/9/2022). "Sehingga, seringkali ditemukan adanya ketidakeseragaman istilah yang dipergunakan para penegak hukum, khususnya pada saat dilakukan pembahasan unsur-unsur tindak pidana dalam rangka pembuktian," sambungnya.
Advertisement