Sukses

Varian Baru COVID-19 Omicron Menyebar, WHO Imbau Penumpang Pesawat Pakai Masker di Penerbangan Jarak Jauh

Aturan memakai masker dinilai WHO sebagai sebagai salah satu cara mengekang penyebaran varian baru COVID-19 yang sudah terdeteksi di beberapa negara.

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau penumpang pesawat memakai masker pada penerbangan jarak jauh. Para pejabat mengatakan bahwa negara-negara harus mempertimbangkan rekomendasi kembalinya aturan memakai masker sebagai cara mengekang penyebaran varian baru COVID-19 yang sudah terdeteksi di beberapa negara.

XBB.1.5, lebih dikenal sebagai Kraken, adalah subvarian yang saat ini dilaporkan jadi penyebab lonjakan kasus COVID-19 di sejumlah negara, termasuk wilayah Eropa, dilansir dari Mirror, Rabu (11/1/2023). Pejabat WHO mengonfirmasi bahwa mereka sedang memantau pertumbuhan kasus akibat varian tersebut.

Pada titik ini, diyakini bahwa Kraken adalah subvarian Omicron yang paling mudah menular yang telah terdeteksi sejauh ini. Petugas kondisi darurat senior WHO untuk Eropa, Dr. Catherine Smallwood, mengatakan bahwa penumpang pesawat disarankan memakai masker saat bepergian ke dan dari daerah berisiko tinggi.

Ia berkata, "Ini harus jadi rekomendasi yang dikeluarkan untuk penumpang yang datang dari mana saja di mana ada penularan COVID-19 yang meluas." Sementara banyak pejabat kesehatan terus mengawasi jenis baru ini, para ilmuwan mengatakan belum jelas apakah subvarian Omicron XBB 1.5 akan menimbulkan gelombang infeksi baru di seluruh dunia.

Para ahli mengatakan, meski ada kekhawatiran, mereka tetap yakin bahwa vaksin saat ini akan melindungi publik dari gejala yang paling parah, rawat inap, dan kematian. Dr. Smallwood menambahkan, "Negara-negara perlu melihat basis bukti untuk pengujian pra-keberangkatan."

Namun, ia bersikeras bahwa "langkah-langkah perjalanan harus dilaksanakan dengan cara yang tidak diskriminatif."

2 dari 4 halaman

Subvarian Omicron XBB 1.5

Subvarian Omicron XBB 1.5, yang saat ini mendominasi AS adalah versi COVID-19 yang paling menular, tapi tampaknya tidak membuat orang lebih sakit, menurut WHO. Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis COVID-19 WHO, mengatakan, pejabat kesehatan global khawatir tentang seberapa cepat subvarian menyebar di AS bagian timur laut, lapor CNBC.

Jumlah orang yang terinfeksi XBB 1.5 telah berlipat ganda di AS setiap dua minggu, membuatnya jadi varian paling umum yang beredar. "Ini adalah subvarian yang paling menular yang telah terdeteksi," kata Van Kerkhove. "Mutasi di subvarian Omicron ini memungkinkannya menempel pada sel dan bereplikasi dengan mudah."

Sejauh ini, varian tersebut telah terdeteksi di 29 negara, tapi bisa lebih luas lagi, kata Van Kerkhove. Melacak varian COVID-19 jadi sulit karena penurunan pelacakan urutan genom di seluruh dunia, katanya.

WHO belum memiliki data tentang tingkat keparahan XBB 1.5, namun saat ini tidak ada indikasi bahwa hal itu membuat orang lebih sakit daripada versi Omicron sebelumnya, kata Van Kerkhove. Kelompok penasihat WHO yang melacak varian COVID-19 sedang menilai risiko XBB.1.5 yang akan diterbitkan dalam beberapa hari mendatang, katanya.

3 dari 4 halaman

Prediksi Gelombang Infeksi

Van Kerkhove menjelaskan, "Semakin banyak virus ini beredar, semakin banyak peluang untuk berubah. Kami memperkirakan gelombang infeksi lebih lanjut di seluruh dunia, tapi itu tidak harus diterjemahkan jadi gelombang kematian lebih lanjut karena tindakan pencegahan terus berhasil."

Para ilmuwan mengatakan XBB 1.5 sama mahirnya dalam menghindari antibodi dari vaksin dan infeksi seperti kerabat XBB dan XBB.1, yang merupakan dua subvarian pengelak yang paling kebal. Tapi, XBB 1.5 memiliki mutasi yang membuatnya mengikat lebih erat ke sel, yang memberinya keunggulan pertumbuhan.

Saat XBB 1.5 menyebar dengan cepat di AS, China sedang berjuang melawan lonjakan kasus dan rawat inap setelah meninggalkan kebijakan nol-COVID sebagai tanggapan atas kerusuhan sosial akhir tahun lalu. Pejabat kesehatan AS dan global mengatakan, Beijing tidak membagikan cukup data tentang lonjakan tersebut dengan komunitas internasional.

"Kami terus meminta China memberikan data reguler yang lebih cepat dan dapat diandalkan tentang (catatan) rawat inap dan kematian, serta pengurutan virus real-time yang lebih komprehensif," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, pekan lalu.

 

4 dari 4 halaman

Syarat Tes COVID-19

Semakin banyak negara mewajibkan penumpang dari China untuk dites negatif COVID-19 sebelum naik ke penerbangan mereka. Kementerian Luar Negeri China mengatakan, tindakan seperti itu tidak memiliki dasar ilmiah dan menuduh pemerintah memanipulasi COVID-19 untuk tujuan politik.

Tapi, direktur jenderal WHO menyebut bahwa persyaratan itu dapat dimengerti mengingat terbatasnya data yang keluar dari Negeri Tirai Bambu. "Dengan sirkulasi di China yang begitu tinggi dan data yang komprehensif tidak tersedia, dapat dimengerti bahwa beberapa negara mengambil langkah yang mereka yakini akan melindungi warganya sendiri," ucap Tedros.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Beijing berbagi data dengan WHO, pekan lalu, yang menunjukkan sublineage BA.5, BA.5.2, dan BF.7 menyumbang sekitar 98 persen dari semua infeksi di negara tersebut. Tapi, Van Kerkhove mengatakan, China tidak membagikan cukup data pengurutan dari seluruh negaranya secara luas.

"Ini bukan sekadar mengetahui varian apa yang beredar," kata Van Kerkhove. "Kami membutuhkan komunitas global untuk menilai ini, melihat mutasi demi mutasi untuk menentukan apakah ada varian baru yang tidak hanya beredar di China, tapi juga di seluruh dunia."