Liputan6.com, Jakarta - Kepala Kepolisian Thailand, Damrongsak Kittiprapas, meminta maaf setelah enam petugas polisi terlibat dalam kasus pemerasan yang melibatkan aktris Taiwan, Charlene An. Aktris itu menuangkan keluh-kesahnya saat liburan di Bangkok bersama teman-temannya.
An yang memiliki hampir 380.000 pengikut di Instagram dan Facebook, membuat serangkaian unggahan di media sosialnya tentang pengalamannya diperas polisi. Pengakuan itu dengan cepat berubah menjadi skandal korupsi yang melibatkan kepolisian Thailand.
Advertisement
Baca Juga
"Lebih dari 20.000 baht telah diperas dari saya. Jika menolak, saya harus pergi ke kantor polisi. Thailand sangat mengerikan. Saya membuang waktu berjam-jam. Sangat menakutkan," tulisnya, dikutip dari Chanel News Asia, Minggu, 19 Februari 2023.
An berada di dalam taksi online bersama teman-temannya ketika mereka dihentikan dan digeledah di pos pemeriksaan polisi di distrik Huai Khwang pada 4 Januari 2023. Mereka diduga dipaksa membayar 27.000 baht (sekitar Rp12 juta) sebagai suap kepada polisi karena membawa tiga rokok elektrik yang ilegal untuk diimpor dan dijual di Thailand.
Mereka juga dipaksa membayar uang karena tidak membawa paspor mereka dengan visa, sebelum mereka dibebaskan. An mengatakan dia membawa paspornya dan menunjukkan visa on arrival-nya pada saat kedatangan kepada polisi. Tetap saja, dia diberitahu bahwa itu tidak dapat diterima dan dia memerlukan visa yang dicetak di paspornya dengan lambang resmi.
"Siapa pun yang pergi ke Thailand, berhati-hatilah! Thailand sangat kelam. Aku tak mau kembali ke sana lagi. Mereka akan mencari-cari kesempatan dan semua alasan untuk menahanmu," tulis sang aktris memperingatkan para pengikutnya di Instagram.
Pengakuan Pria Singapura
Salah satu teman An menggelar konferensi pers di Bangkok pada 1 Februari 2023. Ia adalah Jz Sky, seorang warga negara Singapura yang bersama An ketika mereka dihentikan dan digeledah oleh polisi Thailand pada Januari lalu.
Sky mengatakan kepada wartawan bahwa dia berada di dalam mobil bersama An dan dua teman Singapura lainnya ketika polisi menghentikan kendaraan mereka dan meminta mereka keluar untuk diperiksa. "Ketika saya keluar dari mobil, polisi memeriksa saku saya dan meminta saya untuk menunjukkan kepadanya apa yang ada di dalamnya," ujar Sky.
Polisi menyita tiga rokok elektrik yang sebelumnya mereka beli di Bangkok. Polisi juga meminta mereka untuk menunjukkan paspor. Ketiga warga Singapura itu tidak membawa paspor milik mereka saat itu dan petugas tidak mau menerima paspor digital dari ponsel mereka, klaim Sky.
"Petugas itu bertanya apakah saya punya 27.000 baht. Penebusan untuk satu rokok elektrik yang berharga 8.000 baht, ditambah kami bertiga tidak membawa paspor," katanya kepada media. Ia mengaku rombongannya juga dilarang mengambil foto atau video saat inspeksi dilakukan dan diancam dengan hukuman penjara.
Di sisi lain, meski penjualan dan impor rokok elektrik ilegal di Thailand, produknya banyak dijual dan digunakan di negara tersebut. Menurut Dewan Perlindungan Konsumen, setiap individu yang memiliki rokok elektrik di Thailand dapat menghadapi hukuman lima tahun penjara atau denda senilai empat kali lipat harganya, atau pun keduanya.
Namun, tidak ada undang-undang yang mewajibkan orang asing di Thailand untuk membawa paspor mereka setiap saat. Polisi Kerajaan Thailand menjelaskan, turis asing yang tidak membawa paspor asli dapat menunjukkan salinan atau foto dokumen perjalanan saat diminta oleh petugas polisi.
Advertisement
Rusaknya Reputasi Thailand
Pihak berwenang Thailand awalnya menolak mengusut kasus itu. Namun, Biro Polisi Metropolitan akhirnya menginvestigasi dan mengungkapkan adanya perilaku tidak biasa dari petugas di pos pemeriksaan. Enam dari mereka didakwa dengan penyuapan dan melalaikan tugas.
Kasus tersebut terjadi tepat ketika sektor pariwisata Thailand berangsur pulih dari pandemi COVID-19. Hal ini menimbulkan banyak kekhawatiran tentang potensi dampaknya terhadap citra dan perekonomian negara.
"Dari segi pariwisata, kasus ini sudah merusak citra negara. Yang saya khawatirkan perilaku ini akan ditiru, artinya PNS dari unit lain mulai melihat turis sebagai alat untuk mencari uang ilegal," kata Paisarn Suethanuwong, anggota Komite Asosiasi Pemandu Wisata Profesional Thailand.
Paisarn yakin malapraktik semacam ini bisa dihentikan jika masalahnya ditangani tanpa keringanan hukuman. Ia mengatakan transparansi penyelidikan atas insiden baru ini juga penting, dan tindakan serius harus diambil terhadap petugas jika mereka terbukti bersalah atas dugaan pelanggaran.
Mengutip CNA Asia, Anggota Parlemen Partai Pergerakan Maju, Rangsiman Roma, juga mengatakan insiden ini dapat berefek yang tak terukur pada citra Thailand. "Pariwisata adalah salah satu pendapatan utama negara. Jika kita tidak bisa membuat turis merasa aman ketika mereka mengunjungi Thailand, ini akan dengan cepat menghancurkan ketenaran dan citra negara, yang telah lama kita bangun."
Salah Satu Negara Terkorup di Dunia
Anggota parlemen oposisi kerap menyuarakan soal korupsi di kepolisian Thailand. Menurutnya, turis asing cenderung menjadi korban pemerasan di Thailand karena mereka tidak mengenal hukum Thailand dan biasanya membawa banyak uang tunai untuk bepergian di negara tersebut.
"Banyak turis merasa tidak punya pilihan selain membayar suap untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, beberapa petugas polisi merasa mereka dapat menuntut harga yang lebih tinggi dari orang asing daripada dari orang Thailand, yang dapat bernegosiasi lebih baik dengan pihak berwenang," ujar Rangsiman.
Unggahan Charlene An di media sosial memicu kemarahan publik tentang penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi di kepolisian Thailand, masalah yang dianggap sudah mendarah daging dalam institusi tersebut, yang berada di bawah komando Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha.
Pada 2022, Thailand menduduki peringkat ke-101 dari 180 negara dan wilayah dalam Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) oleh Transparency International. Thailand mencetak skor 36 pada tahun lalu, di bawah rata-rata global 43. CPI mengukur seberapa korup sektor publik setiap negara dan memberikan skor menggunakan sumber data yang berbeda, termasuk survei dan penilaian korupsi.
"Skor suatu negara adalah persepsi tingkat korupsi sektor publik pada skala 0-100, di mana 0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih," jelas Transparency International di situs webnya.
Advertisement