Sukses

Cerita Akhir Pekan: Pergeseran Mindset Pembeli Pakaian di Thrift Shop

Mereka yang paham dunia fesyen, justru menganggap membeli pakaian thrifting di thrift shop sebagai hal yang menyenangkan dan mendatangkan kepuasan.

Liputan6.com, Jakarta - Pada beberapa tahun terakhir ini banyak anak muda yang mencari pakaian bekas untuk memenuhi gaya hidupnya lewat thrift shop. Banyak anak muda sekarang suka dengan barang-barang thrifting karena memang unik dan mampu membuat tampilan beda.

Selain kualitas barang, konsumen atau pembeli tertarik berbelanja baju bekas karena harga yang murah.  Membeli di thrift shop bukan hanya alternatif konsumsi pakaian yang lebih murah tapi juga menunjang konsep sustainable living. Industri fashion sendiri dinilai ikut bertanggung jawab atas terhadap emisi karbon global.

Dengan membeli baju bekas, diharapkan pembelian baju baru aka berkurang dan begitu pula dengan produksinya, sehingga bisa mengurangi sampah pakaian. Terkait thrifting sendiri bisa dibilang ada perbedaan atau perubahan mindset bagi orang zaman dulu dan sekarang.

Menurut Rani, pemilik thrift shop Belong To Thrift Shop di kawasan Jakarta Barat, Jumat, 13 Januari 2023, beberapa tahun lalu thrifting adalah sesuatu yang jarang lakukan karena banyak orang gengsi membeli baju bekas atau second. Bagi mereka membeli barang bekas orang lain adalah hal yang memalukan,

Namun, lain lagi dengan mereka yang paham dunia fesyen, mereka justru menganggap thrifting sebagai hal yang menyenangkan dan mendatangkan kepuasan. "Kalau kita nge-thrift itu biasanya harus mengobok-obok barangnya, dan buat aku rasanya aysik aja. Soalnya bisa dapat baju-baju branded dengan model-model yang unik dan nggak pasaran, Plus harganya lumayan miring," terang Rani.

Melihat thrifting jadi hobi anak mudazjaman sekarang, Rani pun merasa mantap untuk membuka thrift shop sejak dua tahun lalu. Meski belakangan semakin banyak thrift shop baik online maupun offline bermunculan, Rani merasa tidak khawatir karena peminatnya diyakini akan makin bertambah pula dalam beberapa tahun kedepan.

"Kita dulu beli barang bekas, dilarang sama orangtua karena takut kalau pakaian bekas orang gitu kan. Katanya ada bakteri atau penyakit dari orang yang sebelumnya, nanti takut tertular," tutur Rani. "Kalau melihat sekarang anak-anak muda yang gen Z dan milenial nggak malu belanja nge-thrift dan pakai baju second. Hal itu tidak lagi dianggap buruk, bahkan dianggap keren dan mengikuti tren," tambahnya.

Tak hanya anak muda, belakangan ini menurut Rani, orang dewasa juga mulai banyak membeli pakaian di thrift shop, termasuk ibu-ibu yang suka mengikuti perkembangan mode. "Pembeli utama masih anak muda terutama cewek, tapi yang cowok juga lumayan banyak. Orang dewasa juga makin banyak yang suka thrifting, ya mungkin karena itu tadi, mindset mereka soal pakaian bekas sudah berubah," ujar Rani.

 

2 dari 4 halaman

Sesuai Kebutuhan

Seorang karyawan swasta, Amanda, termasuk dalam golongan yang disebutkan Rani. Ibu tiga anak ini mengaku sudah suka thrifting sejak beberapa tahun lalu.

"Mungkin sudah lebih 10 tahun aku suka beli barang-barang termasuk baju second. Cuma dulu istilahnya aja beda, kalau sekarang kan dibilang thrifting. Jujur aja tertarik beli baju bekas karena bisa beli baju branded, modelnya nggak pasaran terus harganya terjangkau banget," ungkap Amanda pada Liputan6.com, Kamis, 12 Januari 2023.

"Belakangan baru nyadar kalau dengan thrifting ini kita berarti ikut mendukung sustainable fashion karena kita jadi makin jarang beli pakaian baru. Tapi ya bukan berarti kita sebanyak-banyaknya juga, tetap harus sesuai kebutuhan," sambungnya.

Amanda punya beberapa tempat langganan untuk thrifting. Ia pernah beberapa kali belanja di Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang disebut sebagai salah satu pusat thrifting di Jakarta. Namun belakangan ia lebih sering berbelanja di kawasan Jakarta Selatan atau secara online.

