Liputan6.com, Jakarta - Dataran Tinggi Tibet merupakan sumber air penting bagi hampir dua miliar orang di Asia. Namun, kondisi 'menara air Asia' itu kini di bawah ancaman krisis iklim yang semakin meningkat. Sejumlah ilmuwan menyatakan penyebab utamanya adalah polutan udara yang dikenal sebagai karbon hitam.
Dikutip dari South China Morning Post, Minggu, 11 Desember 2022, karbon hitam sejenis jelaga itu adalah komponen partikel halus (PM 2,5). Itu merupakan hasil pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa yang tidak sempurna. Emisi karbon hitam menyumbang pemanasan global lewat penyerapan energi matahari dan kemudian memanaskan sekelilingnya.
Advertisement
Ketika tersimpan di es atau salju, karbon hitam mengurangi albedo permukaan, yakni kemampuan untuk memantulkan sinar matahari, yang kemudian memanaskan permukaan dan mempercepat pencairan glasial. Daerah yang tertutup es seperti Kutub Utara, Antartika, dan Himalaya, rentan terhadap emisi karbon hitam.
Begitu pula dengan Dataran Tinggi Tibet, karbon hitam dapat mengakibatkan pencairan gletser dalam laju yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebuah studi yang dipimpin oleh para peneliti dari Institut Eko-Lingkungan dan Sumber Daya Northwest Academy of Sciences Cina telah menemukan bahwa peningkatan konsentrasi karbon hitam di Asia Selatan telah mengurangi tingkat curah hujan musim panas di Dataran Tinggi Tibet Selatan.
Akibatnya, lapisan gletser di wilayah itu menyusut lebih cepat. Temuan tersebut mendorong para ilmuwan untuk menyerukan pengurangan emisi karbon hitam di Asia Selatan untuk menjaga keseimbangan air yang penting di dataran tinggi dan menghindari kekurangan air dan bahaya geologis di masa depan.
Â
Lebih Parah
Dalam kasus Dataran Tinggi Tibet yang menyimpan cadangan es terbesar ketiga di dunia, emisi karbon hitam itu berasal dari negara-negara di Asia Selatan yang merupakan pencemar udara terburuk di dunia. Emisi karbon hitam dari anak benua India dibawa lebih tinggi ke Daratan Tinggi Tibet dan memperburuk pencairan gletser yang oleh para peneliti disebut sebagai 'efek langsung'.
Dalam studi yang diterbitkan di jurnal peer-review Nature Communications pada 30 November 2022, para peneliti juga menemukan bahwa karbon hitam dari Asia Selatan berdampak pada berkurangnya jumlah curah hujan di Dataran Tinggi Tibet Selatan. Berdasarkan analisis data curah hujan dari 1961 hingga 2016, para peneliti menemukan bahwa jumlah curah hujan musim panas di Dataran Tinggi Tibet Selatan mulai menurun sejak 2004 dengan rata-rata 4,4 mm per tahun.
Presipitasi musim panas menyumbang lebih dari 60 persen dari total curah hujan tahunan di dataran tinggi, sehingga penurunan hujan musiman mengakibatkan penyusutan glasial, kata studi tersebut. Masalahnya semakin cepat sejak awal abad ini.
Â
Advertisement
Tak Mudah Diatasi
Kang Shichang, salah satu koresponden studi dan peneliti dari Akademi Ilmu Pengetahuan China mengatakan bahwa karbon hitam yang dihasilkan di Asia Selatan telah mengintensifkan konveksi atmosfer dan kondensasi awan. Menurut Kang, hal itu mengakibatkan lebih banyak curah hujan di Asia Selatan tetapi lebih sedikit uap air di Dataran Tinggi Tibet.
Para peneliti juga menemukan bahwa penurunan curah hujan yang disebabkan oleh karbon hitam Asia Selatan menyumbang 11 persen rata-rata hilangnya massa gletser di Dataran Tinggi Tibet Selatan dari 2007 hingga 2016, dan sebanyak 22 persen di Himalaya.
"Emisi karbon hitam diperkirakan akan meningkat di Asia Selatan," kata Kang. "Sangat penting untuk mengurangi emisi di Asia Selatan untuk melindungi menara air Asia."
Robert Gillies, salah satu penulis korespondensi studi dan seorang profesor di Utah State University, mengatakan bahwa menghilangkan sumber polusi di Asia Selatan 'lebih mudah diucapkan daripada dilakukan'. "Jika sumber polusi adalah entitas besar yang memiliki sumber daya moneter untuk mengekstraksi karbon hitam dengan menyaringnya dari sumbernya, seperti di cerobong asap, itu akan menjadi solusinya," katanya.
Tapi, hal itu tidak berlaku di Asia Selatan yang sumber karbon hitam tersebar di berbagai tempat. "Misalnya, ada ribuan kiln independen di sepanjang perbatasan utara India. Pendapat saya adalah itu seringkali dibutuhkan berkaitan dengan titik kritis manusia untuk melakukan sesuatu."
Kasus Covid-19
Pada Agustus 2022, otoritas China menutup Istana Potala di Tibet setelah wabah COVID-19 dilaporkan terjadi di wilayah Himalaya. China mengumumkan 828 kasus baru penularan domestik pada Selasa, 22 di antaranya di Tibet. Sebagian besar kasus tersebut tidak menunjukkan gejala.
Sebuah pemberitahuan di situs media sosial Weixin menyebut pihak istana mengatakan lokasi bersejarah itu merupakan rumah bagi para pemimpin Buddha Tibet. Bangunan itu ditutup mulai Selasa, 9 Agustus 2022, akibat COVID-19, dengan tanggal pembukaan kembali yang akan diumumkan kemudian, demikian dikutip dari Channel News Asia.
Potala menjadi salah satu daya tarik wisata yang menjadi sumber ekonomi utama Tibet. Penutupan itu tentu berdampak pada ekonomi Tibet.
Namun, China saat itu bersikeras mempertahankan kebijakan "nol-COVID", yang mewajibkan lockdown, karantina, dan pembatasan perjalanan, bahkan ketika sebagian besar negara lain telah dibuka kembali. China mengatakan, kebijakan kerasnya telah berhasil mencegah rawat inap dan kematian skala besar, sementara para kritikus termasuk WHO telah mencela dampaknya terhadap ekonomi dan masyarakat.
Advertisement