Liputan6.com, Jakarta - Kebanyakan calon penumpang hanya memperhatikan aspek kenyamanan, seperti ruang kaki dan akses mudah ke toilet, saat memilih kursi pesawat. Bahkan, banyak yang mencari posisi kursi paling dekat dengan pintu depan agar bisa keluar pesawat lebih cepat. Tidak banyak yang memikirkan kursi mana yang paling melindungi dalam keadaan darurat.Â
Melansir CNN pada Kamis, 9 Februari 2023, kursi yang aman adalah kursi tengah yang ada di barisan belakang pesawat. Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data statistik.
Advertisement
Baca Juga
Hasil investigasi Time yang mengusut sejarah kecelakaan pesawat dalam 35 tahun menemukan bahwa kursi tengah di barisan belakang pesawat tercatat memiliki tingkat kematian terendah, 28 persen, dibandingkan dengan kursi di lorong tengah yang tingkat fatalitasnya mencapai 44 persen.
Hal ini menjadi masuk akal karena ketika duduk di sebelah baris pintu darurat pesawat akan memberikan akses pintu keluar tercepat, asalkan tidak ada api. Sementara mendekat ke bagian depan berarti Anda akan terkena dampak lebih dulu sebelum hal tersebut terjadi di bagian belakang.
Doug Drury, profesor sekaligus Kepala Penerbangan di Universitas Central Queensland menyebutkan "Adapun mengapa kursi tengah lebih aman daripada kursi jendela atau lorong, seperti yang Anda duga, karena penyangga disediakan dengan adanya orang di kedua sisinya," katanya.Â
Walau begitu, situasi anomali tetap bisa terjadi saat kecelakaan terjadi. Peristiwa kecelakaan pesawat United Flight 232 pada 1989 di Siouz, Iowa, contohnya. Sebanyak 184 dari 269 penumpang yang selamat, sebagian besar duduk di kursi belakang first class dan di bagian depan pesawat.
Keadaan Darurat
Jenis keadaan darurat juga akan menentukan kelangsungan hidup. Pilot dilatih untuk meminimalisir potensi risiko dalam keadaan darurat sebaik mungkin. Mereka akan berusaha menghindari menabrak gunung dan mencari tempat yang datar, seperti lapangan terbuka, untuk mendarat senormal mungkin. Â
Misalnya pada penerbangan Air New Zealand TE901 yang menabrak lereng Gunung Erebus di Antartika. Hal ini dilakukan pilot untuk mengurangi peluang bertahan hidup secara eksponensial.
Teknik pendaratan di air membutuhkan penilaian kondisi permukaan dan usaha untuk mendarat di antara gelombang pada sudut pendaratan normal. Mendarat di laut terlebih dahulu juga mengurangi peluang untuk bertahan hidup, seperti yang disaksikan pada tahun 2009 Air France Penerbangan 447, di mana 228 penumpang dan awak tewas.
Maka itu, para penumpang pesawat harus tetap menggunakan sabuk pengaman. Alasan utama awak kabin mengingatkan untuk tetap memasang sabuk pengaman bukan hanya karena risiko kecelakaan, tetapi juga karena turbulensi yang bisa dialami kapan saja. Fenomena cuaca inilah yang paling banyak menyebabkan kerusakan pada penumpang dan pesawat.
Advertisement
Perbedaan Pesawat
Doug Drury menyebutkan bahwa memang, ada variabel tertentu yang membedakan antar jenis pesawat. Dia juga menyebutkan salah satu contohnya adalah dampak dari kecepatan udara. Namun, perhitungan penerbangan kurang lebih sama di semua pesawat.
Umumnya, pesawat yang lebih besar akan memiliki lebih banyak material struktural dan lebih kuat untuk menahan tekanan di ketinggian. Hal ini berarti pesawat tersebut dapat memberikan perlindungan tambahan dalam keadaan darurarat.
"Tetapi sangat bergantung juga pada tingkat keparahan keadaan darurat," ujar Drury.
Namun, kata dia, bukan berarti para penumpang harus memesan penerbangan dengan pesawat terbesar yang bisa di temukan di situs pembelian daring. "Seperti yang telah saya sebutkan, perjalanan udara tetap lebih aman. Kepedulian kami memastikan insiden tragis ini diselidiki secara menyeluruh yang membantu menjaga keamanan perjalanan udara," lanjutnya.
Saat ini, produsen pesawat sedang merancang desain baru dengan lebih banyak bahan komposit yang mampu mengatasi tekanan dalam penerbangan. Pada desain ini, sayap pesawat tidak kaku dan dapat dilenturkan untuk menyerap beban ekstrim guna mencegah kegagalan struktural.
Masih Paling Aman
Hingga saat ini, pesawat terbang masih dianggap sebagai moda transportasi yang paling aman. Pada 2019, ada kurang dari 70 juta penerbangan secara global dengan kematian 287 jiwa. Menurut analisis data sensus Dewan Keamanan Nasional AS, kemungkinan kematian di pesawat adalah sekitar 1 banding 205.552, jauh lebih rendah dibandingkan dengan 1 banding 102 di dalam mobil.
Melansir kanal Citizen6 di Liputan6.com, walaupun pesawat dilengkapi alat keselamatan seperti pelampung hingga masker oksigen tetapi tidak memiliki parasut. British Parachute Association Phil Edwards menjebut, pesawat jet modern melaju dengan sangat cepat. Itu artinya, ketika penumpang melompat dari pintu darurat untuk mengenakan parasut, kemungkinan besar badan seseorang akan terkena baling-baling. Ada juga kemungkinan badan akan hancur ketika angin menghantam tubuh.
Selain itu, penggunaan parasut membutuhkan latihan yang lama. Terjun payung tidak semudah seperti di film. Terjun payung biasanya memiliki beberapa dasar latihan. Latihan yang dimaksud berawal dari terjun payung tandem, di mana seseorang diikat ke seorang ahli selama terjun payung.
Untuk pelatihan terjun payung bersama ahli sekali pun, setidaknya butuh waktu setengah jam untuk mendapatkan latihan dan instruksi dasar. Alasan lainnya adalah pesawat komersil selalu berada di ketinggian lebih dari 35.000 kaki sementara terjun payung paling tinggi hanya mencapai 10.000 kaki di atas tanah.
Advertisement