Liputan6.com, Jakarta - Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyebut gunungan sampah di Bantar Gebang makin tinggi. Sekitar empat gunung sampah ketinggiannya mencapai 50 meter, bahkan ada yang sampai 60 meter. Bila dikonversi menjadi gedung, ketinggian gunung sampah itu setara dengan bangunan 20 lantai.
"Tidak kurang dari 7.500 ton sampah diangkut oleh 1.200 truk sampah setiap hari dari Jakarta ke Bantar Gebang. Setiap hari buangnya ke Bantar Gebang. Mereka mindahin sampah dari Jakarta ke Bantar Gebang," kata Asep dalam jumpa pers #GenerasiPilahPlastik: Don’t Waste Your Time, Yuk Pilah Pilih untuk Indonesia yang Lebih Baik di Jakarta, Sabtu, 18 Februari 2023.
Advertisement
Baca Juga
Ia mengibaratkan Jakarta sebagai rumah mewah yang tidak memiliki toilet. Karena itu, sampah warga Jakarta dibuang ke tempat tetangga, dalam hal ini lokasinya berada di Bekasi. "Kalau tetangganya ngambek, kita susah mau buang ke mana. Masa mau ditaruh di depan Monas atau ke Lapangan Banteng?" ucapnya.
Beragam regulasi sudah dibuat agar persoalan sampah di Jakarta bisa ditangani. Salah satunya lewat Pergub Nomor 77/2020 yang meminta masyarakat untuk memilah sampah dari rumah. Bahkan, kata Asep, RW juga diberdayakan untuk menggerakkan warganya agar memilah sampah dari rumah.
Pemilahan menjadi kunci utama menekan produksi sampah dan menjalankan ekonomi sirkular. Hanya saja, kesadaran warga untuk memilah sampah dari rumah masih rendah. Asep menyebut angkanya hanya 15 persen dari 10,56 juta penduduk Jakarta menurut survei 2020.
"Kalau milah sampah, kami dapat apa, itu yang paling sering ditanyakan. Kesadaran warga itu tergantung dari apa yang didapatkan. Membangkitkan kesadaran tidak mudah kalau memang tidak memberikan semacam payback bagi masyarakat. Itu tantangan pemda," tutur Asep.
3 Jenis
Asep menyebut pemilahan sampah bisa dimulai dengan membaginya menjadi tiga kategori dulu, yakni organik, anorganik, dan B3. Sampah anorganik selanjutnya diminta untuk dikomposkan atau dibuat maggot. Sementara, sampah anorganik bisa disalurkan ke bank sampah yang jumlahnya tercatat sudah sekitar 3000 buah di seluruh Jakarta. Sampah B3 memerlukan penanganan khusus sehingga semestinya tidak dicampur dengan jenis sampah lain
Pemda DKI juga mewajibkan untuk para pemilik kawasan komersial memilah sampah di tempat. Selanjutnya, mereka diminta untuk bekerja sama dengan pihak swasta mengolah sampah yang dihasilkan. "Jakarta mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang tidak ada retribusi sampah. Yang bapak ibu bayar setiap bulan (untuk iuran sampah) diberikan untuk pengelola, Pak RT, Pak RW, enggak masuk retribusi sampah ke pendapatan DKI," ucap Asep.
DKI juga mengeluarkan Pergub Nomor 102/2021 tentang kolaborasi sosial skala besar (KSBB), yaitu wadah yang menghimpun semua penggiat, kolaborator, LSM, dan startup yang ingin membantu pemerintah mengedukasi, mengadvokasi, dan mengelola masalah sampah di Jakarta. Ia menyebut saat ini sudah ada 50 pihak yang bergabung di platform KSBB.
"Sudah lebih dari tiga miliar digunakan untuk membantu edukasi. Sarana prasarana disiapkan mereka, tidak lagi kami. Ajak semua untuk mau mengelola sampah. Tumbuh kesadaran masyarakat, anak-anak mudanya, lifestyle-nya sudah mulai teredukasi mengolah sampahnya," kata Asep.
Advertisement
RDF
Untuk sampah yang sudah kepalang masuk ke Bantar Gebang, Pemda DKI saat ini mencoba mengatasinya dengan membuat refuse-derived fuel (RDF). RDF didefinisikan sebagai teknologi pengolahan sampah yang menggunakan proses homogenizers untuk mengubah ukuran sampah menjadi lebih kecil atau sesuatu yang bermanfaat. Hasilnya akan menjadi sumber energi dalam proses pembakaran, yaitu sebagai pengganti batu bara.
Namun, kapasitas pengolahan masih terbatas. Asep menyebut angkanya masih 1.000 ton sampah per hari, jauh dari produksi sampah yang mencapai 7.500 ton per hari. Kualitasnya pun masih perlu terus ditingkatkan agar bisa memenuhi kriteria yang diinginkan buyer.
"Mau jual ke pabrik semen, ada kualitas tertentu yang mereka inginkan, kaya sizing-nya, atau kadar airnya berapa persen. Harganya Rp300--350 ribu per ton," ia menjelaskan.
Hal senada disampaikan Ujang Solihin Sidik, Kasubdit Barang dan Kemasan, Direktorat Pengurangan Sampah Ditjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Ia mengingatkan bahwa kunci penanganan sampah adalah kolaborasi semua pihak. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi butuh dukungan masyarakat, NGO, produsen, akademisi, dan peneliti untuk terus bekerja bersama-sama, dimulai dengan memilah sampah dari rumah.
"Pemerintah punya target. Orang bilang target kami ambisius... 100 persen sampah terkelola pada 2025. Jangan lihat angkanya, tapi lihat komitmen usaha kita menuju ke sana. Contohnya hal kecil seperti milah sampah," ucapnya.
Kompos Day
Pria yang akrab disapa Uso itu mengingatkan bahwa pemilahan menjadi kunci dari penyelesaian masalah sampah. Sebagai contoh, memilah sampah organik dan kemudian mengolahnya menjadi kompos atau maggot itu bisa menyelesaikan 50--60 persen sampah ke TPA.
"Kenapa kompos di rumah penting, karena sampai makanan itu jumahnya sekitar 50 persen dari total sampah. Dengan dikomposkan di rumah sendiri, kita sudah kontribusi 50--60 persen selesaikan sampah di rumah. Tidak perlu dibawa-bawa pakai trus sampah," ucapnya.
Untuk itu, KLHK berencana untuk menggelar kegiatan Kompos Day pada 26 Februari 2023 di Lapangan Banteng. Hal itu untuk mendorong kesadaran warga mengompos sampah di rumah.
Sementara, peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2023 mengusung tema Tuntas Kelola Sampah Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Lewat tema tersebut, kata Uso, pemerintah ingin menyampaikan pesan bila serius mengelola sampah, mudah-mudahan akan ada manfaat yang diterima tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga kesejahteraan masyarakat.
"Sampah seharusnya jangan dianggap sepele lagi. Kalau salah penanganan, bisa membunuh orang. Sebanyak itu waktu itu (bencana longsor sampah di Leuwigajah yang menewaskan lebih dari 100 orang)," ucapnya.
Advertisement