"Kalau sekarang lebih sering di daerah (Jakarta) Selatan, kayak di Blok M Square atau di daerah Gandaria. Kadang juga beli online karena sekarang udah banyak thrift shop online yang bagus-bagus dan harga lumayan murah," kata Amanda. Saat thrifting terutama di thrift shop, Amanda mengaku tidak terlalu memperhatikan apakah yang dibelinya barang impor atau lokal, karena secara kualitas tidak terlalu berbeda.

"Yang penting kualitasnya masih cukup bagus, kalaupun ada yang agak rusak masih bisa diperbaiki. Kalau soal barang lokal atau impor ya beda-beda tipislah karena barang thrifting kalau aku bilang hampir sama lah kualitasnya," kata Amanda.

 

3 dari 4 halaman

Produk Impor dan Sampah Fesyen

Saat thrifting terutama di thrift shop, Amanda mengaku tidak terlalu memperhatikan apakah yang dibelinya barang impor atau lokal, karena secara kualitas tidak terlalu berbeda. "Yang penting kualitasnya masih cukup bagus, kalaupun ada yang agak rusak masih bisa diperbaiki. Kalau soal barang lokal atau impor ya beda-beda tipislah karena barang thrifting kalau aku bilang hampir sama lah kualitasnya," kata Amanda.

Sementara bagi anak muda seperti Salwa, membeli pakaian bekas lewat thrift shop selain lebih terjangkau dan mendapatkan model baju yang tidak pasaran, berarti ikut mendukung program keberlanjutan. Bagi mahasiswi berusia 21 tahun ini, berbagai usaha maupun kegiatan yang berkaitan dengan mengurangi sampah termasuk sampah fesyen harus didukung. Selain suka menbeli baju, Salwa juga suka membeli sepatu maupun aksesori thrifting.

Di sisi lain, Salwa juga merasa gamang karena belakangan banyak produk impor yang dijual di berbagai thrift shop yang justru berpotensi menimbulkan masalah baru. "Kita sudah berusaha mengurangi sampah fashion dengan thrifting, tapi kenapa sekarang barang impor sepertinya makin banyak yang masuk. Jadi sepertinya kita justru menambah sampah baru dari negara lain, padahal potensi sampah fashion di negara kita aja sudah banyak, ini malah ditambah barang-barang impor," tutur Salwa yang tinggal di Jakarta Barat.

Situasi itu membuat Salwa lebih selektif dan makin mengurangi frekuensi belanja di thrift shop, sambil berharap pemerintah membuat kebijakan atau mengambil tindakan untuk mengurangi impor pakaian terutama yang untuk dijual di thrift shop.

"Kalau produk impor berarti kita justru mengurangi sampah negara lain, padahal masalah sampah di negeri kita saja sudah banyak. Makanya sebisa mungkin aku pilih produk lokal yang kuaslitas dan modelnya nggak kalah keren, dengan harga yang lebih murah," tutur Salwa.

 

4 dari 4 halaman

Memadukan Pakaian

Pendapat berbeda datang dari Amel yang juga seorang mahasiswi di Jakarta. Gadis berusia 19 tahun ini mengaku tidak terlalu melihat barang impor atau lokal, baginya yang terpenting adalah mendapatkan baju bekas dengan model yang cukup kekinian, terutama yang bergaya Korean style.

Maklum saja, penggemar drama Korea alias drakor ini sangat menyukai berbagai hal yang berhubungan dengan Korea termasuk pakaian. Bagi Amel, pakaian thrift yang dijual secara offline maupun online sangat membantu para penyuka Korean style dalam mendapatkan pakaian ala Korea.

Bukan itu saja, menurut mahasiswi sebuah universitas swasta di daerah Ciputat, Jakarta Selatan ini, thrifting menjadi alternatif yang pas bagi anak muda yang ingin tampil kece dan kekinian tapi tidak terlalu menghamburkan uang saku mereka. "Kita bisa dapat Korean look and style tapi dengan harga miring. Bahkan sekarang sebagian bajuku hasil dari nge-thrift, ya sudah sekitar setahun belakangan ini," ungkap Amel pada Liputan6.com, Kamis, 12 Januari 2023.

Bagi Amel, bukan hal yang sulit baginya untuk memilih dan memadukan pakaian hasil thrifting. Meski sudah pernah dipakai, imbuh pakaian thrift punya kualitas yang tidak kalah bagus dengan pakaian baru.

"Kalau aku merasa cocok ya aku beli, tapi pilih-pilih juga mana yang paling sreg dan pas buat aku. Jadi lewat thrifting ini aku bisa dapat baju yang sesuai selera dan kantong aku, baik itu produk lokal atau impor," pungkasnya.

Â