Sukses

Tips Mendaki Gunung Tanpa Meninggalkan Sampah ala Siska Nirmala

Siska Nirmala merasa bangga karena dapat membuktikan bahwa pendakian nirsampah memang bisa dilakukan.

Liputan6.com, Jakarta - Mendaki gunung dan bertualang di alam adalah kebahagiaan bagi Siska Nirmala. Meski begitu, pendakian di Gunung Semeru, Jawa Timur, dan Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 2010 justru membawa keresahan besar baginya.

Perempuan asal Bandung, Jawa Barat, itu, terhenyak melihat volume sampah yang kian banyak di sana. Baginya, peraturan agar pendaki membawa turun sampah juga sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Pasalnya, sampah tetap saja menggunung di basecamp.

"Pengalaman itu menjadi titik balik untuk saya. Menjadi semacam tamparan untuk memikirkan bagaimana caranya naik gunung, tapi tidak menghasilkan sampah," ucap Siska Nirmala saat ditemui di sebuah acara di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, beberapa hari lalu.

"Karena di gunung itu kan tidak seperti di kota yang ada truk pengangkut sampah, jadi akhirnya gunung seperti tempat sampah," tambahnya.  Siska yang pernah mengikuti sebuah pelatihan zero waste merasa terpanggil untuk bergerak nyata soal sampah gunung maupun di kehidupan sehari-hari.

Perempuan kelahiran 35 tahun lalu ini kemudian menjalani hidup zero waste secara bertahap sejak 2012 dan setahun berikutnya membuat gerakan pribadi, Zero Waste Adventure, yang dilakukan dengan ekpedisi nol sampah di lima gunung.

Ekspedisi ke Gunung Gede, Pangrango, Papandayan, Lawu, dan Argo Puro itu memang baru dituntaskan dua tahun kemudian. Namun, perempuan yang kala itu berprofesi sebagai jurnalis tersebut merasa bangga karena dapat membuktikan bahwa pendakian nirsampah memang bisa dilakukan.

"Yang paling utama caranya adalah dengan tidak membawa makanan instan, seperti mi instan maupun makanan kaleng. Jadi, kita tidak menghasilkan sampah anorganik. Kalau untuk sampah organiknya, seperti kulit buah dan lainnya, kita kubur, tapi bijinya dibawa turun supaya tidak merusak ekosistem di atas," tuturnya.

 

2 dari 4 halaman

Identik dengan Mahal

Secara teknis, intinya adalah tidak membawa perbekalan atau makanan yang berpotensi menjadi sampah. Hal penting lainnya, menurut Siska, adalah menghentikan penggunaan kantong plastik untuk membungkus berbagai perlengkapan pendakian.

Pengalaman itu ia bagikan lewat situs pribadinya, zerowasteadventures.com, dan kemudian diterbitkan pula dalam buku pada 2017. Dengan publikasi digital maupun cetak itu, gerakan Siska semakin dikenal dan menarik banyak orang. Pada 2019, sebuah penerbit meminang bukunya dan lalu ia setujui dengan syarat pengemasan buku tidak menggunakan plastik.

Brand ambassador Eiger ini juga meluruskan anggapan kalau naik gunung tanpa sampah identik dengan mahal. "Bukan karena zero waste nya jadi mahal, tapi naik gunungnya sendiri memang sudah hobi yang mahal. Tapi kembali lagi, coba lihat harga tas carrier kamu berapa? Sepatu hiking berapa? Pasti nggak murah kan," ujar Siska.

Sebetulnya peralatan penunjang seperti botol minum, wadah makanan dan dry bag, menurut Siska, tidak semahal harga tas carrier dan sepatu hiking. Jadi sebetulnya persoalan mahal dan murah ini relatif, kuncinya di mindset: jangan liat harga, tapi lebih ke peduli lingkungan di sekitar kita.

 

3 dari 4 halaman

Jangan Naik Gunung

"Terus, naik gunung sudah sesuatu yang ribet, tapi kenapa masih mau dilakukan? Karena menyenangkan! Zero waste pun akan terasa tidak ribet kalau kamu menjalankannya dengan senang hati," terang Siska.

"Selama mindsetnya masih antipati dengan zero waste pasti akan terasa berat. Kalau memang belum siap, jangan naik gunung dulu. Biasanya yang suka bilang ribet, artinya dia belum paham soal ilmu mengatur perbekalan, dan manajemen pendakian saat naik gunung," sambungnya.

Tak hanya saat mendaki gunung, kepeduliannya terhadap isu lingkungan membuat Siska mendirikan Toko Nol Sampah yang berada di bilangan Jalan Bima, Kota Bandung. Toko ini mengusung konsep nol sampah dengan mewajibkan pembeli membawa wadah sendiri. Tujuannya untuk mengurangi sampah plastik.

Toko Nol Sampah juga menyediakan wadah atau jar kaca bekas hasil donasi dan kantong kain bila konsumen tidak membawanya. "Pengunjung biasanya pakai wadah sendiri, tapi kita juga menyediakan jar kaca bekas dan kantong kain lewat program donasi yang dibikin oleh kita. Ternyata yang mendonasi wadah ke kita juga banyak," terangnya.

4 dari 4 halaman

Edukasi Soal Sampah

Toko Nol Sampah ini bisa memenuhi kebutuhan orang-orang yang ingin menerapkan konsep zero waste. Toko ini juga menyediakan semua kebutuhan bumbu dapur yang esensial, seperti garam, gula, kaldu, dan merica.

Ia pun menyadari, segmentasi pasar toko berkonsep zero waste ini tidaklah sepopuler toko konvensional lainnya. Namun, setelah dijalani sejak 2020 lalu, menurut dia, antusiasme konsumen di Bandung sangat bagus soal kepedulian konsep minim sampah itu.

Selain itu, pengunjung atau konsumen tidak hanya datang belanja, lalu pulang begitu saja. Sebagian dari mereka juga mendapatkan edukasi soal memanfaatkan sampah. Ketika pengunjung selesai berbelanja, mereka kerap berdiskusi soal bumbu masakan, komposter dan lainnya.

"Tiap mereka datang ke sini belanjanya sih sebentar tapi ngobrolnya lama. Ngobrolnya bisa macam-macam bisa tentang konsep zero waste juga. Kalau dibilang capek ya capek, tapi mengedukasi atau berbagi informasi soal zero waste memang penting dan harus berulang-ulang supaya bisa lebih diingat dan dipahami banyak orang," tuturnya.