Sukses

Inovasi Kemasan Makanan Berbahan Plastik yang Diklaim Terurai Setelah 5 Tahun

Plastik konvensional membutuhkan ratusan tahun untuk terurai.

Liputan6.com, Jakarta - Love-hate relationship dengan plastik telah lama berlangsung. Di satu sisi, bahan tersebut menawarkan harga cukup terjangkau dengan ketahanan yang baik. Sementara di sisi lain, plastik telah berdampak buruk untuk lingkungan karena produk pasca-konsumsinya tidak diolah dengan bijaksana.

Solusi atas isu ini pun telah datang dalam berbagai inovasi, termasuk kemasan makanan dan minuman berbahan plastik yang diklaim terurai setelah lima tahun dari ecorasa. "Kita tentu mau semuanya (sampah plastik) bisa didaur ulang, tapi dengan kondisi sekarang, itu masih belum terkendali karena satu dan lain hal," kata direktur ecorasa, Shivan, ketika ditemui di lokasi pameran SIAL InterFOOD 2022, Rabu, 9 November 2022.

Ia menyambung, "Karena itu, kami hadir menawarkan solusi ketika (sampah kemasan makanan dan minuman berbahan plastik) tidak didaur ulang dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), mereka akan terurai dalam lima tahun, jauh lebih singkat dari plastik konvensional yang butuh ratusan tahun, dimakan mikroba dan kembali ke Bumi, jadi biomassa."

Secara fungsional, kata Shivan, plastik itu sangat baik, entah dari segi harga maupun daya tahan, makanya digunakan dalam banyak bidang. "Sayang, karena saking bagus, ketika tidak dipakai, itu (kemasan plastik) tetap utuh. Itu yang jadi masalah," ia menyebut.

Melihat masalah tersebut, perusahaan yang eksis sejak 2018 ini menawarkan kemasan makanan, minuman, dan sedotan menggunakan material plastik biasa yang ditambah garam mineral. "Kami pakai teknologi Oxium, itu yang membuatnya bisa terurai. Teknologi yang kami manfaatkan ini sudah dipatenkan di Amerika Serikat dan Singapura, serta sudah tersertifikasi halal," katanya.

2 dari 4 halaman

Dorongan Utama Tetap tentang Daur Ulang

Shivan berkata kemasan makanan berbahan plastik Oxium itu kini sudah didistribusikan ke 50 kota di Indonesia. "Konsumen sudah ada 3.000--4.000," tuturnya, menyebut bahwa beberapa di antaranya adalah Gulu-Gulu, Titik Temu, Ismaya Group, dan Sagaleh.

"Kita tahu orang sekarang sudah lebih aware (dengan isu lingkungan). Jadi, ketika tahu ada pilihan lebih ramah lingkungan, mereka pikir kenapa tidak? Apalagi, secara harga tidak terlalu jauh: selisih lima persen dari plastik konvensional," Shivan mengatakan.

Dijelaskan bahwa kemasan makanan dan minuman berbahan plastik Oxium ini memiliki kode sama dengan kemasan plastik konvensional. Karena itu, kemasan plastik Oxium tetap bisa dikumpulkan untuk didaur ulang bersama kemasan plastik secara umum.

"Kalau dilihat di kemasannya, kami sudah punya eco label, jadi tidak semata klaim. Kemudian, ada label food grade juga," ia menyebut.

Kemunculannya juga diklaim merangkul tren pemesanan makanan online yang kian menjamur selama pandemi COVID-19. "Tapi satu yang kami tidak sediakan: alat makan plastik. Karena orang pesan makanan itu kebanyakan ke kantor dan ke rumah, otomatis sudah punya sendok (dan) garpu. Jadi, bisa mengurangi sampah (kemasan) plastik," ucap Shivan.

 

3 dari 4 halaman

Berjalan Paralel

Menurut Shivan, demi menekan sampah kemasan makanan dan minuman berbahan plastik, semua harus berjalan secara paralel. "Tidak bisa tunggu regulasi, walau regulasi itu sangat penting," katanya. "Dari segi edukasi ke sekolah-sekolah, anak-anak, itu penting. Jadi, saat mereka besar nanti, sudah tahu bahwa harus mengurangi penggunaan segala sesuatu yang tidak perlu," katanya.

Berdasarkan pengalamannya berbisnis di bidang ini selama empat tahun, restoran dan brand itu sering kali menunggu pelanggan mendorong praktik lebih ramah lingkungan. "Makanya, kami sangat menghargai konsumen yang memberi tahu bahwa mereka peduli (dengan isu lingkungan)," Shivan berbagi.

"Saya yakin Ecorasa cuma satu bagian kecil, karena ada banyak pemain-pemain lain. Kami mau semua kasih pilihan-pilihan lain, karena sekali ini, sebaiknya jangan tunggu regulasi, meski itu sangat penting," imbuhnya.

Memasifkan dampak, Shivan menyebut bahwa pihaknya akan menyasar inovasi produk ramah lingkungan untuk kalangan menangah ke bawah tahun depan. "Solusi untuk pedagang kaki lima, karena sekarang kebanyakan masih pakai plastik konvensional. Jadi, bagaimana harga (kemasan) tetap terjangkau dan lebih ramah lingkungan," ia mengatakan.

4 dari 4 halaman

Tingkat Daur Ulang yang Rendah

Merujuk laporan Greenpeace USA pada Senin, 24 Oktober 2022, tingkat daur ulang plastik tercatat menurun di tengah produksi yang meningkat. Organisasi itu mengkritik klaim industri untuk menciptakan ekonomi sirkular yang efisien sebagai "fiksi."

Melansir AFP, studi bertajuk "Circular Claims Fall Flat Again" itu menemukan bahwa dari 51 juta ton sampah plastik yang dihasilkan rumah tangga AS pada 2021, hanya 2,4 juta ton yang didaur ulang atau sekitar lima persen.

Setelah mencapai puncaknya pada 2014 sebesar 10 persen, tren daur ulang plastik terus menurun, terutama sejak China berhenti menerima sampah plastik Barat pada 2018. Sebaliknya, produksi plastik non-daur ulang meningkat pesat seiring berkembangnya industri petrokimia.

Sementara, Koordinator Komunitas Nol Sampah, Wawan Some, mengatakan bahwa tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia masih rendah, lapor kanal News Liputan6.com. "Daur ulang di Indonesia sangat rendah, bahkan di dunia pun sangat rendah. Selain plastik yang digunakan sangat beragam, masyarakat tidak pernah melakukan pemilahan langsung dari sumbernya," ia mengatakan.

Menurut Wawan, ketika sampah plastik segala jenis bercampur, dibutuhkan biaya besar untuk pengolahannya. Hal itu diperburuk dengan minimnya sentra-sentra daur ulang yang baru berada di titik-titik tertentu.