Liputan6.com, Jakarta - Buka puasa tak melulu harus menyantap berbagai sajian gorengan atau minuman yang terlalu manis. Menjelang Ramadan 2023, ada pula beragam opsi menu sehat yang bisa dimasak dan dikonsumsi.
CEO Cookpad Indonesia Soegianto menyampaikan pihaknya telah melakukan survei di Februari 2023 pada pengguna Cookpad aktif dengan rentang usia 25--49 tahun. Survei ini dilakukan guna melihat persiapan responden dalam menyambut Ramadan 2023.
"34 persen tertarik dengan mencoba resep masakan sehat dan ada lebih dari 44 persen mencoba menghindari atau mengurangi masakan bersantan atau gorengan untuk menjalani Ramadan yang lebih sehat," kata Soegianto dalam talkshow "#PILIHMASAK untuk Bantu Jaga Pola Hidup dan Siapkan Ramadan yang Lebih Sehat" di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis, 23 Februari 2023.
Advertisement
Soegianto juga melihat ada antusiasme tinggi dari para responden yang mengatakan bahwa sekitar 63 persen akan memasak setiap hari. Dua tema besar ini merupakan rangkaian besar dari apa yang pihaknya suarakan menjadi #PILIHMASAK.
"Kami percaya, dengan memilih memasak kita akan bisa membawa Indonesia yang lebih sehat, lebih kaya, dan lebih baik lagi. Cookpad mengajak seluruh masyarakat untuk mulai merencanakan kebaikan, terutama memasuki bulan Ramadan dengan mencari inspirasi di Cookpad," tambahnya.
Terkait menu sehat untuk buka puasa, Chef Desi Trisnawati menjelaskan bahwa penting untuk memerhatikan nutrisi. Pemenang Masterchef Indonesia Season 2 melanjutkan nutrisi saat ini belum menjadi sorotan utama di masyarakat.
Pentingnya Nutrisi
"Saya pikir kita mesti paham bahwa ketika mau buka puasa ataupun makan pada umumnya, bahwa yang kita makan itu poin yang paling penting adalah nutrisi yang masuk. Banyak orang makan mereka tidak paham banget tentang nutrisi yang masuk," terang Chef Desi.
Chef Desi menyambut baik hasil survei yang menyebut 34 persen orang menghindari gorengan. "Karena mereka mulai paham gaya hidup sehat itu sangat penting, salah satunya nutrisi. Dengan mengetahui nutrisi, kita bisa secara common sense mengombinasi. Knowledge-nya dapat tentang nutrisi kemudian tinggal diaplikasikan," tuturnya.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah menyeimbangkan sajian agar tetap sehat, terutama selama Ramadan, yang identik buka puasa dengan sajian manis dan gorengan. Chef legendaris Sisca Soewitomo menerangkan perlunya untuk mengendalikan santapan untuk buka puasa.
"Untuk menghindari gula itu kita tidak memakai semanis mungkin, hanya sekadar ada rasa manis dan tidak setiap hari. Kita buat bisa diseling dengan buah saja atau ada kolak dengan buah," kata Sisca.
Advertisement
Seimbang
Sementara, Chef Desi menyebut bahwa kebutuhan untuk makanan manis sesudah berpuasa cukup tinggi karena kadar gula dalam tubuh rendah saat puasa. "Mesti dinaikkan (kadar gula) supaya tidak lemas, tapi kata manis gula itu kan tidak berarti gula pasir," ungkapnya.
Chef Desi menambahkan, "Manis tidak berarti gula, bisa ada di buah-buahan, itu bisa jadi pilihan karena saat ini diabetes bukan hanya pada anak tapi orang tua juga sangat tinggi. Jadi mungkin disarankan memilih manis natural atau gula natural yang dikonsumsi sesudah buka puasa."
Ia percaya untuk terus menerapkan pola hidup sehat memerlukan proses. "Karena kenapa orang makan manis sudah terpola dari dulu gaya hidup makan manis, rantai ini kalai tidak diputus akan tetap seperti itu," lanjutnya.
"Kita memulai memutus rantai itu dengan memilih makan yang sehat mulai dari rumah, memilih gula yang sehat daripada gula pasir mending gula aren. Itu yang bisa dipertimbangkan," tambah Chef Desi.
Kemudian Soegianto menimpali, "Ketika orang memilih memasak mereka mengontrol, sebenarnya itu kenapa kita pakai kata pilih karena pilih itu kata yang kuat ada kemauan, banyak orang aku terpaksa masak dengan apa adanya."
Konsumsi Gula Berlebih
Dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan konsumsi gula berlebih, baik dari makanan atau minuman berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan seperti gula darah tinggi, obesitas, dan diabetes melitus. Dalam kurun waktu lima tahun saja, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia.
Berdasarkan data pada 2013 menunjukkan prevalensi diabetes sebesar 1,5 permil meningkat pada 2018 menjadi 2 permil. Demikian juga gagal ginjal kronis dari 2 permil menjadi 3,8 permil, sementara stroke meningkat dari 7 permil menjadi 10,9 permil.
''Tentunya ini akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan di Indonesia. Terlebih lima penyebab kematian terbanyak di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular,'' jelas dr. Maxi.
Data kemenkes juga menunjukkan bahwa 28,7 persen masyarakat indonesia mengonsumsi Gula Garam Lemak (GGL) melebih batas yang dianjurkan. Batasan konsumsi GGL sudah diatur dalam Permenkes No 30/2013 yang diperbaharui dengan Permenkes 63/2015.
Sementara sebanyak 61,27 persen penduduk usia 3 tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari 1 kali per hari, dan 30,22 persen orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1--6 kali per minggu. Sementara hanya 8,51 persen orang mengonsumsi minuman manis kurang dari 3 kali per bulan (Riskesdas, 2018).
Patut menjadi perhatian, lanjut dr Maxi adalah peningkatan prevalensi berat badan berlebih dan obesitas pada anak muda yang meningkat 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Data pada 2015 menunjukkan prevalensi berat badan berlebih pada anak-anak usia 5-19 tahun dari 8,6 persen pada 2006 menjadi 15,4 persen pada 2016. Sementara prevalensi obesitas pada anak-anak usia 5--19 tahun dari 2,8 persen pada 2006 menjadi 6,1 persen pada 2016.
Advertisement