Liputan6.com, Jakarta - Gelombang turis China selama liburan Tahun Baru Imlek diprediksi tidak akan sesuai harapan negara-negara Asia, khususnya mereka yang mengandalkan kedatangan wisatawan Tiongkok sebelum pandemi COVID-19. Pasalnya, sebagian besar pelancong memilih tetap tinggal di China atau melakoni perjalanan domestik.
Melansir CNA, Senin (23/1/2023), dari pantai-pantai Bali hingga lereng ski Hokkaido, gerombolan wisatawan China yang sering terlihat di hari-hari pra-COVID masih akan absen, kata operator tur. Ini adalah kekecewaan pahit bagi banyak bisnis yang berharap "pandemi berakhir" setelah Beijing melonggarkan pembatasan perjalanan awal bulan ini.
Advertisement
Baca Juga
Pemesanan perjalanan ke luar negeri sebenarnya tercatat telah meroket di China, menunjukkan hanya masalah waktu sampai industri pulih. "Saya pikir, para turis akan pergi paling cepat sekitar akhir Februari atau awal Maret (2023)," kata Sisdivachr Cheewarattaporn, presiden Asosiasi Agen Perjalanan Thailand.
Ia mencatat bahwa banyak orang China tidak memiliki paspor, ditemukannya penerbangan terbatas, dan operator tur masih bersiap-siap menangani perjalanan grup. Risiko COVID-19 adalah faktor besar lain karena wabah terus berlanjut menyusul perubahan kebijakan di China, katanya dalam wawancara dengan The Associated Press.
"Orang-orang mungkin tidak siap, atau hanya bersiap-siap," sabutnya. Untuk saat ini, Makau dan Hong Kong tampaknya jadi tujuan yang paling diunggulkan wisatawan Tiongkok.
Hanya beberapa hari sebelum perayaan Imlek 2023, tempat-tempat wisata ikonis di Makau, seperti Lapangan Senado yang bersejarah dan Reruntuhan St. Paul's, dipadati. Lantai perjudian di dua kasino besar sebagian besar penuh, dengan sekelompok pelancong China duduk mengelilingi meja dadu.
Â
Kekhawatiran
"Saya sangat sibuk setiap hari dan tidak punya waktu istirahat," kata seorang pemilik toko suvenir Lee Hong Soi. Ia mengatakan, penjualan telah pulih jadi sekitar 70 hingga 80 persen dari hari-hari pra-pandemi dari hampir tidak ada beberapa minggu lalu.
Kathy Lin memutuskan berkunjung ke Makau dari Shanghai. Sebagian karena mudah mendapatkan visa, tapi juga disebabkan ia khawatir dengan risiko tertular COVID-19. "Saya belum berani bepergian ke luar negeri," katanya saat ia dan seorang temannya mengambil foto di dekat reruntuhan, yang aslinya adalah Gereja Mater Dei abad ke-17.
Kekhawatiran itu membuat banyak calon wisatawan tetap berada di rumah, bahkan setelah China melonggarkan pembatasan "nol-COVID" yang berupaya mengisolasi semua kasus dengan pengujian massal dan karantina yang ketat.
"Orang tua di keluarga saya belum terinfeksi, dan saya tidak mau mengambil risiko. Ada juga kemungkinan terinfeksi lagi oleh varian lain," kata Zheng Xiaoli (44) seorang karyawan perusahaan elevator di Guangzhou, China.
Afrika ada dalam daftar keinginannya sebelum pandemi. Tapi, meski ingin bepergian ke luar negeri, "masih ada ketidakpastian, jadi saya akan menahan diri," katanya.
Cong Yitao, seorang auditor yang tinggal di Beijing, tidak khawatir tertular virus karena seluruh keluarganya sudah terjangkit COVID-19. Tapi, ia tidak melakukan perjalanan internasional karena pembatasan yang diberlakukan beberapa negara, termasuk AS, Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
"Sepertinya banyak negara tidak menyambut kami," kata Cong, yang malah berencana menuju tujuan subtropis di China, seperti Pulau Hainan atau Xishuangbanna, untuk menikmati cuaca hangat.
Advertisement
Permintaan Perjalanan Naik, tapi ...
Menurut Trip.com, pemesanan perjalanan ke luar negeri untuk liburan Tahun Baru Imlek pada 21--27 Januari 2023 naik lebih dari lima kali lipat dibanding tahun lalu. Tapi, itu naik dari hampir tidak ada pada tahun sebelumnya, ketika perbatasan China ditutup untuk sebagian besar pelancong.
Reservasi untuk perjalanan ke Asia Tenggara naik 10 kali lipat, dengan Thailand sebagai pilihan utama, diikuti Singapura, Malaysia, Kamboja, dan Indonesia. Bepergian ke tempat favorit lain, seperti pulau resor tropis Bali dan Australia, terkendala minimnya penerbangan. Tapi itu berubah, dengan penerbangan baru ditambahkan setiap hari.
"Anda akan melihat peningkatan, tentu saja, dibandingkan tahun lalu, ketika China masih ditutup. Tapi, saya rasa Anda tidak akan melihat lonjakan besar wisatawan outbound ke berbagai tujuan di Asia-Pasifik, apalagi Eropa atau Amerika," kata Haiyan Song, seorang profesor pariwisata internasional di Hong Kong Polytechnic University.
Tourism Australia memperkirakan bahwa pengeluaran wisatawan internasional akan melampaui tingkat pra-pandemi dalam waktu satu tahun. Sebelum gangguan COVID-19, China menyumbang hampir sepertiga dari pengeluaran turis global, yakni sekitar 9 miliar dolar AS.
Pulang Kampung
Bandara Suvarnabhumi Bangkok telah menambah staf untuk menangani lebih dari 140 ribu kedatangan setiap hari selama kesibukan Tahun Baru Imlek, meski hanya wisatawan China perorangan yang datang saat ini.
"China sangat dingin, dan Thailand memiliki cuaca musim panas," kata salah satu turis asal Tiongkok, Zhang, seraya menambahkan bahwa ia mengenal banyak orang yang telah memesan tiket untuk pergi dari cuaca dingin dan lembap di kampung halamannya.
Namun, bagi banyak orang China, daya pikat perjalanan dunia telah terkalahkan, setidaknya untuk saat ini. Banyak di antara pelancong yang lebih memilih pulang kampung dan bertemu keluarga mereka setelah aturan perjalanan yang ketat selama tiga tahun.
Isabelle Wang, seorang pekerja keuangan di Beijing, telah melakukan perjalanan ke Eropa, Timur Tengah, dan bagian lain di Asia. Setelah tiga tahun menjalani kehidupan yang serba lambat selama pandemi, prioritasnya adalah berkumpul kembali dengan keluarganya di Shangrao, sebuah kota di China tengah-selatan.
"Masih banyak waktu yang tersisa dalam hidup kita, dan pasti akan ada kesempatan untuk pergi ke luar negeri ketika kita mau," ujarnya.
Advertisement