Sukses

Sejarah Kopi Priangan yang Memasok Benua Eropa pada Abad ke-18

Priangan pernah menjadi keresidenan yang tergabung dengan Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura sebagai daerah penghasil kopi terkenal hingga ke Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia terkenal sebagai salah satu penghasil kopi terbaik di dunia. Kopi gayo Aceh, Kintamani Bali, hingga kopi Toraja adalah contoh dari kopi-kopi populer di Indonesia saat ini. Namun, kopi Priangan tidak masuk daftar itu padahal Tanah Pasundan merupakan daerah utama penghasil kopi di Jawa saat era kolonial Belanda.

Mengutip dari jurnal patanjala Kemendikbud, Sabtu, 7 Januari 2023, sejarah kopi Priangan tak lepas dari posisi daerah itu sebagai keresidenan di masa kolonial pada 1818. Keresidenan Priangan terdiri atas Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura.

Kopi pada abad ke-18 merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan bangsa Eropa, sehingga memicu VOC untuk memasok kopi dari pegunungan Priangan. Permintaan kopi yang terus meningkat membuat penanaman kopi di Priangan terus digenjot. 

Di masa itu, biji kopi yang ditanam di Priangan tumbuh dengan subur, khususnya di Cianjur yang menjadi ibu kota Keresidenan Priangan. Pemerintah kolonial saat itu memberlakukan tanam paksa kopi yang membuat produksi kopi melimpah. Bahkan sewaktu Cianjur dijabat oleh Bupati Wiratanu III, mereka dapat menyerahkan hasil tanaman kopi melebihi kabupaten lainnya. 

Namun, pergolakan sosial politik pada 1816-1942 mengubah posisi Priangan. Di satu momen, pada 1864 ibu kota Keresidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung yang membuat arti penting Cianjur menurun di mata pemerintah Kolonial Belanda pada saat itu. 

2 dari 4 halaman

Asal Mula Kopi Priangan

Kopi pertama kali ditemukan pada tahun 850 oleh seorang gembala Arab di Mocha, sebuah pelabuhan di daerah Yaman bernama Kaldi. Dari Arab kemudian kopi menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Eropa. Di negeri Belanda, minuman kopi mula-mula di perkenalkan oleh Pieter van den Broecke pada 1616. Tak lama kemudian minuman ini jadi populer di Belanda.

Untuk memenuhi permintaan pasar, VOC membeli kopi dipelabuhan Mocha dan menjualnya dengan harga tinggi, namun keuntungannya tidak signifikan dikarenakan terjadi persaingan dengan Turki. Untuk menghadapi persaingan, VOC mencoba untuk menghasilkan kopi sendiri.

VOC kemudian mencoba menanam kopi di daerah Gunung Sahari Batavia yang kini adalah Jalan Ancol sekarang. Lalu pada 1696, Gubernur Jenderal van Hoorn dan Zwaardecroon menerima biji kopi dari mertuanya yang bertugas di Malabar India.

Saat ditanam di kebun milik Horn disekitar Batavia dan Cirebon ternyata kopi yang dihasilkan sangat baik. Di awal abad ke-17, VOC menguasai seluruh wilayah Priangan. Daerah Tatar Sunda yang terdiri dari Batavia, Priangan, dan Cirebon diwajibkan untuk melaksanakan penanaman kopi untuk dijadikan daerah percontohan pembudidayaan kopi di Pulau Jawa. 

3 dari 4 halaman

Perkebunan Kopi Pertama

Sejak abad ke-18, pemerintah Hindia Belanda mendirikan perkebunan kopi di Keresidenan Priangan. Pieter Engelhard membuka perkebunan kopi di daerah selatan lereng Gunung Tanguban Perahu. Panen kopi pertama pada terjadi pada 1807, hasilnya sangat memuaskan sehingga pemerintah Hindia Belanda memperluas areal penanaman kopi dilereng Gunung Patuha, Mandalawangi, Galunggung, dan Malabar. 

