Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak cerita unik dan menarik tentang orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negeri. Ada juga Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria atau wanita dari negara lain.
Menjadi pasangan beda negara memang jadi tantangan tersendiri. Selain harus saling memahami latar belakang dan budaya yang berbeda, mereka juga harus menyesuaikan tinggal di tempat yang bukan asal mereka.
Hal itulah yang kini dirasakan oleh pasangan Mita dan suaminya. Mita adalah wanita asal Indonesia yang kini menetap di Swedia. Setelah tiga tahun menikah dan menetap di Swedia, dia bertekad ingin mencari kerja sebagai tambahan pemasukan.
Advertisement
Baca Juga
Melansir kanal YouTube Family Indonesia Sweden, Sabtu (12/11/2022), awalnya Mita bekerja sebagai petugas cleaning service di tempat kerja suaminya. Dia bekerja selama empat jam setiap hari. Jumlah gaji yang diterima sebagai cleaning service yakni 6.000 krona atau sekitar Rp8 juta per bulan.
"Pertama kali kerja itu aku jadi cleaning service, tukang gosok WC di tempat kerjanya suamiku," terang Mita. Usai mengalami musibah yaitu keguguran saat mengandung anak pertama.
Mita kemudian bekerja kembali di sebuah pabrik. Kali ini jam kerja Mita cukup panjang yaitu sekitar 8 jam sehari, dengan waktu 5 hari kerja.
Diakui Mita, pekerjaannya itu seperti buruh pabrik seperti pada umumnya. Namun penghasilan yang didapat sebagai buruh cukup besar bagi orang Indonesia, yaitu sekitar 28.000 krona atau setara Rp40 juta.
Â
Buruh Pabrik
"Ini kerjanya bukan kerja kayak kantoran, aku emang kerja buruh pabrik. Itu gajinya 28.000 krona tiap bulan," ungkapnya. Pendapatan yang besar tentu saja diikuti dengan biaya hidup yang mahal, apalagi di negara Eropa seperti Swedia.
Gaji 28.000 krona itu belum dipotong pajak, yaitu sebesar 6.000 krona. Jadi, total gaji bersih yang diterima Mita mencapai 22.000 krona atau sekitar Rp30 juta.
Meski gajinya banyak, namun ia mengaku biaya hidup di Swedia cukup mahal. Ia pun curhat bagaimana membeli bahan makanan khas Indonesia membutuhkan biaya yang tidak murah.
"Di sini biaya hidup mahal, untuk beli cabe, beras. Apalagi aku orang Indonesia, harus makan beras. Kalau aku nggak makan beras, lidahnya ini rasanya nggak enak," terangnya.
Di Swedia, roti terbilang murah. Namun, karena sudah terbiasa makan nasi ia tidak menjadikan roti sebagai bahan makanan pokok. "Kalau aku tiap hari makan roti dan keju, aku bisa cepet kaya. Tapi aku jadinya kurus, dan aku bisa masuk rumah sakit," tuturnya.
Â
Advertisement
Bahasa Swedia
Ibu dua anak ini juga bercerita bahwa untuk bisa bekerja di Swedia, pelamar setidaknya harus menguasai bahasa Swedia. Alasannya, mesin yang beroperasi menggunakan instruksi berbahasa Swedia, sehingga cakap berbahasa Swensk bisa jadi poin penting. "Ini salah satu persyaratan kerja di Swedia ya guys. Kita itu harus bisa berbahasa Swedia biar lebih mudah dapat pekerjaan," kata Mita.
Selain mendapat penghasilan yang lumayan, Mita mengaku kerja di Swedia menyenangkan karena meski pekerja ada yang sakit, pihak perusahaan tidak memotong gaji. Belum lagi waktu bekerja yang cuma 8 jam sehari, dan mendapat tiga kali istirahat
Apa yang dialami Mita kontras dengan nasib 29 WNI asal Bali yang dilaporkan menjadi korban penipuan dan terlantar di Istanbul. Kasus mereka sudah ditangani Perwakilan RI di Turki sejak Februari 2022.
"Gubernur Bali Wayan Koster telah berkomunikasi langsung dengan Menlu Retno terkait kasus ini. Ini sepenuhnya kasus penipuan dan penempatan tenaga kerja Indonesia nonprosedural dengan indikasi kuat tindak pidana perdagangan orang. Kita akan fokus memberikan perlindungan korban dan memidanakan pelaku, baik yang tinggal di Bali maupun di Turki," ujar Duta Besar Indonesia untuk Turki, Lalu Muhamad Iqbal, dalam keterangan tertulis KBRI Ankara, seperti dilansir Antara.
Bekerja di Turki
Dari 29 WNI tersebut, lanjut dia, 5 orang sudah kembali ke Bali. Sebanyak 16 WNI dievakuasi oleh KJRI Istanbul dari penampungan ilegal ke penampungan sementara KJRI Istanbul dan 8 orang lainnya tersebar dan bekerja secara ilegal di sejumlah kota di Turki. Dubes Iqbal mengatakan 29 WNI tersebut diberangkatkan secara ilegal oleh jaringan WNI perorangan. "Satu orang tinggal di Istanbul dan beberapa lainnya tinggal di Bali," imbuh Dubes Iqbal, melansir kanal News Liputan6.com.
Berdasarkan informasi, lanjut dia, para WNI tersebut dijanjikan bekerja di Turki dengan gaji besar secara legal dan diberikan tempat tinggal yang layak.Untuk itu para korban membayar dalam jumlah bervariasi dengan rata-rata pembayaran Rp25 juta dan paling banyak mencapai Rp40 juta Para korban diberangkatkan dengan menggunakan visa turis.
Hingga berbulan-bulan keberadaan mereka di Turki, papar dia, para korban tidak mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan, tidak diuruskan izin kerja, dan tinggal di penampungan ilegal dalam kondisi yang sangat tidak layak.Konsul Jenderal di Istanbul Imam Asari mengatakan pihaknya mendapatkan aduan pertama pada 4 Februari 2022.
"Keesokan harinya Tim Perlindungan WNI KJRI Istanbul langsung melihat lokasi dan mendapati mereka tinggal di penampungan ilegal yang sangat tidak layak huni, khususnya di tengah musim dingin yang sedang berlangsung di Istanbul. Sebagian besar sudah berstatus overstay dan tidak memiliki izin kerja," ujar Imam. Selain diberikan perlindungan dalam bentuk pemberian penampungan yang layak, ujar dia, para korban direncanakan dipulangkan ke Bali dalam waktu dekat.
Advertisement