Liputan6.com, Jakarta - Dalam dugaan kasus kekerasan seksual, prinsip berpihak pada korban memang tidak bisa ditawar. Namun, sebagaimana kasus lain, terduga pelaku juga umumnya akan menyampaikan cerita versi mereka terkait tuduhan yang dialamatkan.
Terkait ini, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Bahrul Fuad, mengatakan bahwa pengakuan tidak bersalah terduga pelaku kekerasan seksual harus di-cross check dengan data, bukti, dan fakta yang ada. "Selain itu, penting juga untuk menganalisis situasi atau konteks terjadinya kekerasan seksual," sebutnya melalui pesan pada Liputan6.com, Sabtu, 4 Februari 2023.
Advertisement
Baca Juga
Ia melanjutkan, "Sering kali dalam masyarakat di mana rape culture sudah jadi aktivitas yang dipandang wajar, kekerasan seksual bisa jadi juga dianggap wajar oleh masyarakat tersebut. Maka, penting prinsip keberpihakan pada korban kekerasan seksual, karena kesaksian korban merupakan salah satu alat bukti dalam tindak pidana kekerasan seksual."
Sementara, Manajer Humas Yayasan Pulih, sebuah lembaga sosial yang menyediakan layangan konseling bagi korban kekerasan, Wawan Suwandi, menyebut, dalam konteks hukum, asas praduga tidak bersalah tetap dihormati, di antaranya memberikan ruang terduga pelaku (kekerasan seksual) menyampaikan pembelaannya.
"Tapi, apapun yang jadi pembelaan terduga pelaku, kebenarannya akan diuji di persidangan," tuturnya melalui pesan, Sabtu, 4 Februari 2023. "Dalam konteks memberi ruang terduga pelaku menyampaikan pembelaan, ada peran penting media untuk hati-hati membuat pemberitaan agar output-nya tidak menggiring opini yang justru membangun simpati dan dukungan publik padanya, lalu menyerang korban."
Konseling Perubahan Perilaku
Jundi, sapaan akrabnya, menyambung bahwa Yayasan Pulih menyediakan layanan konseling perubahan perilaku bagi pelaku kekerasan seksual. "Tapi, itu bukan bersifat pendampingan, karena Pulih hanya memberi pendampingan bagi korban," tegasnya.
Ia menyambung, "Adapun layanan konseling perubahan perilaku bagi pelaku kekerasan tujuannya mengajak klien mengenali relasi yang berkekerasan dan bagaimana kebiasaan tersebut dapat dihentikan di kemudian hari."
Sebagai catatan, kata Jundi, konseling perubahan perilaku bukan untuk meringankan, apalagi menghentikan hukuman pelaku. "Pelaku tetap harus bertanggung jawab secara penuh atas perbuatannya. Adapun konseling perubahan perilaku yang diikuti bertujuan agar di kemudian hari, ia tidak lagi jadi pelaku kekerasan," sebutnya.
Di sisi lain, Cak Fu, begitu Bahrul Fuad akrab disapa, menegaskan bahwa prinsip Komnas Perempuan jelas, yakni berpihak pada perempuan korban kekerasan seksual, yang mana pihaknya tidak memiliki mandat melakukan mediasi.
"Selain itu, kami juga tidak mengenal restorative justice alias penyelesaian jalan damai dalam menangani kasus kekerasan seksual," sebutnya.
Advertisement
Jika Dinyatakan Tidak Bersalah
Dalam hal pendampingan korban kasus kekerasan seksual, sambung Cak Fu, Komnas Perempuan akan merujuk mereka pada lembaga penyedia layanan sesuai kebutuhan di daerah korban bertempat tinggal.
"Jika terduga pelaku kekarasan dinyatakan tidak bersalah (berdasarkan putusan pengadilan), Komnas Perempuan tetap berkomitmen memberi dukungan pada perempuan (korban) tersebut dengan posisinya sebagai perempuan yang berhadapan dengan hukum," tuturnya.
Sementara Jundi mengatakan, "Dengan adanya putusan bebas dari pengadilan, apalagi bila putusan bebas dikuatkan di tingkat banding, selain menguatkan secara hukum karena sudah inkracht, secara psikologis hal itu juga bisa mengangkat kepercayaan diri (terduga pelaku) untuk memulihkan kondisi psikologisnya."
Tahap selanjutnya, kata Jundi, tentu ada peran dari orang sekitarnya, seperti pasangan, keluarga, dan komunitasnya untuk memberikan dukungan. "Bila yang bersangkutan merasa terpuruk, bisa saja ia masih memerlukan waktu, atau dari pihak keluarga bisa menawarkan mengakses bantuan professional guna memulihkan psikologisnya," ucapnya.
Dengan kata lain, terduga pelaku kekerasan seksual harus memulihkan diri dan namanya secara mandiri. Jundi menyambung, "Sebagai catatan, kasus kekerasan seksual jadi tidak berpihak pada keadilan bila putusan pengadilan merujuk pada harus ada saksi, di mana kita tahu umumnya kekerasan seksual terjadi di ruang privat atau di area yang tidak ada orang lain yang dapat menyaksikan."
Sensitivitas Gender
Jundi menggarisbawahi, selain hal-hal kontroversi pada proses penanganan hingga putusan, kasus kekerasan seksual juga memiliki sejumlah tantangan, apalagi bila pelaku memiliki kekuatan sehingga ia bisa melakukan "lobby sana-sini," sementara korbannya dari kalangan masyarakat biasa.
"Apalagi, bila kita menilik bahwa sebagian dari kita masih mempraktikkan norma gender tradisional yang patriarki, yakni norma sosial yang menjadikan laki-laki sebagai patron dan perempuan sebagai subordinat," imbuhnya.
"Itulah mengapa pada proses laporan dan penanganan kasus kekerasan seksual, bila petugas yang menangani masih menggunakan perspektif patriarki, sebagian korban merasa tidak nyaman, beberapa laporan bahkan diabaikan, dan baru ditindaklanjuti setelah viral di media," katanya lagi.
Ia melanjutkan, "Maka itu, penting sekali melihat kasus kekerasan seksual dengan sensitivitas gender agar dapat melihat relasi kuasa tidak hanya dalam konteks kaya dan miskin, atasan dan bawahan, pejabat dan rakyat biasa, atau orang tua dan anak, tapi juga adanya sistem patriarki yang tidak menghargai perempuan."
"Dengan sensitivitas gender, penanganan kasus dugaan kekerasan seksual jadi lebih responsif, berempati, dan (menerapkan) metode penanganan yang memiliki sensitivitas pada korban," tandasnya.
Advertisement