Liputan6.com, Jakarta - Provinsi Sichuan di barat daya China akan mencabut larangan mereka yang lajang untuk memiliki anak di luar nikah. Hal itu sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran yang anjlok di negara itu.
Saat ini, pemerintah Sichuan hanya mengizinkan pasangan menikah untuk mendaftarkan kelahiran hingga dua anak. Mulai 15 Februari 2023, semua warga negara, termasuk orangtua yang belum menikah, dapat mendaftarkan kelahiran tanpa batas jumlah anak.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari CNN, Senin (31/1/2023), perubahan kebijakan terjadi setelah populasi China menyusut pada tahun lalu untuk pertama kalinya dalam lebih dari enam dekade, menandai momen bersejarah dalam krisis demografi yang semakin dalam. Komisi Kesehatan Provinsi Sichuan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dengan menghapus pembatasan pernikahan, langkah tersebut diharapka mengalihkan fokus pencatatan kelahiran ke 'keinginan dan hasil melahirkan anak'.
Di China, pendaftaran kelahiran seringkali diwajibkan kepada orangtua untuk mengakses manfaat seperti asuransi kehamilan. Hal itu juga diperlukan untuk mendapatkan dokumen pendaftaran rumah tangga atau hukou, yang memberi anak-anak akses ke kesejahteraan sosial, seperti perawatan kesehatan dan pendidikan.
Meski begitu, seorang pejabat dari Komisi Kesehatan Sichuan mengatakan kepada media lokal bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak ibu tunggal, bukan untuk mendorong orang yang belum menikah menjadi orangtua. Pengumuman komisi tersebut mengatakan bahwa kebijakan tersebut akan mempromosikan 'pembangunan populasi jangka panjang dan seimbang'.
Aturan baru akan memberikan akses kepada orangtua tunggal di Sichuan ke manfaat yang sebelumnya disediakan untuk pasangan menikah, seperti asuransi persalinan yang mencakup perawatan kesehatan sebelum melahirkan, biaya medis terkait persalinan, dan cuti hamil berbayar.
Krisis Demografi
Sichuan, rumah bagi lebih dari 83 juta orang, adalah provinsi terpadat kelima di China. Pelonggaran persyaratan akta kelahiran mengikuti langkah serupa yang diambil oleh provinsi lain, seperti Guangdong dan Shaanxi.
Krisis demografi di China yang diperkirakan berdampak pada tingkat pertumbuhan pada beberapa tahun mendatang, telah menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan. Negeri Tirai Bambu telah menghapus kebijakan 'satu anak' yang kontroversial pada 2015, setelah menyadari bahwa pembatasan itu berkontribusi signifikan pada populasi yang menua dengan cepat dan penyusutan tenaga kerja yang bisa sangat mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial negara.
Untuk mengendalikan penurunan tingkat kelahiran, pemerintah China mengizinkan pasangan yang menikah untuk memiliki dua anak pada 2015. Meski begitu, tingkat kelahiran secara nasional di China terus menunjukkan tren penurunan.
Para pembuat kebijakan kemudian melonggarkan pembatasan kelahiran lanjutan pada 2021 dengan membolehkan pasangan memiliki tiga anak. Mereka juga mendorong agar warga memiliki keluarga yang lebih besar, termasuk melalui rencana multi-lembaga yang dirilis tahun lalu untuk memperkuat cuti melahirkan dan menawarkan potongan pajak dan tunjangan lainnya kepada keluarga.
Advertisement
Keengganan Miliki Anak
Sederet upaya yang diambil pemerintah China tidak serta-merta mengubah perilaku penduduknya. Perubahan norma gender, tingginya biaya hidup dan pendidikan, serta ketidakpastian ekonomi membuat situasi serba tidak menentu. Banyak orang muda di Tiongkok memutuskan menikah lebih lamat atau bahkan tidak memiliki anak bersama.
Situasi serupa juga terjadi di Korea Selatan. Statistik Korea menyatakan usia rata-rata seorang menikah saat ini adalah 30-an tahun. Menurut lembaga negara itu, hampir setengah perempuan Korea Selatan yang menikah pada 2021 adalah yang berusia 30-an. Tercatat 193 ribu pasangan menikah pada 2021.
Perubahan ini disebabkan pergeseran persepsi perempuan tentang gagasan pernikahan. Banyak yang percaya bahwa menikah bukan lagi suatu keharusan, dipengaruhi berbagai alasan seperti kurangnya stabilitas keuangan dan pekerjaan, serta sulitnya membesarkan anak.
Menurut biro jodoh Duo, yang menggelar survei pada Desember 2022, lebih dari separuh wanita berusia 25 hingga 39 tahun menjawab bahwa tidak ada lagi usia yang tepat untuk menikah.
"Saat ini, pria dan wanita lajang mengabdikan diri untuk memilih pasangan hidup mereka, dan pertimbangan utama mereka berfokus pada hal-hal non-materi, seperti kepribadian dan nilai-nilai," kata seorang perwakilan dari Duo, dikutip dari Korea Times, Rabu, 11 Januari 2022.
"Sekarang bukan saatnya orang terburu-buru menikah di bawah tekanan. Orang mencari seseorang yang memenuhi kebutuhannya dan membuat pilihan tentang siapa pasangan yang tepat," tambahnya.
Masih Terpadat di Dunia
Meski tingkat kelahiran berkurang, China masih menjadi menjadi negara terpadat di dunia, dengan populasi diperkirakan lebih dari 1,42 miliar pada September 2022, menurut World Population Review, dikutip Senin, 30 Januari 2023. Menyusul China adalah India yang memiliki populasi lebih dari 1 miliar orang. Populasi Negeri Hindustan diperkirakan 1,41 miliar, dan terus meningkat.
Sementara populasi India diproyeksikan terus tumbuh hingga setidaknya 2050, populasi China saat ini sedikit menyusut. Kontraksi tersebut, ditambah dengan pertumbuhan India yang berkelanjutan, diperkirakan akan membuat India menggeser posisi China sebagai negara terpadat di dunia pada 2030.
Biro Sensus Amerika Serikat memperkirakan bahwa populasi global pada September 2022 mencapai 7.922.312.800 orang. Jumlah tersebut diprediksi meningkat menjadi 8 miliar pada pertengahan November 2022.
Populasi dunia terus meningkat sekitar 140 orang per menit, dengan kelahiran melampaui kematian di sebagian besar negara. Meski demikian, secara keseluruhan, laju pertumbuhan populasi melambat selama beberapa dekade.
Perlambatan tersebut diperkirakan akan terus berlanjut hingga laju pertumbuhan penduduk mencapai nol (jumlah kelahiran dan kematian sama) sekitar 2080-2100, dengan jumlah penduduk diprediksi sekitar 10,4 miliar jiwa. Setelah itu, tingkat pertumbuhan populasi diperkirakan akan berubah menjadi negatif, yang mengakibatkan penurunan populasi global.
Advertisement