Liputan6.com, Jakarta - Menjelang Hari Pohon Sedunia yang diperingati setiap 21 November, tak lengkap rasanya tanpa mengulas kondisi deforestasi terkini di Indonesia. Apalagi, negeri ini gencar mempromosikan isu keberlanjutan lingkungan kepada para pemimpin G20 saat berkunjung ke Bali.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), angka deforestasi di Indonesia pada 2019--2020 adalah 115 ribu hektare.
"Angka ini merupakan pencapaian terbaik karena penerapan beragam kebijakan corrective action yang diambil KLHK dan berkat koordinasi antar-lembaga yang saling mendukung dan terintegrasi," kata Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Dirjen Planologi Kehutanan dan Lingkungan (PTKL), Belinda Arunarwati kepada Liputan6.com secara tertulis, Jumat, 18 November 2022.
Advertisement
Kawasan hutan di Indonesia, sambung dia, terdiri atas hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Kawasan hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Fakta di lapangan, kawasan hutan itu bisa benar-benar berhutan, bisa juga tidak berhutan. Hutan dimaksud didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sementara, di luar kawasan hutan disebut areal penggunaan lain (APL) yang umumnya menjadi pusat kegiatan manusia secara legal. Berdasarkan data luas kawasan hutan Indonesia di daratan kurang lebih 120 juta hektare, sementara luas APL sekitar 67 juta hektare.
"Terkait dengan penutupannya, penutupan hutan bisa berada di dalam kawasan hutan maupun di APL," sambung Belinda seraya menerangkan luas areal penutupan hutan baik di dalam kawasan hutan maupun APL mencapai 95 juta hektare, sisanya tidak berhutan.
Kondisi Hutan Lindung dan Upaya Reboisasi
Dari tiga kategori hutan, hutan lindung jelas berfungsi untuk melindungi atau menyangga kehidupan. Menurut Belinda, fungsi itu adalah upaya untuk menjaga agar areal yang memenuhi nilai tertentu tetap dipertahankan sebagai hutan dengan maksud untuk menjaga siklus air agar tetap dapat memberi pasokan yang memadai sekaligus mencegah limpasan yang mengakibatkan bencana.
Selain hutan lindung yang menjadi ranah KLHK, Kementerian ATR juga berwenang untuk menetapkan kawasan lindung di APL. Pemanfaatan lahan dibatasi di kedua kawasan itu untuk menjaga fungsi penyangga kehidupan tetap berjalan semestinya.
Karena itu, area tidak berhutan di hutan lindung maupun di kawasan lindung wajib direhabilitasi. Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dikenal dengan Gerakan Satu Juta Pohon diluncurkan pemerintah sebagai ajakan kepada semua pihak untuk bersama-sama peduli akan lingkungan dan hutan.
"Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan pendekatan vegetatif (penanaman pohon), penerapan teknik konservasi tanah (pembangunan terasering), dan pendekatan lainnya," ia menjelaskan.
Apa sudah terlihat hasilnya sejak diluncurkan di era Presiden Soeharto pada 1993 dan dilanjutkan di era Presiden SBY pada 2012? Belinda tidak menjawab pasti. Ia hanya menyatakan bahwa hasilnya tidak bisa dilihat satu dua tahun.
"Bibit pohon yang ditanam membutuhkan waktu untuk menjadi pancang, tiang, dan akhirnya menjadi pohon. Setelah menjadi pohon masih membutuhkan waktu untuk menumbuhkan tajuknya semakin besar dan lebat sehingga menaungi wilayah sekitarnya dan membentuk ekosistem hutan yang stabil. Upaya untuk ini tentu saja sangat signifikan dan perlu untuk terus dilakukan secara berkelanjutan dan secara sinergis," ucapnya diplomatis.
Advertisement
Mengapa Skala Bencana Makin Masif?
Kalau pun laju deforestasi diklaim menurun, skala bencana alam justru makin meningkat. Banjir di Kalimantan Barat yang terjadi September--November 2021 yang tidak surut dalam tiga pekan. Kejadian itu masih disusul dengan banjir lain yang terjadi hampir tiga bulan sekali.
Terkait hal ini, Belinda menjelaskan bahwa hutan memiliki kapasitas tampung maksimal untuk menyerap, menahan, dan mengalirkan limpasan air. Bila debit air dan limpasan yang dihasilkan melampaui daya tampung, banjir pun terjadi.
"Lahan yang berhutan lebat sekalipun, apabila sudah sangat jenuh, di luar ambang kapasitas tampungnya, terlebih terkait dengan formasi geologinya, memang sangat rentan untuk longsor," ia menyambung.
Selain daya tampung, ia juga menyebut intensitas hujan harian yang jatuh di wilayah tertentu di Indonesia mencapai tingkat ekstrem. Curah hujan tersebut melampaui kapasitas wilayah tersebut untuk menahannya.
"Prevalensi curah hujan yang ekstrem tersebut merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan iklim. Inilah yang perlu disadari juga oleh publik secara luas," kata dia.
Arief Perkasa, Corporate and Government Relation Earthworm Indonesia, menambahkan bahwa bencana alam yang terjadi juga dipengaruhi dengan penurunan fungsi hutan akibat ekosistemnya yang terganggu. Saat hutan terganggu, perlu waktu lama untuk pulih.
