Liputan6.com, Jakarta - Menjelang detik-detik pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono, tamu yang datang ke tasyakuran pernikahan diberitahu untuk tidak menggunakan batik motif tertentu. Hal itu disampaikan oleh Gibran Rakabuming Raka yang menjadi salah satu panitia pernikahan Kaesang dan Erina.
Kepada wartawan, Gibran menjelaskan bahwa pihak Pura Mangkunegaran yang menjadi lokasi tasyakuran meminta agar tamu undangan tidak mengenakan batik bermotif parang di acara yang digelar pada 11 Desember 2022. "Itu aturan dari Kanjeng Gusti [KGPAA Mangkunegara X]," ujar Gibran kepada wartawan di Balai Kota Solo, Senin, 5 Desember 2022.
Advertisement
Baca Juga
Apa sebenarnya alasan larangan tersebut? Salah satu batik parang adalah motif parang kusumo. Namanya diambil dari kata kusumo yang dalam bahasa Jawa memiliki arti bunga, atau makna lainnya diartikan sebagai bangsawan.
Hal ini menunjukkan bagaimana batik yang berarti bangsawan ini hanya boleh digunakan oleh keluarga kerajaan dan golongan tertentu saja. Biasanya, keluarga kerajaan hanya memakai batik ini ketika berada di dalam kerajaan maupun keraton.
Mengutip dari laman Museum Nusantara, Selasa (6/12/2022), berdasarkan penelusuran sejarah yang mendalam Batik Parang Kusumo berasal dari Solo, tetapi di beberapa sumber mengatakan bahwa asalnya dari Yogyakarta. Batik Parang Kusumo sebagai salah satu batik tertua yang ada di Indonesia. Batik ini diperkirakan sudah ada sejak 1600-an pada zaman Keraton Mataram Kartasura di Kota Surakarta.
Menggambarkan Ombak
Batik yang terkenal dengan kekuatan mistis ini juga memiliki motif seperti huruf "S", melambangkan jalinan tiada terputus dan selalu tersambung berkesinambungan. Lambang ini mengartikan agar pemakainya terus mengupayakan perbaikan diri, memperjuangkan kesejahteraan dan membentuk pertalian yang erat di keluarga.
Berdasarkan huruf “S”, hal tersebut menggambarkan ombak yang memiliki makna semangat yang tidak pernah padam. Batik Parang memiliki filosofi sekaligus memberikan petuah bagaimana agar seseorang untuk tidak pantang menyerah layaknya ombak yang tidak pernah berhenti bergerak.
Batik Parang Kusumo juga menggambarkan agar pemakainya bisa selalu semangat dan terus mengupayakan membentuk pertalian keluarga yang sangat erat dan tidak gampang pecah. Lambang ini juga merupakan doa untuk memiliki keberanian dan ketegaran.
Hal ini mirip seperti yang dilambangkan oleh motif bergelombang mirip lengkungan pada Keris pusaka Jawa maupun lengkungan ombak laut. Pengguna parang rusak adalah jiwa mulia yang dapat mengendalikan gelombang godaan yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Advertisement
Sarat Filosofi
Mengutip kanal Regional Liputan6.com, Gusti Kanjeng Ratu Bendara mengungkapkan, dari sekian banyak batik yang dominan dengan warna coklat dan putih, terdapat batik yang latarnya berwarna hitam dengan goresan hijau. Batik tersebut adalah batik Radyo Katiyoso, yakni batik yang dibuat khusus untuk para edukator yang berada di Museum Keraton Yogyakarta. Terdapat aksara Jawa pada motif batik tersebut.
Menurut GKR Bendara, tiap batik punya filosofinya masing-masing. Sebutlah batik Parang Barong yang terdapat semacam tangga pada motifnya. Batik ini memiliki makna kemurnian diri. Diharapkan, siapapun yang mengenakan batik tersebut memang memiliki hati yang murni saat mengenakannya.
Pada batik Kawung ada motif yang terkesan berputar dengan warna putih di bagian tengahnya, diartikan sebagai roda itu berputar atau kembali kepada nol. Intinya mengenai bagaimana mencapai sebuah kemuliaan di dunia, tetapi tetap suci.
Sementara, Batik Larangan Keraton Yogyakarta atau yang juga disebut awisan dalem adalah motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta.Tidak semua orang boleh memakainya.
Adapun yang termasuk Batik Larangan di Keraton Yogyakarta, di antaranya Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk. Setiap Sultan yang sedang bertahta punya kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan.
Batik Larangan Lainnya
Parang rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785. Ketika pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada motif huk dan kawung.
Motif huk antara lain terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap), dan garuda. Motif-motif tersebut memiliki maknanya tersendiri. Sebutlah motif kerang yang bermakna kelapangan hati, motif binatang menggambarkan watak sentosa, motif tumbuhan melambangkan kemakmuran, serta motif sawat bermakna ketabahan hati.
Motif ini dipakai untuk simbol pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya. Motif huk ini cuma boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Adapun motif kawung memiliki pola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat. Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai 'keblat papat lima pancer'.
Motif tersebut dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin. Pendapat lain mengungkap bahwa kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang sedang mekar.
Bunga teratai umumnya dimaknai sebagai lambang kesucian. Motif kawung pun sering diartikan sebagai biji kawung atau kolang-kaling, yakni buah pohon enau atau aren yang memiliki manfaat bagi manusia. Oleh karenanya, pemakai motif ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lingkungannya. Motif kawung ini hanya boleh dipakai oleh para Sentana Dalem.
Advertisement