Sukses

Asal-usul Jamu Gendong yang Makin Tergerus Zaman

Penjual jamu gendong muncul sejak era Kerajaan Mataram Islam.

Liputan6.com, Jakarta - Jamu menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Indonesia sejak zaman nenek moyang. Sejarah keberadaan jamu bahkan digambarkan pada relief candi di Indonesia, seperti Candi Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh, Tegalwangi, serta prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit.

Bicara jamu di Indonesia, maka tak akan terlepas dari peran jamu gendong yang mula-mula memasarkan jamu untuk dikonsumsi masyarakat. Mengutip dari Buku Jamu Gendong Solusi Sehat Tanpa Obat yang ditulis Sukini, Rabu, 25 Januari 2023, jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan.

Jamu gendong dipasarkan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol. Kemudian, botol-botol disusun di dalam bakul. Penjual jamu biasa menggendong bakul tersebut saat berjualan. Inilah alasan jamu ini dikenal sebagai jamu gendong.

Penjual jamu gendong juga menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari. Mereka kebanyakan adalah perempuan lantaran dulu tenaga laki-laki lebih diperlukan untuk bertani.

Konsep berjualan dengan menggendong barang dagangan ini menjadi sesuatu yang terbilang menarik. Penjual jamu gendong biasa menggendong bakul jamunya dengan kain panjang, baik kain batik maupun lurik, sebagai salah satu ciri khas perempuan Jawa ketika membawa sesuatu.

Disebutkan, tidak hanya penjual jamu gendong yang membawa dagangannya dengan cara digendong. Dulu, penjual aneka jajanan, seperti nasi pecel dan nasi liwet umumnya juga berjualan dengan menggendong dagangannya.

Para perempuan Jawa, khusus pada zaman dahulu atau di daerah pedesaan, pun membawa aneka barang dengan cara menggendongnya, seperti membawa kayu bakar, air di dalam jerigen, bahan-bahan pangan, dan hasil pertanian. Inilah yang menjadi asal-usul jamu gendong di Indonesia.

 

2 dari 4 halaman

Makna Menggendong Jamu

Ternyata ada makna dari membawa sesuatu dengan cara digendong ini. Menggendong identik dengan seorang ibu yang membuai bayinya dalam gendongan. Karena itu, para perempuan Jawa yang membawa barang dagangannya dengan cara digendong dimaknai mereka membawa barang dagangan seperti halnya membawa anaknya sendiri.

Barang dagangan merupakan sarana mencari rezeki sehingga harus dibawa dengan baik, ditawarkan dengan baik, dan disajikan dengan baik. Rezeki pun dicari dengan niat dan cara yang baik. Dengan demikian, usaha mencari rezeki dan apa yang didapat diharapkan memperoleh berkah dari Tuhan.

Selain dijajakan langsung, jamu juga dijajakan di kedai yang biasanya berbentuk sachet, tablet, kaplet, dan kapsul yang biasanya diproduksi di pabrik-pabrik jamu berskala sedang atau besar. Jamu Air Mancur, Nyonya Meneer, atau Djamu Djago adalah contoh perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang produksi jamu. Jamu-jamu ini tentu kalah segar dengan yang dibuat oleh penjual jamu gendong. 

3 dari 4 halaman

Ritual Sebelum Meracik Jamu

Diyakini bahwa tradisi meracik dan meminum jamu telah ada sejak ratusan tahun silam pada masa kerajaan Hindu dan Buddha. Seiring zaman berganti, orang-orang keraton mulai mengenalkan jamu kepada masyarakat luas.

Pengenalan jamu keluar keraton diperkirakan sudah terjadi di periode akhir Kerajaan Majapahit. Kemudian, tradisi berlanjut pada masa kerajaan-kerajaan setelahnya dan terus berjalan hingga pada masa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Dulu, jamu hanya dibuat oleh orang-orang yang dianggap mempunyai kekuatan spiritual, seperti wiku atau dukun. Pada masa itu, praktik-praktik pengobatan banyak dilakukan oleh wiku. Para wiku ini umumnya mengobati menggunakan ramuan jamu dan doa-doa.

Para wiku sering kali mengirimkan jamu racikannya kepada orang-orang yang membutuhkan atau berdasarkan pesanan. Saat itu, jamu dikirimkan melalui para laki-laki yang menjadi utusan. Sementara, penjualan jamu dengan cara digendong diperkirakan telah dimulai pada masa Kerajaan Mataram Islam.

4 dari 4 halaman

Sudah Jarang Penjual Jamu Gendong

Seiring waktu, permintaan terhadap jamu kian meningkat sehingga pengirimannya ke berbagai tempat pun dilakukan teratur. Sampai akhirnya, penjualan jamu ke desa-desa terus berkembang. Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang berjualan jamu secara berkeliling, baik laki-laki maupun perempuan.

Resep pembuatan jamu pun makin tersebar luas. Penjual jamu laki-laki membawa jamu dengan cara memikulnya dan kaum perempuan membawanya dengan cara menggendong. Tetapi, keluwesan dan keramahan kaum perempuan dirasakan lebih sesuai untuk pekerjaan menjajakan jamu.

Kondisi ini terus berlanjut hingga di era modern yang kini mulai berubah karena sudah jarang penjual jamu gendong. Kini yang lebih sering terlihat para penjual jamu biasa berkeliling dengan sepeda maupun sepeda motor, atau gerobak dorong. Namun, jamu yang mereka jual sama dengan jamu yang dijajakan dengan cara digendong, seperti beras kencur, kunyit asam, dan pahitan. Setelah meminum jamu itu, pembeli biasanya akan disodorkan minuman jahe yang manis untuk menetralisir rasa pahit.