"Malah banyak ahli riset meyakini beberapa eksosistem hampir mustahil untuk pulih sekalinya dirusak, misalnya gambut, karst, dan kerangas," ucapnya.
"Kerusakan hutan sudah telanjur terjadi di Indonesia selama puluhan tahun, termasuk di areal sensitif tadi, sehingga bencana terus datang. Bencana yang datang, semakin merusak hutan sisanya, sehingga fungsi hutan dan daya dukung alam terus menurun. Di sini terjadi siklus yang cenderung membuat bencana menjadi semakin sering dengan daya rusak yang lebih besar," ia menjelaskan.
Ajak Masyarakat
Kecepatan kerusakan hutan yang terjadi memerlukan strategi cepat pula untuk mengatasinya. Pendekatan kini diubah dengan mengenalkan konsep perhutanan sosial. Konsep itu pada intinya memberi bekal kapasitas kepada masyarakat sekitar hutan untuk mampu memanfaatkan hutan tanpa menimbulkan kerusakan.
"Pola yang disarankan antara lain pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK), pengembangan wisata alam dan kegiatan jasa lingkungan lainnya. Intinya kegiatan tersebut mampu meningkatkan perekonomian warga tanpa merusak hutan," ujar Belinda.
Ada pula Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang intinya memberikan akses ke masyarakat sekitar hutan dan terbukti menggarap wilayah tersebut selama 20 tahun atau lebih serta membimbing mereka untuk ikut memelihara hutan. Masyarakat setempat juga diajak merehabilitasi hutan dan lahan agar lebih baik.
"Keberhasilan reboisasi, rehabilitasi, atau pengelolaan hutan yang sudah ada tidak hanya sekadar hektare, tetapi bagaiana tingkat kebermanfaatan dan keterlibatan pihak yang berkepentingan, yakni manusia. Pengelolaan hutan harus dibarengi dengan membangun perilaku masyarakat yang menjaga hutan sebagai sumber kehidupan," Arief menyambung.
Arief menyebut kesadaran masyarakat melestarikan hutan sudah semakin membaik. Berdasarkan pengalaman proyek Earthworm yang dilakukan di Riau, Aceh, Kalimantan, dan Jawa Tengah, penerapan model pengelolaan yang sangat spesifik lokal sangat bergantung pada pendalaman situasi setempat. Tidak ada satu resep manjur yang bisa berlaku bagi skala luas.
"Dari observasi kami, instrumen instentif baik yang bersifat fiskal maupun non-fiskal, masih belum sepenuhnya menyentuh aktor-aktor di tingkat tapak. Kata kunci yang menarik dan saat ini masih perlu perhatian adalah instrumen insentif bagi aktor lokal untuk pengembangan dan implementasi model pengelolaan di tingkat tapak yang spesifik untuk konteks lokal," ia menambahkan.
Advertisement
Masyarakat Kota Wajib Berperan
Tugas menjaga pohon dan hutan itu tak hanya berlaku pada masyarakat adat dan mereka yang tinggal di sekitar hutan. Mereka yang tinggal di perkotaan juga wajib ikut serta. Arief menjelaskan banyak cara yang bisa dilakukan.
Pertama, implementasi pola konsumsi pangan, air dan energi yang bijak dan tidak boros. Pemborosan di tingkat individu, jika terakumulasi dalam hitungan jutaan individu, akan berpengaruh terhadap pola pengelolaan lahan menjadi lebih eksploitatif, termasuk memberi tekanan yang lebih besar terhadap hutan lindung.
Kedua, memilih produk yang dalam prosesnya lebih sedikit menimbulkan kerusakan atau dampak negatif terhadap hutan lindung. Konsumen bisa mencari informasi dimaksud dengan mudah menggunakan internet.
Ketiga, secara proaktif mendukung inisiatif perlindungan hutan, misal melalui profesi atau hobi masing-masing. Media sosial dapat dioptimalkan sebagai sarana menjalankan fungsi control social, yaitu protes terhadap kegiatan yang merusak, dan memberi dukungan dan apresiasi kepada kegiatan yang bermanfaat bagi kelestarian fungsi hutan.
Keempat, menyempatkan waktu untuk berkunjung ke daerah yang kondisi alamnya masih terjaga. "Dari kegiatan berulang akan memunculkan kesadaran masing-masing individu ataupun kelompok untuk menjadi bagian dari perlindungan dan pelestarian hutan," ujarnya.
Di sisi lain, masyarakat di dalam dan sekitar hutan juga difasilitasi penghidupan alternatif yang ramah terhadap hutan. Pemerintah wajib memperjelas aturan dan batasan di tingkat tapak dan penegakan hukum bagi pelanggar, mitigasi resiko kerusakan ekosistem hutan akibat kebakaran dan bencana alam, serta perbaiki pola konsumsi menjadi lebih bijak.
"Implementasi sistem reward and punishment secara konsisten terhadap pemelihara dan perusak hutan, baik di tingkat kelompok terkecil di masyarakat, korporasi, atau pemerintah," kata Arief merujuk celah lemah yang masih berlangsung hingga saat ini di Indonesia.