Sukses

Mengenal Suku Bajo yang Jadi Inspirasi Film Avatar 2, Punya Daya Tahan Lebih Saat Menyelam

Sutradara film Avatar 2, James Cameron James menilai bahwa kehidupan masyarakat Suku Bajo begitu menghormati laut.

Liputan6.com, Jakarta - Suku Bajo tengah menjadi perbincangan setelah James Cameron, sutradara film Avatar: The Way of Water atau Avatar 2 mengungkapkan bahwa salah satu suku di Indonesia itu menjadi inspirasinya menciptakan Suku Metkayina. Dalam wawancara yang dipublikasikan pada 17 Desember 2022 di kanal YouTube National Geographic, sutaradara Titanic ini mengungkap bahwa salah satu inspirasi Avatar 2 berasal dari Indonesia.

Warganet menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah suku Bajo atau Suku Bajau.  James Cameron menilai bahwa kehidupan masyarakat asli ini begitu menghormati laut.

“Mereka punya rasa hormat yang mendalam atas harmoni dan keseimbangan terhadap alam. Ada yang menato kulit tubuh dan wajahnya—dan kami melakukan versi Pandora di film,” tuturnya.  Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dunia, tak heran James Cameron juga merasa harus mendatangi negeri ini.

 

“Ada orang-orang laut di Indonesia yang hidup di rumah panggung, rakit, dan lain sebagainya. Kami melihat hal-hal seperti ini,” terang Cameron.  Menurut laman Kemdikbud, Suku Bajo merupakan etnis asal Asia Tenggara yang punyai karakteristik kemaritiman cukup kental.

Asalnya konon dari Kepulauan Sulu Filipina yang biasa disebut juga Suku Bajau atau Suku Sama. Di Indonesia, Suku Bajo bisa dijumpai di sekitar perairan Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara, hingga ke pantai timur Sabah (Malaysia).

Bentuk rumah suku Bajo sendiri biasanya berbentuk rumah panggung yang dipasang tiang pancang di mana hal tersebut untuk menghindari gelombang pasang. Dinding yang digunakan juga berasal dari bahan kayu dan atapnya terbuat dari rumbia.

Tinggal di perairan laut, membuat kegiatan sehari-hari suku Bajo didukung oleh transportasi air berupa perahu. Selain sebagai alat transportasi, perahu-perahu digunakan oleh masyarakat suku Bajo untuk mencari nafkah.

 

2 dari 4 halaman

Limpa Berukuran Besar

Dengan jarak yang sangat dekat dengan laut, mata pencaharian mayoritas Suku Bajo adalah nelayan. Mereka berburu ikan dengak beragam cara, mulai dari memancing, menjaring hingga memanah dengan tongkat kayu dan anak panah atau tombak. Memanah itu yang menjadi keahlian andalan orang Suku Bajo.

Kendaraan sehari-harinya berupa perahu. Kendaraan tersebut menjadi transportasi yang umum mereka gunakan ketika akan berpergian baik ke wilayah darat misalnya. 

Satu lagi keunikan sekaligus keistimewaan Suku Bajo adalah kemampuan mereka dalam menyelam. Melansir kanal Global Liputan6.com, para peneliti telah mengidentifikasi varian genetik yang membuat limpa pada tubuh orang Suku Bajo berukuran besar, sehingga memiliki daya tahan lebih baik ketika menyelam bebas di lautan.

Hasil studi yang terbit di jurnal Cell pada Kamis, 19 April 2018 itu menunjukkan eksistensi seleksi alam di era kehidupan manusia modern. "Ini adalah contoh menarik tentang bagaimana manusia dapat, dalam waktu yang relatif singkat, beradaptasi dengan lingkungan lokal," kata Rasmus Nielsen, salah penulis studi dari University of California, Berkeley.

Dikutip dari The Scientist, Jumat (20/4/2018), orang-orang suku Bajo diketahui tinggal di desa-desa pesisir yang tersebar di sebagian besar wilayah Asia Tenggara.  Mereka kerap menggunakan tombak tradisional dan peralatan sederhana, untuk mengumpulkan ikan dan kerang. Hanya dengan menahan nafas panjang, mereka telah melakukan selam perburuan secara bebas sejak sekitar seribu tahun lalu.

 

3 dari 4 halaman

Masyarakat Bajo

Menurut penelitian tersebut, tubuh manusia sejatinya memiliki beberapa trik untuk meningkatkan waktu yang dihabiskan di bawah air, dengan kondisi lingkungan yang kekurangan oksigen.  Salah satunya adalah dengan meningkatkan produksi sel darah merah, yang memungkinkan pengiriman oksigen yang lebih efisien ke organ dan jaringan, atau untuk memperluas kapasitas paru-paru mereka.

Adaptasi terbaru yang dikemukakan oleh para peneliti adalah memperbesar ukuran limpa, yang berfungsi menyimpan sel darah merah teroksigenasi (mengikat oksigen) saat menyelam, untuk kemudian melepaskannya secara alami sebagai pengganti sirkulasi udara.  Melissa Ilardo, yang merupakan mahasiswa pascasarjana di University of Copenhagen ketika penelitian ini dilakukan, berusaha memahami apakah masyarakat Bajo telah mengembangkan strategi mereka sendiri untuk mengatasi hipoksia (kurangnya kadar oksigen di tubuh) saat menyelam.

Ilardo melakukan perjalanan ke desa-desa tepi pantai di semenanjung Sulawesi Tengah, di mana populasi masyarakat Bajo dan Saluan -- salah satu suku pesisir – berada. Ia kemudian merekrut 43 orang Bajo dan 33 orang Saluan untuk berpartisipasi dalam penelitiannya.

Ilardo mengukur ukuran limpa mereka menggunakan mesin ultrasound, dan mengambil sampel air liur untuk sekuensing (pengurutan) genom. Dia tertarik meneliti limpa, karena organ itu bisa tumbuh sangat besar di beberapa mamalia laut ketika menyelam.

 

4 dari 4 halaman

Perjalanan Ilmiah

Sebelum melakukan perjalanan ilmiah tersebut, Ilardo menghabiskan berbulan-bulan mempelajari bahasa Indonesia, untuk bisa berkomunikasi dengan orang Bajo."Saya ingin memastikan bahwa ini adalah upaya kerja sama," katanya menegaskan. Ilardo dan rekan-rekannya menemukan bahwa limpa orang Bajo sekitar 50 persen lebih besar dibandingkan dengan Saluan, termasuk dengan mempertimbangkan jenis kelamin, usia, berat, dan tinggi individu.

Selanjutnya, penelitian ini membandingkan urutan genom dari para partisipan Bajo dan Saluan dengan orang-orang Han Cina sebagai kelompok kontrol, meski tidak terkait satu sama lain.  Setelah memindai seluruh varian genom, peneliti mengidentifikasi polimorfisme 25 teratas yang unik untuk genom masyarakat Bajo, yang menunjukkan seleksi alam tengah bekerja akibat budaya menyelam bebas yang mereka lakukan.

Peneliti kemudian membuat pohon filogenetik, memperkirakan bahwa orang Bajo keluar dari komunitas Saluan sekitar 15.000 tahun lalu, yang kemudian mendorong terciptanya varian genetika unik lantaran budaya nomaden di lautan yang dijalaninya.

"Analisis seperti ini membantu memberikan bukti empiris tentang lintasan seleksi alam pada spesies kita (manusia) dan kerangka waktu dari proses tersebut," jelas Cynthia Beall, antropolog pada Case Western Reserve University di Cleveland, yang juga tidak berpartisipasi dalam penulisan hasil studi ini.