Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara anggota Uni Eropa (UE) pada Rabu, 4 Januari 2023, sepakat untuk mewajibkan semua pelancong yang datang dari China, terlepas dari kebangsaannya, melampirkan hasil tes negatif COVID-19. Langkah itu diambil lantaran jumlah infeksi melonjak di Tiongkok.
Mengutip dari laman Euronews, Kamis (5/1/2022), tes COVID harus dilakukan tidak lebih dari 48 jam sebelum jadwal penerbangan. Keputusan yang tidak mengikat secara hukum itu dibuat oleh Integrated Political Crisis Response (IPCR) Uni Eropa, sebuah badan yang membantu mengoordinasikan manajemen krisis di antara 27 negara anggota.
Advertisement
Baca Juga
IPCR juga setuju bahwa penumpang dalam penerbangan ke dan dari Tiongkok ke UE harus mengenakan masker atau respirator medis, selain tindakan kebersihan lain yang mungkin diamanatkan oleh otoritas nasional. Negara-negara anggota didesak untuk 'menguji acak' pada penumpang yang datang dari China dan untuk memantau air limbah dari pesawat demi mendapatkan petunjuk tentang varian yang berpotensi berbahaya, menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh kepresidenan Dewan Uni Eropa Swedia.
Sejumlah negara UE, seperti Italia, Prancis, dan Spanyol, sudah lebih dulu memberlakukan langkah pengetatan perjalanan sebagai tanggapan atas wabah massal kasus COVID-19 di China. Mereka meminta siapapun yang tiba dari Tiongkok menjalani tes Covid-19.
Beijing sebelumnya tiba-tiba melonggarkan apa yang disebut "nol-COVID", langkah-langkah yang seharusnya menahan penyebaran virus. Hal itu dianggap sebagai reaksi terhadap protes jalanan yang meluas terhadap kebijakan ketat yang memaksa penguncian seluruh kota dan orang-orang dikurung di rumah mereka untuk waktu yang lama. Kontrol informasi yang ketat dilakukan oleh negara China membuat perkembangan wabah itu tidak diketahui pasti.
Dianggap Diskriminatif
Menurut data yang diberikan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), China mencatat 242 kematian akibat COVID-19 pada Minggu, 26 Desember 2022. Namun bulan lalu, sekelompok pakar kesehatan yang berbasis di Inggris menyebut bahwa sekitar 9.000 orang bisa meninggal akibat penyakit itu setiap hari.
Jelang keputusan UE pada Rabu lalu, Beijing menanggapi hal itu dengan pernyataan "tidak dapat diterima" dan "diskriminatif". "Kami sangat menentang upaya memanipulasi tindakan COVID untuk tujuan politik dan akan mengambil tindakan pencegahan berdasarkan prinsip timbal balik," sebut juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning.
Negara-negara Eropa mengkhawatirkan lonjakan infeksi yang tak terkendali bisa melahirkan varian COVID-19 yang baru dan lebih menular hingga mengancam kemajuan yang dibuat dalam dua tahun terakhir. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) mengatakan pada Selasa, 3 Januari 2023, bahwa varian yang ditemukan di China "sudah beredar di UE, dan dengan demikian tidak menantang respons kekebalan warga UE."
Lebih dari 75 persen dari total populasi UE telah menerima setidaknya satu dosis vaksin. "Mengingat kekebalan populasi yang lebih tinggi di UE, serta kemunculan sebelumnya dan penggantian varian berikutnya yang saat ini beredar di China oleh sub-garis keturunan Omicron lainnya di UE, lonjakan kasus di China diperkirakan tidak akan berdampak pada situasi epidemiologi COVID-19 di UE," ungkap badan itu dalam sebuah pernyataan.
Advertisement
Temuan WHO
Sementara itu mengutip kanal Global Liputan6.com, Kamis (5/1/2022), WHO merilis laporan terbaru kondisi pandemi COVID-19 di China yang masih meroket. Sejauh ini, WHO belum mencatat adanya kasus varian baru.Â
Dari laporan WHO pada 4 Januari 2023, dua varian Virus Corona COVID-19 yang paling dominan yaitu BA.5.2 and BF.7. Total infeksi keduanya mencapai 95 persen di China.Â
"Varian-varian tersebut sudah diketahui dan telah menyebar di beberapa negara lain, dan saat ini tidak ada varian baru yang dilaporkan oleh CDC China," tulis pernyataan WHO di situs resminya, dikutip Kamis (5/1/2023).
Varian BF.7. tersebut juga sudah masuk ke Indonesia. Tim WHO yang memantau China yaitu Technical Advisory Group on Virus Evolution (TAG-VE). Mereka menyebut ada beberapa sub-keturunan Omicron yang terdeteksi meski persentasenya rendah. Tetapi, varian Omicron tersebut juga bukan hal baru.
WHO mengungkap akan terus memonitor situasi di China dan semua negara. Badan PBB itu juga mengimbau semua negara agar waspada dan memantau sekuensi sub-keturunan varian Omicron dan meneliti keparahan yang disebabkannya.Â
Beredar di Indonesia
Berbagi data juga ditegaskan WHO sebagai hal penting untuk menyiapkan pencegahan. "Hal ini dapat dicapai dengan baik melalui pengiriman data secara cepat dan reguler melalui database-database yang bisa diakses secara publik," papar WHO.
Tak hanya masalah di China, TAG-VE juga memantau varian XBB.1.5 yang sedang menyebar di Amerika Serikat. Menurut laporan CDC Amerika Serikat, varian XBB.1.5 kemungkinan menular daripada varian-varian sebelumnya di AS. CDC AS masih memantau varian yang berpotensi menjadi 40,5 persen kasus secara nasional.Â
Sejumlah rekomendasi yang diberikan CDC adalah vaksin booster, memakai masker di keramaian, dan tes COVID-19 sebelum acara kumpul-kumpul. Sempat dilaporkan, varian baru COVID-19 sebenarnya masih bermunculan di Indonesia, seperti varian Omicron BA.2.75 dan Omicron BF.7, yang menyebabkan terjadinya lonjakan kasus di beberapa negara lainnya.
Lalu, apa alasan pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) masih tak harus menunjukkan hasil tes COVID-19 saat sampai ke Indonesia? Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr Mohammad Syahril menjelaskan hal itu karena kondisi di dalam negeri masih baik-baik saja dan tidak terjadi peningkatan kasus yang signifikan meski varian itu sudah masuk ke dalam negeri.
"Kedua, tidak menyebabkan hospitalisasi maupun kematian," ujar Syahril dalam acara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ditulis Selasa, 3 Januari 2023.
Advertisement