Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara G20 sepakat untuk mengharmonisasi protokol kesehatan yang menjadi jembatan antar-negara, khususnya sesama anggota G20. Hal itu agar mobilisasi manusia saat pandemi bisa lebih aman selain bisa mempercepat pemulihan ekonomi.Â
Kesepakatan harmonisasi itu merupakan hasil dari pertemuan para menteri negara-negara G20 (Health Ministerial Meeting 2nd) pada Oktober 2022 lalu. Harmonisasi tersebut berupa kolaborasi sertifikasi perjalanan orang antarnegara.
"Kalau pandemi lagi (serupa Covid-19), negara tidak perlu lagi memberlakukan karantina wilayah atau lock down. Orang sehat tetap boleh bergerak atau bepergian, sementara yang sakit saja yang tidak boleh," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha, dalam jumpa pers #G20updates, Jumat, 11 November 2022.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari kemenparekraf.go.id, Minggu (13/11/2022), Kunta menjelaskan bahwa kolaborasi protokol kesehatan itu akan menghubungkan aplikasi masing-masing negara. Selain memperlancar perjalanan, pertukaran informasi itu disebut berguna untuk mengontrol mobilisasi orang sehat dalam perjalanan.
"Harapannya, ketika menghadapi pandemi di masa mendatang, orang boleh melakukan perjalanan sehingga ekonomi tetap berputar," imbuh dia.Â
Ia mencontohkan, bila orang Indonesia pergi ke Jepang, petugas di negara tersebut cukup memindai aplikasi Peduli Lindungi (milik Indonesia) dan tidak perlu lagi mengunduh aplikasi negara setempat (Jepang). Begitu pula sebaliknya, ketika warga negara lain datang ke Indonesia.
Negara-negara yang menyetujui usulan tersebut, saat ini sedang mengeksplorasi pendekatan terbaik untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satunya dengan melakukan serangkaian uji coba virtual terkait uji kelayakan teknologi untuk mendirikan Direktori Kepercayaan Publik Global Federasi (Federated Public Trust Directory) untuk sertifikat COVID-19 digital.
Kolaborasi Berkelanjutan
Aksi kuci lain yang disepakati dalam pertemuan tersebut adalah bagaimana setelah selesainya evaluasi Access to COVID-19 Tools-Accelerator (ACT-A), negara-negara G20 dapat terus memimpin pembentukan entitas dan fungsi penerus demi memastikan kesiapan mekanisme untuk menanggapi pandemi di masa depan. Kolaborasi interdisipliner dan lintas negara diperlukan untuk menjamin pencegahan, kesiapsiagaan dan penanggulangan pandemi di masa depan.
Kunta menyatakan kolaborasi semacam itu membutuhkan peningkatan kapasitas, kemitraan ilmiah, dan upaya berbagi pengetahuan. Ia juga menegaskan pentingnya membangun dan memperkuat jaringan kolaboratif para ilmuwan di bidang kedaruratan kesehatan masyarakat.
"Presidensi G20 Indonesia menggarisbawahi pentingnya surveilans (pengawasan), terutama surveilans genomik menggunakan pendekatan One Health," kata dia.Â
Negara G20 mendukung pertukaran data patogen tepat waktu, pada platform yang dapat dipercaya. Di Indonesia, jelas Kunta, menginisiasi Biomedical and Genome Science Initiative (BGS-i) guna mendukung surveilans genomik yang lebih baik lagi ke depannya.
Advertisement
Kerja Sama Riset
Pertemuan Menteri Kesehatan G20 Kedua, negara anggota G20, juga sepakat untuk menganalisis kesenjangan dan pemetaan jaringan penelitian, pengembangan dan manufaktur yang ada dan yang sedang berkembang sebagai langkah awal untuk memperluas penelitian dan kapasitas produksi untuk vaksin, terapi dan diagnostik (VTD). Hasil diskusi mendapati tujuh negara anggota G20 yang berminat, yaitu Argentina, Brazil, India, Indonesia, Arab Saudi, Turki, dan Afrika Selatan.
Menindaklanjuti hal tersebut, Indonesia dan Afrika Selatan melalui Bio Farma dan Afrigen mengembangkan kerja sama produksi vaksin COVID-19 berbasis mRNA, dan kerja sama penguatan jaringan hub vaksin WHO. Sebelumnya, Indonesia terpilih sebagai salah satu penerima (recipient) manufaktur mRNA WHO.Â
Indonesia juga sedang dalam proses mengembangkan pusat penelitian dan manufaktur vaksin dan mengidentifikasi calon mitra untuk membangun kapasitas penelitian dan pembuatan vaksin, dengan kemitraan produsen nasional. Sementara pada Juli 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan seluruh negara anggota G20 menyepakati pengumpulan dana penanganan pandemi di masa depan.
Dengan disepakatinya inisiatif tersebut, dana yang berhasil dikumpulkan sejumlah 1,28 miliar dolar AS saat itu. Dana itu dikumpulkan dalam Financial Intermediary Forum (FIF) untuk Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Respon terhadap pandemi.
Donatur Dana Pandemi
Jumlah itu kini sudah bertambah menjadi 1,4 miliar dolar AS. Namun, angka tersebut masih di bawah rekomendasi G20Â High Level Independent Panel, yakni dunia sekurang-kurangnya butuh dana 10 miliar dolar AS untuk kesiapan menghadapi gelombang pandemi selanjutnya.
Dikutip dari kanal Bisnis Liputan6.com, Sri Mulyani memaparkan dana pandemi itu berasal dari 20 negara anggota G20 dan tiga lembaga filantropi. Tiga negara lain juga menyatakan komitmennya untuk ikut serta mendanai Pandemic Fund pada The 2nd Joint Finance and Health Minister Meeting (JFHMM) yang digelar jelang KTT G20 di Bali, Sabtu, 12 November 2022.
"Malam ini, kita juga menerima sekitar tiga negara yang menyatakan komitmen mau berkontribusi, antara lain Australia, Perancis, dan Arab Saudi," ujar Sri Mulyani.
Sebelum itu, sejumlah negara menyatakan komitmen untuk berkontribusi di antaranya adalah Amerika Serikat, Eropa, Jerman, Indonesia, Singapura, Inggris. Dua dari tiga lembaga filantropi dimaksud adalah Welcome Trust dan Melinda and Gates Foundation.
Dengan komitmen dana pandemi yang sudah terkumpul itu, Sri Mulyani dan tim akan fokus untuk mengembangkan arsitektur kesehatan internasional, guna menghadapi ancaman pandemi baru di masa depan. Dia mengatakan semua negara anggota G20 meminta pengelolaan dana ini harus inklusif, khususnya guna menarik banyak perhatian dari negara berpendapatan kecil dan menengah, untuk memperkuat persiapan mereka menghadapi wabah pandemi selanjutnya.
Advertisement