Sukses

Bukan Sushi Atau Ramen, Kok Makanan Beku Malah Jadi 2022 Dish of the Year di Jepang?

Sebelum makanan beku, minuman non-alkohol (2021), boba tapioka (2019), dan makarel (2018) sudah lebih dulu terpilih sebagai Dish of the Year di Jepang.

Liputan6.com, Jakarta - Jepang secara resmi menamai Dish of the Year mereka untuk 2022, dan itu bukan sushi atau ramen yang termasyhur. Titel tersebut justru diberikan pada makanan beku. Kok bisa?

Demi menyoroti tren makanan yang berkembang di Jepang, acara "Dish of the Year" diselenggarakan setiap tahun dengan pemenang sebelumnya termasuk minuman non-alkohol (2021), boba tapioka (2019), dan makarel (2018). Dipandu dan diresmikan pemandu restoran Gurunavi Research Institute, melansir Says, Senin, 12 Desember 2022, dalam peresmian disebut bahwa hidangan primadona tahun ini di Negeri Sakura terdiri dari berbagai makanan beku, seperti daging, pizza, dan makanan penutup yang berbeda.

Gurunavi Research Institute adalah situs web yang meneliti budaya pangan, teknologi pangan, serta TIK dan penelitian web. Makanan beku dipilih sebagai hidangan nomor satu Jepang tahun 2022 untuk mencerminkan peningkatan popularitasnya di kalangan warga negara itu selama pandemi COVID-19.

Menurut CNN, Kementerian Dalam Negeri Jepang mencatat peningkatan pembelian makanan beku per keluarga sebesar 20 persen dari 2019 hingga 2021 selama pandemi COVID-19, yang mencerminkan perubahan iklim sosial Jepang.

Karena pembatasan pergerakan, banyak orang Jepang tidak dapat membeli makanan segar untuk dimasak setiap hari. Maka itu, mereka memilih membeli makanan beku yang dapat digunakan selama seminggu sebelum harus dibeli kembali.

Sebagian besar restoran juga terpaksa membekukan makanan mereka untuk memenuhi permintaan pesanan takeout selama pandemi COVID-19. Makanan beku juga dengan cepat jadi makanan cepat saji favorit di Jepang karena menghemat waktu dan membatasi pemborosan makanan.

2 dari 4 halaman

Budaya Makan Masa Depan

Lembaga penelitian tersebut berkata, "Kehadiran makanan beku akan sangat diperlukan dalam budaya makanan Jepang di masa depan."

Sebelum ini, pandemi tercatat telah mengubah praktik bisnis kuliner Jepang, termasuk dalam penyediaannya. Awal tahun lalu, sejumlah chef di negara itu dipaksa keluar dari zona nyamannya dan mencari cara baru agar bisnis mereka tetap bisa berjalan saat banyak orang memilih tetap makan di rumah.

Selain beralih ke bisnis pesan antar makanan, saat itu juga populer layanan menyewa jasa koki untuk memasak makanan berkualitas tinggi di rumah. Layanan itu dipandang tepat sebagai alternatif menyantap kuliner berstandar restoran tanpa perlu keluar rumah, sehingga relatif rendah risiko terpapar COVID-19.

"Ini benar-benar sangat membantu karena kita tidak bisa makan di luar dan saya cukup sibuk dengan merawat anak-anakku," kata seorang dokter berusia 30 tahunan yang baru saja kembali bekerja dari cuti melahirkan, dikutip dari Japan Today.

Ia menyebut, layanan menyewa chef di rumah berbeda dari pesan antar makanan, karena ada "keistimewaan sendiri." "Kami bisa berdiskusi tentang makanan apa yang kami inginkan, dan saya sangat menyukai itu," ucap warga Tokyo tersebut.

 

3 dari 4 halaman

Biaya per Kunjungan

Satu keluarga biasanya menggunakan layanan berlangganan. Chef kemudian menyiapkan sajian untuk tiga sampai empat malam dengan biaya 7.480 yen (sekitar Rp1,2 juta) per kunjungan. Biaya itu tudak termasuk bahan-bahan makanan.

"Saya sedikit khawatir ketika menggunakan dapur orang lain, tapi ini pengalaman belajar yang sangat baik," kata Reki Uchiyama, seorang chef berusia 47 tahun yang memasak makanan dan terdaftar di Sharedine Co. Perusahaan itu menyediakan daftar chef yang bisa melayani pelanggan di rumah.

Di rumah dokter yang terdiri dari suami, istri, dan seorang bayi, Uchiyama menyiapkan sekitar 10 menu dalam tiga jam. Sesuai permintaan, Sharedine dapat memasangkan "chef pribadi" dengan pelanggan reguler mereka untuk mengakomodasi nutrisi sesuai keinginan dengan lebih mudah.

Secara umum, tanggapan para pelanggan atas layanan itu cukup positif. Di sisi lain, layanan yang disediakan Sharedine telah menciptakan peluang kerja baru bagi para chef di masa pandemi.

Permintaan jasa penyiapan makanan sebenarnya sudah ada di Jepang sebelum pandemi COVID-19. Tapi, krisis kesehatan mengakselerasi tren tersebut.

4 dari 4 halaman

Model Bisnis Lainnya

Sharedine yang didirikan sejak Mei 2017 menyediakan program untuk chef bekerja dari luar sehingga mereka bisa bertukar informasi dan menerima pelatihan untuk mencegah terinfeksi virus. Jumlah chef yang terdaftar di perusahaan saat itu mencapai 900 orang.

Kala itu, beberapa dari mereka masih bekerja di restoran, tapi ingin melebarkan sayap dengan melayani masak di rumah pada waktu yang sama. Layanan tersebut juga dinilai bisa menawarkan jenjang karier profesional yang solid untuk chef yang baru saja menyelesaikan pendidikan.

"Selesainya perekrutan hotel dan restoran untuk mengantisipasi kebutuhan Olimpiade bertepatan dengan pandemi virus corona. Jadi, sangat mendesak untuk membangun jenjang karier bagi para lulusan baru," kata Yukio Hattori, Kepala Asosiasi Sekolah Kuliner Jepang.

Selain layanan masak di rumah, para chef juga mengembangkan model bisnis baru, yakni cloud kitchen atau restoran hantu. Salah satunya bernama Shokunomori. Sekitar 10 layanan makanan berbagi dapur, masing-masing menawarkan menu yang berbeda untuk pelanggan mereka.

Dibandingkan restoran yang berdiri sendiri, model bisnis tersebut memungkinkan operator bisa merintis bisnis dengan biaya lebih murah. "Kami perlu tempat untuk mendukung para chef yang sedang berjuang dalam situasi sulit ini," kata Junji Arisako, Kepala Shokunomori.