Sukses

Yeti Airlines Jatuh di Pokhara, Mengapa Terbang di Nepal Berisiko Tinggi?

Yeti Airlines yang mengangkut 72 orang jatuh di dekat bandara Pokhara, Nepal, pada Minggu, 15 Januari 2023.

Liputan6.com, Jakarta - Pesawat Yeti Airlines yang mengangkut 72 orang jatuh di Sungai Seti, Nepal, pada Minggu, 15 Januari 2023. Maskapai domestik di Nepal itu sebelumnya terbang dari ibu kota Nepal, Kathmandu, menuju bandara baru di Pokhara yang baru saja dibuka.

Di antara penumpang pesawat ATR-72 bermesin ganda itu, 15 di antaranya adalah turis asing. Mereka terdiri dari empat warga Rusia, korban warga negara asing lainnya adalah lima warga India, dua warga Korea Selatan, satu dari Argentina, satu dari Prancis, seorang warga Australia, dan seorang berkebangsaan Irlandia.

Insiden itu tercatat sebagai kecelakaan udara terburuk di Nepal selama hampir tiga dekade. Belum jelas apa penyebab pesawat jatuh di Nepal, namun kotak hitam telah ditemukan.

Nepal memiliki sejarah kecelakaan penerbangan yang fatal, seringkali disebabkan landasan pacu yang jauh dan perubahan cuaca yang tiba-tiba yang memicu kondisi bahaya. Kurangnya investasi untuk pesawat baru dan regulasi yang buruk disebut juga menjadi penyebab kecelakaan di masa lalu.

Selain itu, Nepal yang merupakan rumah bagi sejumlah gunung paling menakjubkan di dunia adalah medan yang paling sulit untuk dinavigasi. Mengutip dari laman resmi Aviation Nepal, Senin (16/1/2023), terdapat  larangan untuk maskapai komersial menghindari jalur udara yang terbang langsung di atas Gunung Everest atau Himalaya secara keseluruhan. 

Himalaya adalah rangkaian pegunungan yang merupakan puncak tertinggi di dunia, termasuk Gunung Everest. Pegunungan Himalaya memiliki ketinggian lebih dari 20.000 kaki, dengan Gunung Everest sebagai gunung tertinggi di seluruh dunia, berdiri setinggi 29.037 kaki di atas permukaan laut.

 

2 dari 4 halaman

Oksigen Tipis

Sebagian besar maskapai penerbangan terjadwal menghindar mengambil rute terbang di atas Gunung Everest. Pasalnya, pesawat jet terbang optimal di ketinggian 35.000 hingga 40.000 kaki, sedangkan ketinggian Gunung Everest berada di dalam ketinggian jelajah pesawat jet.

Untuk memastikan jarak aman di atas Pegunungan Himalaya, pilot diharuskan terbang ke bagian bawah stratosfer. Berdasarkan suhu, stratosfer terletak di atas cuaca bumi yang tingkat udaranyanya sangat rendah. Kadar oksigennya juga tipis.

Penjelasan lain mengapa terbang di kawasan ini begitu berisiko adalah karena saat udara kurang padat pada ketinggian tertentu. Akan tiba saatnya udara yang cukup tidak dapat melewati mesin dan tidak ada cukup tenaga yang dihasilkan untuk menaiki pesawat tidak ada dorongan yang cukup.

Terbang di Everest berarti tingkat oksigennya berkurang. Kondisi itu dapat menyebabkan hipoksia, karenanya kesadaran situasional yang tidak memadai dari penumpang dan anggota awak.

Kadar oksigen rendah dapat memicu turbulensi udara. Turbulensi menjadi sumber utama kecemasan dan ketidaknyamanan bagi penumpang udara. 

 

3 dari 4 halaman

Risiko Turbulensi

Pergerakan udara yang kacau menyebabkan pesawat berguling, yaw atau pitch. Yang menambah ketidaknyamanan, kecepatan angin juga sangat besar di area itu, ditambah keberadaan pegunungan menyebabkan sulitnya pesawat bermanuver

Turbulensi udara tidak dapat dilihat oleh mata dan sulit ditangkap radar, sehingga sulit untuk menemukannya. Turbulensi udara bersih tidak sepenuhnya dapat diprediksi dan terjadi di Everest, lantaran terjadi di atas ketinggian 15.000 kaki yang disebabkan oleh fluktuasi kecepatan udara di mesin jet. Hal ini dapat berkontribusi pada kecelakaan di dalam kabin.

Penumpang dapat terlempar keluar kabin akibat tidak mengenakan sabuk pengaman saat pesawat bergerak melalui turbulensi. Gunung Everest menciptakan gelombang gunung ke bawah dari pegunungan, yang dapat menciptakan fluktuasi kinerja pesawat, yang dapat memberikan gerakan goyang ke pesawat.

Himalaya dan Gunung Everest memiliki ekosistem sekitar yang terbilang terjal, tertutup salju, dan hampir tidak ada permukaan datar. Akibatnya, ada risiko penurunan tekanan di kabin secara tiba-tiba. Pesawat juga berisiko tinggi melakukan pendaratan darurat karena tidak ada daratan yang datar dan dikelilingi pegunungan.

4 dari 4 halaman

Kondisi Pegunungan Himalaya

Maskapai biasanya membawa oksigen untuk digunakan dalam keadaan darurat yang biasanya berlangsung selama 20 menit. Tapi terbang di Everest, Anda bahkan tidak dapat membayangkan kehabisan oksigen. Jika pesawat kehabisan oksigen, untuk mengisinya kembali, penerbangan harus turun dari ketinggian jelajah setidaknya 10.000 kaki, yang hampir mustahil dilakukan di area Gunung Everest.

Ada aturan terbang yang mengharuskan operator turun hingga 10.000 kaki sebelum pesawat mengeluarkan oksigen. Wilayah Everest di Asia adalah wilayah yang sangat luas, dan akan ada petak besar yang tidak mungkin lolos secepat itu.

Ketidakmampuan untuk menurunkan pesawat jika terjadi dekompresi mendadak tidak selalu menjadi alasan mencegah pesawat terbang melewati Gunung Everest. Pesawat memiliki aturan ketat mengenai jalur mereka di atas tanah. Kondisi Gunung Everest yang berangin dan bersalju menciptakan kemungkinan white-out, di mana pilot tidak dapat melihat sama sekali.

Sementara itu, Daily Mail melaporkan detik-detik terakhir saat pesawat Yeti Airlines jatuh di Nepal itu sempat terekam lewat Facebook Live oleh salah satu penumpangnya. Video yang beredar di media sosial menunjukkan bagian dalam pesawat beberapa saat sebelum insiden. Diyakini video itu merekam momen saat pesawat hendak mendarat di bandara yang baru dibuka di Kota Pokhara.

Rekaman yang kabarnya diambil oleh seorang pria India bernama Sonu Jaiswal, menunjukkan penumpang tersenyum saat pesawat terbang di atas rumah. Logo Yeti Airlines terlihat di bahu Jaiswal dan iklan asuransi Nepal dapat dilihat di baki maskapai.