Liputan6.com, Jakarta - Publik lebih mengenal Ibu Sud sebagai pencipta lagu. Tanah Air, Nenek Moyangku, hingga Menanam Jagung merupakan sederetan karyanya yang masih diputar hingga saat ini. Tapi, apakah Anda tahu bahwa dia juga seorang pembatik?
Perempuan bernama asli Saridjah Niung itu menjadi salah satu sosok yang ditampilkan di Pameran Swara Iboe di Museum Sumpah Pemuda pada 28 Oktober hingga 28 November 2022. Kehidupannya sebagai pembatik turut diangkat dalam pameran yang berlangsung di aula itu.
Advertisement
Baca Juga
Sebagai bukti, pihak museum menampilkan sepasang kain batik buatan Ibu Sud. Itu salah dua dari koleksi kain yang disimpan cucunya, desainer Carmanita.
"Kita hanya ingat judul lagunya, tapi lupa sosok Ibu Sud yang lain, yakni beliau sebagai pembatik. Bung Karno pada tahun 60an ingin membuat batik Indonesia dan memintanya membuat batik itu," ujar Eko, kurator museum, saat menjelaskan pameran itu kepada pengunjung, Jumat (28/10/2022).
Batik Indonesia kemudian diterjemahkan sebagai batik yang berwarna-warni yang dinamainya batik terang bulan. "Seperti Indonesia, sangat bhineka, sangat warna-warni," sambung dia.
Carmanita yang juga hadir menjelaskan, batik yang diciptakan Ibu Sud terbilang progresif. Ia berani bermain warna yang pada saat itu didominasi dengan warna hitam atau sogan. Hijau terang dan kombinasi ungu dan oranye merupakan beberapa kreasi yang diciptakannya.
"Karena kecintaannya pada Solo, ia tetap mengambil motif-motif batik Solo, seperti di sini ada srinogo dan lereng," sambung dia.
Pesan Mbah
Carmanita menyebutnya sebagai wanita Bugis yang besar di Bandung, Ibu Sud tidak memiliki pengetahuan soal batik sebelum menikah dengan kakeknya, R. Bintang Soedibjo. Ia baru belajar budaya Jawa secara otodidak, termasuk bahasa kromo inggil, bahasa Sansekerta, hingga membatik, setelah menikah.
Sejak itu, perempuan kelahiran 26 Maret 1908 tersebut rutin memproduksi batik hingga berhasil membuka butik batik bernama Arti Warna di samping Istana Negara. Lokasinya kini menjadi gedung Bina Graha. "Jadi, teras sampingnya itu sebelahan dengan kamar tidur Bung Karno," kata dia.
Ia juga memiliki workshop di Cijantung dan memiliki sekitar 12 orang pekerja. Karena kedekatannya dengan Bung Karno, Ibu Sud juga sempat diajak serta menemui Putri Michiko dari Jepang pada 1962. Momen bersejarah itu terekam di foto yang terpajang di Museum Sumpah Pemuda.
"Enggak bisa diitung (jumlah batik yang dihasilkan) karena kan ada yang dijual dan dibeli orang. Tapi sekitar 60an (helai) kain mbah sekarang saya simpan di peti," sambung Carmanita.
Carmanita juga yang dititipi pesan untuk terus melanjutkan usaha batik Ibu Sud. Hingga di akhir hayatnya, ia meminta Carmanita untuk membuat perempuan Indonesia agar mau kembali memakai kain dan selendang lagi.
"Saya bikin sesuatu yang fresh. Itu kan yang Mbah mau, supaya pembuatan batik terus berlangsung," ucapnya.
Advertisement
Suara Perempuan
Museum Sumpah Pemuda sengaja mengangkat sosok perempuan untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun ini. Latar belakangnya berangkat dari sosok-sosok perempuan yang tak terlihat dalam peristiwa-peristiwa penting negeri ini.
"Kalau melihat dokumentasi zaman dulu, perempuan tidak tersorot. Lebih banyak menyorot elite Belanda dan kaum pria saja," ujarn Eko.
Penyebabnya adalah para lelaki banyak yang memegang jabatan penting. Pria saat itu, kata dia, dianggap paling bisa menempati posisi-posisi penting. Karena itu, saat kita membaca buku sejarah, hampir seluruhnya berisi cerita tentang lelaki.
"Proklamasi, misalnya, nama-nama yang muncul Bung Karno dan Bung Hatta. Kebangkitan Nasional itu yang disebut dr. Wahidin dan Sutomo. Sumpah Pemuda juga Muhammad Yamin dan Soegondo. Seakan-akan di peristiwa besar itu tidak ada cerita kaum perempuan," sambung Eko.
Hal itu terjadi karena para lelaki punya akses ke pendidikan yang lebih luas dibandingkan perempuan. Budaya Jawa, khususnya, memiliki tradisi memingit anak perempuan yang sudah akil baligh hingga kesempatan untuk bersekolah tinggi lebih sedikit. Namun, situasi berbeda dengan perempuan yang tinggal di Sulawesi Utara. Mereka tetap bisa bersekolah, bahkan sampai masuk STOVIA.
"Sekolah kedokteran itu mayoritasnya adalah laki-laki. Ketika ada perempuan, mereka berasal dari Sulawesi Utara, yakni Marie Thomas dan Anna Warouw," ia menjelaskan.
Isi Pameran
Pihak museum mengkurasi sejumlah sosok perempuan Indonesia untuk dipamerkan di tempat itu. Mereka dianggap mewakili berbagai profesi dari periode hidup yang berbeda.
"Sampai saat ini, enggak ada museum yang khusus mengangkat sejarah cerita perempuan secara utuh. Museum Pergerakan Perempuan di Jogja saja belum diperbarui," kata Eko.
Salah satu sosok yang diangkat adalah Siti Aisyah We Tenriollet. Perempuan Bugis itu adalah Ratu Kerajaan Tanete dan kerajaan Bugis. Tapi, sumbangsihnya yang paling dikenal adalah mengarsipkan naskah La Galigo, karya sastra mahsyur, agar bisa tetap dilestarikan.
Ada pula kisah dari Emma Poeradiredja, salah satu dari dua perempuan yang ikut serta dalam Kongres Pemuda, cikal bakal Sumpah Pemuda. Ia menyuarakan soal kemajuan wanita dan pendidikan dalam kongres tersebut. Sepanjang hidupnya, ia aktif memperjuangkan soal hak-hak perempuan lewat berbagai organisasi.
Pameran juga mengangkat sosok Emiria Soenassa, pelukis wanita yang karyanya tak kalah dari kaum pria. Putri Sultan Tidore itu menjadi anggota perempuan pertama bersama Saptarita Latief di Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang berdiri pada 1937. Emmiria pernah berpartisipasi dalam pameran Persagi pertama di Toko Buku Kolff, Jakarta, pada 1940.
Siapa lagi sosok perempuan yang diangkat di Pameran Swara Iboe? Anda bisa melihatnya langsung di museum yang buka setiap hari, kecuali Senin, pada pukul 08.00 pagi hingga 16.30 sore.
Advertisement