Sukses

Profil Sartono, Pencipta Lagu Hymne Guru yang Kerap Dinyanyikan di Hari Guru

Sartono, adalah seorang guru musik yang menciptakan lagu Hymne guru. Lagu ini berhasil dinyanyikan hingga sekarang saat peringatan hari guru.

Liputan6.com, Jakarta- Hari Guru diperingati setiap 25 November di Indonesia. Peringatan ini dibuat untuk menghargai jasa guru-guru di Indonesia dan sebagai peringatan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Saat itulah biasanya lagu Hymne Guru dikumandangkan.

Dalam buku Kumpulan Lagu Wajib Nasional, Tradisional & Anak Populer terbitan 2017 yang dikarang Hani Widiatmoko dan Dicky Maulana disebutkan bahwa pencipta lagu Hymne Guru adalah Sartono. Pria kelahiran Madiun, 29 Mei 1936 itu mengarangnya untuk menghargai jasa para guru di Indonesia.

Dikutip dari Antara, Jumat (25/11/2022), Sartono mengawali karirnya sebagai guru seni musik pada 1978 di SMP Katolik Santo Bernardus, Madiun, Jawa Timur. Pada tahun yang sama, dia menjadi satu-satunya guru seni musik yang bisa membaca not balok di wilayah Madiun.

Sartono belajar musik dengan cara otodidak, tanpa mengenyam pendidikan tinggi tentang musik. Damiyati sang istri mengungkapkan bahwa suaminya menciptakan lagu tersebut hanya dengan bersiul dan menorehkan liriknya pada secarik kertas. Itu lantaran ia tak punya alat musik.

Dua tahun kemudian, Sartono mengikuti lomba cipta lagu bertema pendidikan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Saat lomba itu, dia menyanyikan lagu yang dibuatnya sendiri.

Dari ratusan peserta yang ikut, Sartono berhasil memenangkan lomba tersebut dan mendapatkan sejumlah uang. Ia bersama sejumlah guru lainnya juga dikirimkan ke Jepang untuk melakukan studi banding. Sartono disebut menghasilkan delapan buah lagu bertema pendidikan selain Hymne Guru.

2 dari 4 halaman

Tak Dapat Royalti

 

Sejak menang, lagu Hymne Guru dinyatakan sebagai salah satu lagu wajib nasional. Lagu ini biasa diputar di momen Hari Guru Nasional pada tanggal 25 November, yang juga merupakan kelahiran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 25 November 1945.

Meski lagu itu populer, Damijati menyatakan suaminya tidak menerima royalti dari lagu ciptaannya. Sartono resmi pensiun dari sekolah tempat dia mengajar pada 2002 dan melanjutkan di SDN Klegen V, Madiun sebagai PNS. Ia benar-benar pensiun pada 2011.

Setelah menjalani karirnya di dunia musik dan Pendidikan, dirinya mulai sakit-sakitan dan meninggal di usia 79 tahun pada 1 November 2015. Sartono meninggal karena mengalami penyakit kompilasi, yaitu gejala stroke, jantung, kencing manis, dan penyumbatan pembuluh darah di otak.

 

Dikutip dari situs resmi Kemendikbud, gejala sakit Sartono sudah terlihat sekitar dua minggu sebelum ia meninggal. Saat itu, suaminya tidak mau makan dan merasakan sakit pada lengan kiri. Sekitar dua hari sebelumnya, Damijati mengatakan bahwa Sartono jatuh dari ranjang tempat tidurnya.

3 dari 4 halaman

Rumah Dijual

Sartono dirawat di RSUD Madiun dan sempat mengalami koma, hingga refleks nyeri, kedipan mata serta komunikasi pada organ tubuh tidak bisa lagi dilakukan. Pihak RSUD menggunakan slang untuk memasukkan nutrisi pada tubuhnya karena Sartono tidak bisa makan dan minum.

Sepeninggal suaminya, Damijati harus berjuang sendirian. Nama besar suaminya ternyata tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia bahkan mulai menawarkan rumahnya di Madiun untuk dijual.

Tersentuh dengan hal tersebut, penyanyi Tompi kemudian memiliki inisiatif galang dana untuk membantu kesulitan Damijati dengan program 'Bantu Istri Pencipta Lagu Hymne Guru' melalui program kitabisa.com/untukibudamijati sejak 31 Januari 2019. Program tersebut menargetkan Rp 200 juta terkumpul dari donasi.

Rumah seluas 8 x 15 meter itu terletak di Jalan Halmahera, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, Jawa Timur itu. Tapi hingga empat tahun berlalu, rumah tersebut belum laku terjual dan istri Sartono juga sudah meninggal dunia. Rumah berdinding papan kayu itu kini kosong tak berpenghuni.

4 dari 4 halaman

Lirik Hymne Guru

 

Terpujilah

Wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

Sebagai prasasti terima kasihku

Tuk pengabdianmu

Terpujilah wahai ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

Sebagai prasasti terima kasihku

Tuk pengabdianmu

Engkau bagai pelita dalam kegelapan

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia

 

Lirik penutup, yakni pembangun insan cendekia, sebelumnya berbunyi 'tanpa tanda jasa'. Perubahan lirik lagu di kalimat terakhir ini telah disepakati dan ditandatangani pada 27 November 2007, disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas dan ketua pengurus besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Perubahan lirik lagu 'Hymne Guru' ini juga diatur dalam surat edaran PGRI Nomor 447/Um/PB/XIX/2007 tanggal 27 November 2007.

Sementara, Hari Guru Nasional ditetapkan Presiden Soeharto pada 25 November 1994, dengan Kepres Nomor 78 tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional. Dikutip dari situs resmi Pemerintahan Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, semua berawal dari Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), yang merupakan organisasi perjuangan para guru pribumi pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Organisasi ini didirikan pada 1912 dengan latar Pendidikan yang berbeda-beda satu sama lain.

Bersama kongres guru lainnya, mereka berusaha dalam memperjuangkan persamaan hak dan posisi mereka terhadap Pemerintah Hindia – Belanda pada saat itu. Jabatan Kepala Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang sebelumnya selalu dijabat oleh pemerintah Belanda akhirnya diduduki orang pribumi. Pada 1932, Persatuan Guru Hindia Belanda diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).

Pada masa pendudukan Jepang, segala organisasi dilarang termasuk Persatuan Guru Indonesia. Sekolah ditutup dan Persatuan Guru Indonesia tidak dapat lagi melakukan aktivitas. Kemudian, Kongres Guru Indonesia diadakan pada 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres tersebut, seluruh organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan seperti pendidikan, agama, dan sebagainya sepakat dihapuskan. Mereka bersepakat untuk membentuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 25 November 1945.