Sukses

Laporan DW Soroti Produsen AMDK Dalam Menangani Limbah Plastik

Perusahaan AMDK tidak serius dalam menangani limbah plastik dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

Liputan6.com, Jakarta Produsen Air Mineral Dalam Kemasan (AMDK) di Indonesia kembali menjadi sorotan. Pasalnya, menurut laporan Deutsche Welle (DW), perusahaan AMDK tidak serius dalam menangani limbah plastik dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. 

DW mengungkap sisi kelam dari sejumlah perusahaan AMDK yang sebelumnya mengklaim telah melakukan penanganan limbah plastik mereka dengan benar, sesuai regulasi dan tuntutan publik.

Namun, dalam kenyataannya, klaim tersebut hanya pepesan kosong belaka. Dan berdasarkan laporan tersebut ditunjukkan bahwa ada upaya greenwashing yang dilakukan sejumlah perusahaan multinasional asing terkait penanganan limbah plastik mereka.

Dampak dari tidak seriusnya penanganan limbah plastik, DW dalam laporannya dengan tajuk "How These Companies Tried to Greenwash Their Plastic Waste” (14/10), menyebut bahwa ada delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan setiap tahun.

DW mengunggah ragam iklan perusahaan multinasional yang disinyalir melakukan praktek greenwashing. Langkah tersebut diambil untuk menunjukkan kepada publik bahwa antara janji dan praktek, jauh panggang dari api.

Laporan DW memaparkan bahwa banyak dari perusahan tersebut justru secara konsisten menjadi pemegang rekor polutan plastik terburuk di dunia. Bahkan, media asal Jerman tersebut menyebut bahwa perusahaan itu adalah pemain kunci yang menjadi penyebab masalah sampah terbesar.

Pada 2019, dunia telah menghasilkan 350 juta ton sampah plastik. Dan diperkirakan hanya 9 persen saja yang didaur ulang. DW pun menyebut bahwa sebagian besar perusahaan tersebut justru menyampah di lingkungan, sehingga meracuni lautan, tanah, dan udara.

2 dari 4 halaman

Apakah Janji Betul Dipenuhi?

Komitmen beberapa perusahaan dalam menangani limbah plastik dipertanyakan oleh DW. Media Jerman tersebut berkolaborasi dengan European Data Journalism Network melakukan jurnalistik investigatif terhadap industri limbah plastik di dunia. 

Langkah tersebut dilakukan guna mencari jawaban atas komitmen beberapa perusahaan dalam menangani limbah plastik dan air kemasan. Hasilnya, terdapat beberapa perusahaan yang belum maksimal dalam menangani limbah plastik, salah satunya produsen AMDK botol plastik global ternama.

Jurnalistik investigatif yang dilakukan tersebut menyatakan bahwa komitmen produsen cenderung tidak maksimal. Pasalnya, botol plastik jenis Polyethylene Terephthalate (PET) hasil daur ulang masih teramat jauh dari target yang dicanangkan beberapa tahun terakhir. 

Jika dirunut pada tahun 2010, target produsen dicanangkan sebesar 20 hingga 30 persen penggunaan botol PET. Lalu, target tersebut pada tahun 2014 diubah menjadi 25 persen penggunaan botol plastik PET dari hasil daur ulang pada 2020. Sayangnya, perusahaan AMDK tersebut hanya menggunakan botol PET sebesar 19,8 persen pada 2020.

Dan pada tahun 2025, perusahaan AMDK kembali menargetkan penggunaan botol PET sebesar 100 persen di Eropa dan 50 persen secara global, apakah akan tercapai?

3 dari 4 halaman

Rendahnya Tingkat Daur Ulang Sampah Plastik

Secara realitas, tingkat daur ulang sampah plastik, khususnya di Indonesia, masih tergolong rendah. Kenyataan tersebut diperkuat oleh Wawan Some dari Komunitas Nol Sampah. 

“Daur ulang di Indonesia sangat rendah, bahkan di dunia pun sangat rendah,” kata Wawan saat webinar tentang kemasan galon guna ulang dan ekonomi sirkular di Jakarta pada akhir Oktober lalu. 

“Selain plastik yang digunakan sangat beragam, masyarakat sendiri tidak pernah melakukan pemilahan langsung dari sumbernya," imbuhnya. 

Menurut Wawan, ketika sampah plastik segala jenis bercampur, akan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk pengolahannya. Biaya yang mahal tersebut tidak didukung oleh infrastruktur pengolahan sampah plastik. Karena sentra-sentra daur ulang hanya terdapat di titik-titik tertentu.

4 dari 4 halaman

Perhatian Khusus BPOM

Beberapa perusahaan AMDK masih terdapat kandungan bahan kimia Bisphenol A (BPA). Hal tersebut menjadi perhatian khusus Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sehingga BPOM mengeluarkan regulasi terkait pelabelan galon pakai ulang polikarbonat dengan label “Berisiko Mengandung BPA”.

Sejauh ini, demi menjaga kepentingan bisnis, industri yang bergabung dalam Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) adalah penentang paling keras regulasi BPOM untuk transparansi kemasan galon pakai ulang yang mengandung BPA.

Padahal, untuk kemasan galon pakai ulang yang memiliki kandungan polikarbonat memang perlu peringatan khusus tentang bahan kimia BPA yang bisa membahayakan konsumen.

Senada dengan BPOM, Zainal Abidin dari Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran Fakultas Teknologi Industri, ITB, dalam webinar yang sama juga menyatakan perlunya ada peringatan pada kemasan galon.

“Paparan sinar matahari akan merusak kimia dari galon itu sendiri dan proses kerusakannya bisa melarutkan bahan-bahan kimia yang membahayakan air yang ada di dalamnya,” kata Zainal Abidin.

Menurut Zainal, paparan sinar matahari akan merusak galon dan proses kerusakannya dapat melarutkan bahan-bahan kimia serta membahayakan air di dalamnya. Untuk itu, ia menyatakan bahwa perlu ada pelabelan BPA pada kemasan galon. 

 

(*)