Liputan6.com, Jakarta - Bencana gempa yang menimpa Suriah dan Turki menimbulkan korban jiwa tak sedikit. CNN melaporkan, dikutip Senin (13/2/2023), korban tewas akibat gempa dahsyat pada 6 Februari 2023 di Turki mencapai 29.605 orang. Sementara, korban Gempa Suriah yang tewas, baik di wilayah yang dikuasai oposisi maupun pemerintah, adalah 4.574 orang.
Dengan tingkat fatalitas yang berbeda, perhatian dunia internaasional kepada Turki dan Suriah seakan tak imbang. Melansir BBC, di Turki selatan, ribuan petugas penyelamat dengan peralatan berat, paramedis, dan anjing pelacak, telah memacetkan jalan, dan masih bekerja untuk menemukan korban selamat. Tapi, suasana sepi terlihat di Suriah barat laut yang dikuasai oposisi.
Advertisement
Baca Juga
Jurnalis BBC menghabiskan waktu empat hari perjalanan melintasi perbatasan dari Kota Antakya di Turkiye yang respons bantuan hiruk pikuk. Suasananya riuh, sirene ambulans meraung sepanjang malam, puluhan alat berat meraung dan mengoyak beton 24 jam sehari. Sementara, sebagian besar Desa Bsania, Provinsi Idlib, Suriah, diliputi kesunyian.
Rumah-rumah di kawasan perbatasan itu baru dibangun. Namun sekarang, lebih dari 100 bangunan telah hilang, berubah menjadi puing dan debu putih seperti hantu yang berembus melintasi tanah pertanian. Salah satu korbannya adalah keluarga Abu Ala. Gempa yang menimpa Suriah itu telah merenggut nyawa dua anaknya.
"Kamar tidurnya ada di sana, itu rumah saya," katanya sambil menunjuk tumpukan puing. "Istri saya, putri saya, dan saya sedang tidur di sini - Wala', gadis berusia 15 tahun, berada di tepi ruangan menuju balkon. Sebuah buldoser dapat menemukannya, (jadi) saya membawanya dan menguburkannya."
Alat Seadanya
Tim penyelamat lalu mencari jasad putranya yang berusia 13 tahun, Ala. Proses penyelamatan berlangsung di tengah keterbatasan. Pasukan Keamanan Sipil Suriah yang disebut sebagai White Helmets yang beroperasi di wilayah yang dikuasai oposisi berusaha mencari korban menggunakan alat seadanya, seperti beliung dan linggis, dan sedikit alat berat modern.
"Kami terus menggali sampai malam berikutnya. Semoga Tuhan memberi kekuatan pada mereka (tim penyelamat). Mereka menggali sampai dalam untuk menemukan putraku." Jasad Ala akhirnya dimakamkan di samping sang kakak.
Tidak banyak korban jiwa di Bsania, tetapi itu tetaplah rumah bagi sejumlah warga Suriah. Barisan bangunan apartemen modern dengan balkon menghadap ke arah Turki berdiri di sana. Abu Ala' menggambarkannya sebagai komunitas yang berkembang.
"Kami memiliki tetangga yang baik, orang-orang baik. (Mereka) sudah meninggal sekarang," ucapnya. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Tidak ada tenda, tidak ada bantuan, tak ada apa pun. Kami tak mendapat apapun kecuali belas kasihan Tuhan sampai saat ini. Dan sekarang saya dibiarkan berkeliaran di jalan."
Karena itu, ia pun memberanikan diri untuk meminta tenda. Sayang, rombongan jurnalis yang datang tak membawa apapun.
Advertisement
Hentikan Pencarian Korban
Jurnalis BBC itu kemudian menemui pasukan White Helmets, berharap mereka masih mencari para korban. Namun, itu sudah terlambat.
Ismail al Abdullah yang sudah lelah berusaha menggambarkan situasi yang dialami Suriah sebagai pengabaian dunia terhadap rakyat Suriah. Dia mengatakan komunitas internasional berlumuran darah.
"Kami berhenti mencari orang yang selamat setelah lebih dari 120 jam berlalu," katanya. "Kami mencoba yang terbaik untuk menyelamatkan orang-orang kami, tetapi kami tidak bisa. Tidak ada yang mendengarkan kami." Sejak jam pertama kami meminta tindakan segera, untuk bantuan mendesak. Tidak ada yang menanggapi. Mereka hanya mengatakan, 'Kami bersamamu', tidak ada yang lain. Kami berkata, kami membutuhkan peralatan. Tidak ada yang menjawab."
Selain beberapa dokter Spanyol, tidak ada tim bantuan internasional yang mencapai bagian Suriah ini. Ini adalah kantong perlawanan dari pemerintahan Bashar al-Assad. Di bawah perlindungan Turki, wilayah itu dikendalikan oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah kelompok Islam yang pernah berafiliasi dengan Al Qaeda.
Terisolasi
Kelompok tersebut telah memutuskan hubungan tersebut, tetapi hampir semua pemerintah tidak memiliki hubungan dengan mereka. Sepanjang waktu liputan di Suriah, orang-orang bersenjata yang tidak ingin difilmkan, menemani rombongan jurnalis dan berdiri di kejauhan.
Bantuan internasional yang mencapai bagian Suriah ini sangat kecil. Banyak korban gempa dibawa ke rumah sakit Bab al-Hawa, yang didukung oleh Masyarakat Medis Amerika Suriah. Mereka merawat 350 pasien segera setelahnya, kata ahli bedah umum Dr Farouk al Omar kepada BBC, semuanya hanya dengan satu ultrasonografi.
Ketika ditanyai soal bantuan internasional, dia menggelengkan kepalanya, dan tertawa. "Kami tidak bisa berbicara lebih banyak tentang topik ini. Kami banyak berbicara tentang itu. Dan tidak ada yang terjadi. Bahkan dalam situasi normal, kami tidak memiliki staf medis yang cukup. Bayangkan saja seperti apa bencana setelah gempa ini," katanya.
Di ujung koridor, seorang bayi mungil terbaring di dalam inkubator. Tengkorak Mohammad Ghayyath Rajab memar dan diperban, dan dadanya yang kecil naik turun berkat alat bantu pernapasan. Dokter tidak bisa memastikan, tapi mereka mengira usianya sekitar tiga bulan. Kedua orangtuanya tewas dalam gempa bumi, dan seorang tetangga menemukannya menangis sendirian dalam kegelapan di reruntuhan rumahnya.
Orang-orang Suriah telah ditinggalkan berkali-kali, dan mengatakan bahwa mereka telah terbiasa diabaikan. Tapi, tetap saja ada kemarahan karena lebih banyak bantuan tidak datang.
Advertisement