Liputan6.com, Jakarta - Sengketa Adidas dan desainer Thom Browne berlanjut ke pengadilan New York, Amerika Serikat (AS). Proses hukum ini membahas seputar tuduhan bahwa jenama fesyen si desainer melanggar hak cipta "tiga garis" yang diklaim sebagai merek dagang raksasa pakaian olahraga itu.
Melansir CNN, Jumat (6/1/2023), sidang juri, yang dimulai di Pengadilan Distrik Selatan Manhattan pada Selasa, 3 Januari 2023, berlangsung menyusul gugatan tahun 2021 di mana Adidas berpendapat bahwa pakaian olahraga yang menampilkan motif garis-garis Thom Browne "meniru" mereknya yang berusia puluhan tahun.
Advertisement
Baca Juga
Browne dikatakan mendirikan label eponimnya pada 2001. Browne, yang tiba di pengadilan dengan mengenakan salah satu kaus kaki bergaris empat khasnya, awalnya memulai debut dengan desain tiga garis, yang dijuluki "Three-Bar Signature," sekitar tahun 2005.
Menurut dokumen pengadilan, merek fesyennya setuju untuk berhenti menggunakan desain kaus kaki tersebut setelah Adidas menghubungi CEO label saat itu tentang masalah yang dimaksud dua tahun kemudian. Pada 2008, desainer Browne memulai debutnya yang disengketakan "Four-Bar Signature."
Sesuai namanya, itu merupakan desain empat garis yang ditampilkan pada berbagai item, mulai dari jaket hingga pakaian olahraga. Adidas juga menantang penggunaan "Grosgrain Signature" Browne, yakni berupa desain merah, putih, dan biru yang menurut merek pakaian olahraga terdiri dari tiga garis
Sementara, Browne mengatakan itu berisi lima garis, menggambarkannya sebagai "putih-merah-putih-biru -putih," dalam surat-surat pengadilan. Adidas telah menggunakan desain tiga garis sejak 1949, ketika pendirinya, Adolf Dassler, menampilkannya pada sepasang sepatu lari.
Tidak Dianggap Pesaing Langsung
Dalam pengajuan gugatan pengadilan, pihak Adidas berpendapat bahwa penggunaan motif garis-garis oleh desainer Thom Browne pada pakaian olahraganya "kemungkinan akan menyebabkan kebingungan konsumen dan menipu publik."
Pengacara yang mewakili Browne berpendapat bahwa Adidas melakukan penundaan yang tidak masuk akal dalam menegaskan klaimnya. Dokumen pengadilan mengatakan, produk yang menampilkan "Four-Bar Signature" pertama kali dijual pada 2009 dan dipajang pada item pakaian aktif di toko utama merek fesyen tersebut di New York mulai 2010.
Raksasa pakaian olahraga ini mengklaim baru menyadari dugaan pelanggaran tersebut pada awal 2018, ketika Browne mengajukan hak cipta "Grosgrain Signature," yang sering disebut sebagai Signature Grosgrain di situs web jenama itu, di Eropa.
Pengacara Adidas berpendapat bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki kewajiban untuk memantau produk keluaran Browne dan pada awalnya tidak menganggap label tersebut sebagai pesaing langsung. Dokumen pengadilan menunjukkan bahwa kedua pihak tidak berhasil mencapai penyelesaian di luar pengadilan.
Advertisement
Gucci Kalah Gugatan
Adidas tentu bukan satu-satunya merek internasional dalam kasus pengadilan terkait merek dagang. Beberapa waktu lalu, Gucci kalah dalam gugatan merek dagang terhadap produsen kaus Jepang, Parodys, yang memiliki rekam jejak meniru logo merek fesyen mewah.
Kendati demikian, pengacara spesialis paten yang memenangkan kasus atas nama perusahaan pakaian yang berbasis di Osaka tersebut mengakui bahwa ia merasa undang-undang Jepang saat ini perlu dievaluasi. Melansir SCMP, 17 September 2022, pada Juli 2021, Gucci mengajukan gugatan terhadap Parodys, yang dimiliki Nobuaki Kurokawa, setelah mencatat bahwa ia punya merek dagang bernama "CUGGL" pada Oktober 2020.
Kurosawa menerapkan nama itu pada pakaian, ikat pinggang, alas kaki, dan pakaian atletik. CUGGL muncul dalam font yang sama seperti yang digunakan dalam logo rumah mode tersebut, bahkan dengan jarak yang sama. Namun, perusahaan Kurosawa menggunakannya dengan garis tebal berwarna yang menutupi bagian bawah setiap huruf.
Komplain yang diajukan Gucci adalah garis tersebut mengaburkan bagian-bagian dari huruf yang akan mengungkap mereka untuk terbaca sebagai "CUGGL." Mengingat Gucci adalah merek terkenal secara internasional, siapa pun yang hanya melihat bagian atas huruf-huruf itu akan menganggap mereka mengarang kata Gucci.
Namun pada Juli 2021, Kantor Paten Jepang memutuskan bahwa merek dagang CUGGL "tidak mungkin disamakan dengan GUCCI," atau mungkin memiliki "hubungan ekonomi atau organisasi dengan pemohon." Masaki Mikami, pendiri Marks IP Law Firm, sebelumnya mengatakan bahwa ia yakin memenangkan kasus ini atas nama Kurokawa.
Menang Gugatan Hukum di China
Di sisi lain, Manolo Blahnik, label sepatu ternama berbasis di Inggris, justru memenangi gugatan hukum agar bisa menggunakan nama merek tersebut di China lewat perjuangan hukum selama 22 tahun, yang tidak hanya memakan waktu, tapi juga biaya.
Dalam putusan yang jarang terjadi, pengadilan tertinggi Tiongkok membatalkan merek dagang yang menggunakan nama Manolo Blahnik milik pengusaha sepatu Tiongkok, Fang Yuzhou. Keputusan hukum itu memungkinkan Blahnik untuk pertama kalinya menjual mereknya di pasar barang mewah dengan pertumbuhan paling cepat di dunia itu.
"Itu adalah lubang besar dalam keberadaan kami," kata Kristina Blahnik, Kepala Eksekutif Manolo Blahnik sekaligus keponakan sang pendiri, pada Financial Times, dikutip 22 Juli 2022. "Ketika kami menerima telepon ... air mata kami jatuh."
Pengajuan banding Manolo Blahnik telah ditolak beberapa kali sebelumnya karena perusahaan itu tidak dapat membuktikan bahwa mereka memiliki reputasi di China sebelum tahun 2000. Selain itu, Fang sangat aktif menggunakan merek tersebut untuk sepatu yang diproduksinya, kata ahli hukum.
Setelah terbukti valid sebagai pemilik hak cipta, Blahnik siap memasuki pasar Tiongkok. Meski masih di tahap awal, pihaknya berharap bisa mulai menjual produk secara langsung di China pada semester II tahun ini. "Kami tidak akan berpacu seperti roket memasuki China, tapi berjalan dengan perlahan," ia menjelaskan.
Manolo Blahnik didirikan pada 1971 di Inggris. Namanya meroket setelah kerap tampil di serial hit Sex and The City.
Advertisement