Sukses

Machu Picchu Tutup karena Demo Anti-Pemerintah, Pariwisata Peru Terjun Bebas

Penutupan Machu Picchu akibat demo anti-pemerintah telah menciptakan efek domino pada industri pariwisata Peru.

Liputan6.com, Jakarta - Penutupan Machu Picchu akibat demo anti-pemerintah harus dibayar mahal. Pariwisata Peru, industri vital negara itu dihancurkan kerusuhan sosial yang menyebabkan 48 orang tewas dalam bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan sejak 7 Desember 2022.

Peru menarik 4,5 juta wisatawan dalam setahun sebelum pandemi COVID-19, dan sektor pariwisata negara itu seharusnya pulih pada 2022 dan 2023. Tapi, krisis politik terbaru Peru telah membuat mereka yang bekerja di bidang pariwisata kecewa.

"Lihat, tidak ada siapa-siapa. Kosong," keluh salah satu pelaku industri pariwisata di Ollantaytambo bernama Juan Pablo Huanacchini Mamani pada AFP, dikutip dari France24, Rabu (1/2/2023).

Terletak sekitar 60 kilometer dari Cusco, ibu kota Inca lama yang bertindak sebagai pusat bagi mereka yang mengunjungi Machu Picchu, Ollantaytambo memiliki reruntuhan benteng Inca sendiri yang patut dikunjungi, walau tidak sespektakuler seperti yang ada di Machu Picchu.

Tapi, pengunjuk rasa mengizinkannya untuk dibuka hanya pada akhir pekan, ketika hampir 100 turis berkunjung. Penghalang jalan, penutupan bandara, dan penangguhan layanan kereta api yang melayani Machu Picchu telah membuat wisatawan khawatir mengunjungi daerah tersebut karena takut terdampar.

Wilayah Andes di bagian selatan Peru yang merupakan rumah bagi populasi besar masyarakat adat yang miskin, telah menanggung beban kerusuhan. Peru telah mengalami krisis sejak mantan presidennya, Pedro Castillo, yang memiliki akar pribumi, berusaha membubarkan kongres dan memerintah berdasarkan dekrit.

2 dari 4 halaman

Kerugian Negara

Castillo dimakzulkan, ditangkap, dan didakwa melakukan pemberontakan. Para pengunjuk rasa pun menuntut pengunduran diri penggantinya, Dina Boluarte, mendesak pemerintah negara itu segera memilih presiden, membentuk konstitusi baru, dan membubarkan badan legislatif.

Tuntutan-tuntutan yang diajukan dalam bentuk protes ini kemudian berdampak pada banyak sektor, termasuk pariwisata. "Kami sangat sedih. Kami hidup dari pariwisata, jika tidak ada pariwisata ..." Huanacchini tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

Ia menyambung, "Kami hidup dari hari ke hari. Kadang-kadang saya mendapatkan 100 sol (Rp390 ribu). Bagaimana saya akan mendapatkan sesuatu jika tidak ada seorang (turis) pun? Ini adalah krisis yang mengerikan."

Menurut Kementerian Pariwisata Peru, gerakan protes anti-pemerintah merugikan negara 25 juta sol (Rp97,5 miliar) per hari dengan tingkat hunian hotel turun 83 persen. Direktur pariwisata regional, Cusco Abel Alberto Matto Leiva, mengatakan 75 persen dari satu juta penduduk Cusco "bekerja secara langsung atau tidak langsung di bidang pariwisata."

3 dari 4 halaman

Prediksi Ledakan Pengangguran

Mereka terdiri dari sembilan ribu pemandu, lima ribu porter, 2,5 ribu agen perjalanan, dan seluruh rantai yang terdiri dari hotel, restoran, serta taksi, sebut Leiva. Saat ini, sekitar 20 ribu orang menganggur, tapi angka itu diperkirakan akan naik enam kali lipat pada Maret 2023.

Di Cusco, banyak hotel dan restoran tutup untuk menghemat biaya. "Kami terjun bebas bebas dan kami tidak tahu kapan ini akan berubah," kata Henry Yabar, wakil presiden kamar hotel di Cusco, meyambung bahwa pihaknya menutup hotel bintang tiga dengan 15 kamar.

"Saat ini ada sekitar 250 orang (turis) di Cusco, di musim ramai, kami bisa memiliki 10 ribu turis," imbuhnya. Ini merupakan pukulan yang fatal, dengan pembatalan pesanan mencapai 95 persen dan hingga 30 persen dari 1.200 hotel, yang sebagian besar dimiliki warga lokal, gulung tikar.

"Pemerintah perlu memberi kami bantuan, meluncurkan rencana darurat dan menangguhkan pajak dan pembayaran kembali pinjaman yang diambil selama pandemi," kata Yabar, yang mengatakan ia mengharapkan hal-hal akan meningkat, bagi mereka yang bertahan pada Juli 2023.

 

4 dari 4 halaman

Kata Wisatawan

Di pasar turis yang dekat dengan alun-alun di Cusco, sebagian besar kios tutup. Dikelilingi topi buatan tangan, Filomena Quispe (67) telah menghabiskan 35 tahun menjual kerajinan tangan pada wisatawan.

"Saya belum menjual satu sol pun. Apa yang bisa kami lakukan? Tutup kios kami dan pergilah," katanya. "Kami belum cukup menjual sepanjang bulan untuk makan."

Dengan berlinang air mata, Quispe berkata bahwa ia hidup dari tabungannya yang sedikit. "Tidak ada yang membantu kami sama sekali. Kami para pengrajin benar-benar dilupakan," keluhnya.

Sekitar 14 ribu pengrajin telah melihat pendapatan mereka hilang, menurut pihak berwenang. Namun bagi wisatawan, ada satu keuntungannya.

"Kunjungannya luar biasa. Meski kosong, sama sekali tidak ada orang selain kami," kata Sandeep Cliff, seorang dokter dari London, tentang perjalanannya ke Ollantaytambo.

Namun, liburan impiannya menemui hambatan. "Kami diberitahu seminggu sebelum kami tiba bahwa Machu Picchu tutup," katanya. Tapi, ia tidak menyimpan dendam kepada para demonstran.

"Ini sedikit mengacaukan liburan kami, tapi mereka punya alasan (untuk memprotes), dan kami harus menghargai itu," tandasnya.