Liputan6.com, Jakarta - Indonesia telah memutuskan untuk mendaftarkan kebaya dalam join nomination sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, bergabung bersama empat negara lainnya yaitu Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Namun Indonesia juga mengajukan kebaya labuh dan kebaya kerancang dalam single nomination.Â
Hal itu dimungkinkan lantaran kebaya labuh dan kebaya kerancang telah memiliki sertifikat Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sejak 2021 lalu. Namun kini pengajuan kebaya labuh dan kebaya kerancang ke UNESCO masih menunggu antrean karena masih ada beberapa warisan budaya tak benda lainnya.Â
Advertisement
Baca Juga
Kebaya labuh masih terasa asing dan jarang terdengar, Mellyana Anggraini dari Komunitas Pelestari Kebaya Labuh, Perwakilan Dewan Kesenian Kepulauan Riau mengungkapkan busana tersebut telah populer di masa Kerajaan Melayu Riau Lingga di era 1800-an. Kala itu kebaya yang masuk mengalami adaptasi karena kultur Indonesia yang erat dengan agama Islam sehingga ada perubahan gaya.
"Labuh artinya panjang dan longgar, alkulturasi kebudayaan Islam membuat kebaya saat itu harus menutupi aurat sehingga dibuat longgar dengan etika sopan santun," ungkap Mellyana saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Senin (13/2/2023).Â
Menurutnya sejak zaman Kerajaan Lingga-Riau, kebaya labuh telah menjadi pakaian tradisional perempuan Melayu Lingga. Dalam perkembangannya kebaya labuh juga dikenakan di luar Lingga, hingga ke Riau daratan.Â
"Kebaya labuh yang potongan longgar memiliki kekek atau kain segi empat yang dilipat untuk membentuk lekuk ketiak dan ber-pesak di bagian depan. Untuk menutup belahan depan, biasanya dikenakan krongsang (peniti tiga serangkai/peniti ibu-anak)," sambung Mellyana.Â
Â
Sejarah Kebaya Labuh
Kini, kebaya labuh masih dikenakan orang Melayu di Kepulauan Riau dan Riau terutama untuk busana resmi acara khusus, pakaian pengantin, dan kostum dalam persembahan kesenian Melayu seperti Tari Persembahan dan Teater Bangsawan. Sementara itu mengutip dari Naskah Perjalanan Sejarah Kebaya Labuh, Senin (13/2/2023), diketahui busana tradisional Melayu selalu dibicarakan dalam berbagai forum dan menjadi perhatian istimewa di acara-acara majelis keramaian, adat istiadat, pertunjukan busana, dan sebagainya.
Namun demikian, dokumentasi lengkap mengenainya masih sangat tebatas. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, antara lain tradisi masyarakat Melayu terdahulu yang kurang perhatian dalam merekam kegiatan dalam berbusana Melayu, terlebih lagi terhadap golongan masyarakat biasa.Â
Kedatangan agama Islam banyak berpengaruh dalam corak kehidupan orang-orang Melayu, terutama dalam menukar sistem nilai-nilai kehidupan dan keagamaan di dalam masyarakat Melayu hingga mengubah cara berpakaian wanita dari berkemban hingga memakai baju yang lebih sempurna.
Advertisement
Diperkenalkan Penjajah Portugis
Para Wanita Melayu terutama dibagian selatan Semenanjung Melayu mulai memakai Kebaya Labuh sebagai busana keseharian mereka. Diperkirakan Kebaya barasal dari bahasa Turki yaitu "Al Akibiya Al Turkiya" yang artinya Baju Turki yang berbelah dan lipatannya selisih serong didepankekiri dan kekanan.
Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa baju ini dikenalkan oleh Portugis yang datang ke Melaka pada awal abad ke-16. Setelah Portugis menjajah Melaka terdapat tampilan sejenis baju Labuh (Panjang) khas bangsa mereka yang terbuka di depan seperti yang dipakai oleh para wanita Portugis, dan gaya baju ini disenangi oleh wanita di Pantai Timur Semenanjung dan Johor-Riau Pahang.
Berdasarkan perkiraan tersebut maka Baju Kebaya Labuh dapat dianggap sebagai salah satu pakaian wanita yang tertua di tanah Melayu. Baju Kebaya Labuh disebut juga dengan Baju Belah Labuh Besar.Â
Â
Digunakan dalam Pertunjukan Seni
Kebaya ini juga dianggap sebagai pakaian yang menerima unsur-unsur budaya Asia Barat, karena sekali pandang seakan-akan baju ini seperti "Djubba" di Mesir. Di seluruh Tanah Melayu pemakaian Baju Kebaya Labuh sangat menonjol di tahun 1800-an pada semua peringkat usia baik masyarakat China maupun Keling.
Diterimanya baju Kebaya Labuh ini pada zaman itu kemungkinan besar bertujuan untuk memenuhi citarasa masyarakat Melayu. Hal ini tak lain karena bercirikan kesopanan disamping juga potongan yang menarik dan sesuai dengan kemauan budaya masyarakat kala itu.
Saat ini menurut Mellyani penggunaan kebaya labuh oleh generasi senior biasa dipakai pada acara Idul Fitri maupun pada momentum resepsi pernikahan. Penggunaan kebaya labuh sehari-hari memenuhi unsur Warisan Budaya Tak Benda karena kebaya labuh dipakai dan dilestarikan dalam seni pertunjukan di Riau yaitu tari wajibnya seperti tari Persembahan Makan Sirih sebagai tarian sambutan tamu di daerah dan kearifan lokal setempat.Â
Advertisement