Sukses

Dekorasi Diduga Kulit Harimau Awetan di Meja Kerja Ketua MPR Bambang Soesatyo Bikin Salah Fokus

Dekorasi diduga kulit harimau awetan itu tampak ditata di bagian ujung meja marble persegi panjang yang digunakan Ketua MPR Bambang Soesatyo untuk menerima sejumlah tamu.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua MPR Bambang Soesatyo cukup aktif berbagi kegiatan sehari-harinya melalui sederet unggahan di akun Instagram pribadi. Di sejumlah potret yang diunggah, ada satu dekorasi di meja kerjanya yang membuat salah fokus warganet.

Yang dimaksud, tidak lain tidak bukan, adalah hiasan diduga kulit harimau awetan. Pelengkap dekorasi ruangan serba putih itu tampak ditata di bagian ujung meja marble persegi panjang yang digunakan Bambang untuk menerima sejumlah tamu.

Dekorasi diduga kulit harimau awetan itu kemudian menarik sejumlah komentar. Salah satunya menulis dengan sarkas, "Macan bandel amat ya. Ada bangku kosong malah rebahan di meja." Sementara, yang lain mempertanyakan dekorasi tersebut, "Assalamualaikum bapak @bambang.soesatyo itu beneran kulit asli kah?"

Komentar itu dibalas pengguna lain, "Bukan harimau saja, bang. Itu ada juga opsetan macan, kepala rusa, dan cendrawasih. Sungguh disayangkan." Ini kemudian ditanggapi dengan menulis, "Mungkin saja pak @bambang.soesatyo punya izin soal ini. Hanya saja agak kaget karena sepengetahuan saya enggak boleh," menambahkan bahwa dekorasi-dekorasi tersebut mungkin saja "replika."

Jika asli, warganet itu menyoroti, Bambang diduga melanggar hukum, merujuk pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Mengutip situs web DPR, pasal yang dimaksud berbunyi:

(2) Setiap orang dilarang untuk:

a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. Memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur, dan/atau sarang satwa yang dilindungi.

2 dari 4 halaman

Ancaman Hukuman

Kemudian, merujuk pada Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem disebutkan, "Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah)."

Kemudian, Pasal 40 ayat (4) memuat, "Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah)."

Salah seorang warganet itu juga menyayangkan publikasi dekorasi diduga kulit harimau awetan di meja kerja Ketua MPR Bambang Soesatyo. "(Publikasinya dikhawatirkan) membuka ruang bagi siapa saja yang masuk mungkin dalam kategori bisa, izin dapat, dan diperbolehkan (menjadikannya sebagai dekorasi)," tulisnya.

Ia menyambung dalam penggalan komentar berbeda, "Mengedukasi publik betapa pentingnya menjaga dan melestarikan plus melindungi satwa dan habitatnya, terutama harimau sumatra, ini sungguh sulit."

 

3 dari 4 halaman

Terancam Punah

Ia juga menyoroti Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 yang berbunyi:

(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.

(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin pemerintah.

(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Mengutip laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, harimau sumatra memang merupakan sub-spesies terancam punah berdasarkan ketetapan lembaga konservasi internasional, International Union for Conservation of Nature (IUCN), serta termasuk dalam appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Artinya, segala bentuk perdagangan hidup dan/atau mati, termasuk produk turunannya, dilarang oleh peraturan internasional, kecuali untuk keperluan non-komersial tertentu dengan izin khusus.

4 dari 4 halaman

Kepunahan Harimau di Indonesia

Kepunahan harimau sudah tercatat di Indonesia. Situs web Dinas Lingkungan Hidup Yogyakarta menyebut bahwa sub-spesies yang punah paling dulu adalah harimau Bali. Sebelum kedatangan Belanda ke Nusantara, harimau adalah satwa yang sangat ditakuti sekaligus dihormati penduduk lokal.

"Diperkirakan, hingga akhir abad ke-17, masih ada sekitar 300-an ekor harimau Bali di habitatnya. Belanda dan masyarakat Eropa pada umumnya pada waktu itu menganggap perburuan binatang buas sebagai sebuah prestige. Area pulau Bali yang sempit dan perburuan yang terus dilakukan membuat populasinya semakin menurun," catat pihaknya.

Harimau Bali terakhir ditembak di daerah Sumber Kima, Bali Barat pada 27 September 1937. Sub-spesies ini kemudian dinyatakan punah pada 1938.

Yang kedua adalah harimau Jawa, sambung mereka. "Pembukaan lahan hutan di Jawa pada awal tahun 1800-an untuk jadi perkebunan, mengusik habitat harimau Jawa, yang kemudian menimbulkan konflik antara harimau dengan manusia," kata pihaknya.

Mereka menyambung, "Karena banyaknya konflik antara harimau Jawa dengan manusia tersebut, perburuannya jadi semakin masif. Hingga awal tahun 1940-an, populasi harimau Jawa diperkirakan tinggal 200--300 ekor dan menurun terus setelah itu."

Pada 1950-an, harimau Jawa diperkirakan tersisa 25-an ekor.  "International Union for Conservation Nature secara resmi mengumumkan bahwa harimau Jawa yang terakhir berada di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur pada 1976. Sesudah itu, harimau semakin menghilang dan akhirnya dinyatakan punah pada awal 1980-an," paparnya.

"Saat ini, sesekali dilaporkan terlihat di hutan-hutan di pegunungan di Jawa, namun keberadaannya masih belum dapat diverifikasi," imbuh mereka.

Karena itu, sekarang tinggal harimau Sumatra. "Diperkirakan saat ini populasinya hanya sekitar 400--500 ekor di hutan-hutan Sumatra," tutupnya.