Pembuatan lahan perkebunan kopi di pegunungan tersebut dilakukan dengan cara swiddenatau tebang bakar. Selain itu, penduduk pun diwajibkan untuk menanam kopi di semua pemilik tanah pertanian termasuk semua pemilik pekarangan dan kebun buah. Bupati Aria Wiratanu III mendapat sebutan sebagai penguasa pribumi pertama yang berhasil menyerahkan kopi kepada VOC.

Pada 1791, Raden Aria Surianagara dikukuhkan menjadi bupati Sumedang dan mendapat gelar tumenggung, bertepatan dengan diangkatnya Gubernur Jenderal Daendels sebagai gubernur Jenderal Hindia Belanda terjadilah peristiwa Cadas Pangeran. Peristiwa berkaitan dengan pembuatan Jalan Raya Pos (GrotePostweg), alasan pembangunan Jalan Raya Pos untuk kelancaran pengangkutan kopi. 

Di masa itu terjadi peningkatan produksi kopi, yang semula 2.500 pikul bisa ditingkatkan menjadi 8000 pikul bahkan pernah mencapai 12000 pikul. Waktu tempuh pengangkutan juga dapat diperpendek dari 22-66 hari menjadi2-6 hari. Hal itu lantaran ada perubahan rute yang tadinya dari Cikao menjadil angsung ke Karangsembung.

Tumenggung Adipati Surianagara saat itu juga tidak segan-segan pergi ke desa untuk mengontrol keadaan kebun kopi rakyat. Ia memberikan pelajaran bagaimana cara menanam, mengurus, dan memilih tanah yang baik untuk kebun kopi, sehingga tanah Sumedang yang sebenarnya tidak cocok untuk ditanami kopi mampu memberikan hasil tanaman kopi yang sangat baik.

4 dari 4 halaman

Tanam Paksa Dihapus

Pangeran Aria Cirebon meninggal pada 1723, VOC tidak mengangkat penggantinya melainkan mengubah kebijakan penyerahan wajib menjadi penanaman wajib kopi dan seluruh hasilnya diserahkan kepada VOC. Memasuki pertengahan abad ke-18, harga kopi di pasaran Eropa terus naik. Hal itu mendorong kebutuhan kopi dipegunungan Priangan ikut naik.

Tanaman kopi yang dibudidayakan di pekarangan rumah petani mulai tidak mencukupi kebutuhan. Hingga ada arahan agar kopi juga ditanam di lahan sekitar kampung, menanam kopi juga dilakukan di kebun-kebun liar dengan cara membabat habis.

Agar mendapatkan manfaat ekonomi, di antara pohon kopi ditanami padi. Setelah memakan waktu empat tahun, tanaman kopi di kebun liar sudah dapat dipetik. Untuk menampung hasil panen kopi, pada pertengahan abad ke-18, VOC membangun gudang-gudang kopi yang terletak di tepi Sungai Citarum dan Cikao. Dari gudang, kopi diangkut dengan perahu hingga ke pantai. Pada abad ke-18, Cianjur berkembang menjadi gudang kopi terpenting bagi VOC.

Pada abad ke-19, pemintaan kopi dari Eropa masih tetap tinggi yang menarik pedagang China. Kemudian di masa kepemimpinan VOC, Van den Bosch panen kopi di Pegunungan Priangan tidak mendapat hasil yang maksimal. Penanaman kopi yang sudah diperluas hingga ke tempat yang lebih tinggi yaitu hingga 1.000 meter di atas permukaan laut hasilnya justru menurun.

Para pejabat yang dipercaya untuk mengawasi penanaman kopi tidak berpengetahuan mengenai penanaman kopi, dari mulai memilih bibit atau pun lahan. Van Rees yang melakukan penelitian mengenai turunnya panen kopi tersebut memberikan jalan keluar bahwa di Priangan perlu diadakan reformasi dan reorganisasi. Namun para bupati tidak menyetujui adanya reorganisasi tersebut, hingga pada 1917 penanaman wajib kopi dihapuskan.