Sukses

Survei: 64 Persen Ibu Tak Edukasi soal Menstruasi pada Anak Perempuan Mereka

Masih banyak tantangan dalam edukasi kesehatan dan kebersihan menstruasi mengingat 1 dari 7 anak perempuan tak masuk sekolah saat mereka menstruasi.

Liputan6.com, Jakarta - Topik soal menstruasi tak bisa lagi dianggap tabu. Pasalnya, ketidaktahuan dan stigma soal menstruasi membuat anak perempuan kerap jadi korban. Studi UNICEF dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menyebut satu dari tujuh anak perempuan tidak masuk sekolah ketika mereka menstruasi.

Muhammad Zainal, WASH Specialist UNICEF Indonesia, juga menyebut bahwa sekitar 64 persen ibu-ibu di Indonesia tidak mengedukasi anak perempuan mereka seputar menstruasi. Edukasi soal menstruasi juga minim diberikan di sekolah. Akibatnya, banyak anak perempuan yang kaget saat mengalami menstruasi pertama.

"Kalau pun ada ibu yang membahas menstruasi, informasi yang diberikan tercampur dengan mitos, seperti saat menstruasi tidak boleh keramas atau tidak boleh makan daging dan telur. Padahal, mereka sangat membutuhkan daging untuk menambah zat besi agar tidak anemia karena menstruasi," tutur Zainal di sela peluncuran film pendek Ana and The Red Wings di Sarinah, Jakarta, Jumat, 10 Maret 2023.

Menurut dia, mitos yang ditanamkan para ibu itu lantaran mereka mendapatkan pengetahuan tersebut dari ibu-ibu mereka. Karena itu, pihaknya meluncurkan aplikasi OKI yang bisa diakses para anak perempuan yang memerlukan pengetahuan soal menstruasi secara akurat dan ilmiah.

"OKI ini dibuat dengan melibatkan 400 remaja dan diperuntukkan untuk remaja putri. Fungsinya adalah untuk men-track kapan period selanjutnya. Dengan mengetahui kapan mereka menstruasi, akan lebih well prepared," ia menuturkan.

Aplikasi tersebut juga memiliki fitur ensiklopedia yang berisi informasi soal menstruasi remaja. Mereka juga bisa mengetahui soal pubertas, gizi, kesehatan, hingga akibat pernikahan dini. Yang lebih penting lagi, aplikasi tersebut tidak harus terhubung dengan koneksi internet sehingga memudahkan remaja putri yang tinggal di pelosok untuk menggunakannya.

"Aplikasi itu cara paling mudah menjangkau remaja putri untuk belajar tentang menstruasi. Saat ini sudah menjangkau sekitar 20 lebih provinsi," kata Zainal seraya menyebut edukasi tentang mentruasi diberikan pada anak dari usia 10--19 tahun.

2 dari 4 halaman

Minimnya Toilet Ramah Remaja Putri

Tak kalah penting dari edukasi soal menstruasi adalah penyediaan sarana pendukung. Ekayani Go, Head of Marketing Feminine and Family Care Kimberly-Clark Softex, menyebut 52 persen toilet di sekolah, khususnya untuk menstruasi, kurang layak, menurut survei Kemendikbud Ristek. 

Hal itu, sambung Zainal, menyebabkan 42 persen siswi tidak pernah mengganti pembalut di sekolah. Kondisi toilet yang tidak dipisah antara lelaki dan perempuan, tidak memiliki air, kondisi pintu yang tidak bisa terkunci, hingga penerangan yang tidak cukup, menjadi sederet alasan anak-anak perempuan itu enggan mengganti pembalutnya.

"Idealnya kan perempuan yang sedang menstruasi itu mengganti pembalut sekali dalam empat jam. Kalau sarana air tidak tersedia, bagaimana mereka mau ganti pembalut? Padahal, kalau tidak ganti pembalut sampai pulang sekolah kan bisa menyebabkan iritasi, dan dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker serviks," tutur Zainal.

Karena itu, UNICEF mendukung program toilet ramah untuk remaja putri. Standarnya di antaranya adalah kamar mandi itu menyediakan privasi dengan bisa dikunci dari dalam, tersedia air, sabun, dan cermin. Terdapat pula tempat sampah tertutup.

"Salah satu yang menjadi hambatan atau tantangan yang dihadapi remaja putri adalah karena mereka malu buang pembalut bekas... Supaya ramah untuk remaja putri, pengelolaannya perlu tersedia tempat sampah tertutup, supaya ada rasa nyaman saat ganti pembalut. Pembalut tidak usah dicuci. Jangankan untuk mencuci pembalut bekas, air untuk minum saja sulit. Jadi, cukup dilipat. Kalau ada pembungkus seperti koran atau kertas bekas, pakai itu," katanya terkait edukasi soal menstruasi kepada anak-anak di Indonesia Timur.

 

 

3 dari 4 halaman

Bantuan Finansial dari Softex untuk Edukasi Menstruasi

Upaya memeratakan akses edukasi dan sarana pendukung kebersihan dan kesehatan menstruasi tak bisa dilakukan satu pihak saja. Untuk itu, Softex bergabung dalam inisiatif tersebut sejak 2019. Lewat program manajemen kesehatan menstruasi (MKM), mereka kembali mendonasikan 1 juta dolar AS atau Rp15 miliar untuk kelanjutan program hingga 2024.

"Kita ingin bantu konsumen di Indonesia Timur dapat edukasi dan fasilitas kebersihan dan kesehatan menstruasi agar mereka bisa kejar cita-citanya," kata Eka.

Mereka menargetkan bisa menjangkau 10 ribu anak perempuan di Indonesia Timur teredukasi soal menstruasi serta membantu 80 riu orang, terutama remaja putri di Indonesia Timur, seperti NTT dan Papua, untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dan higienis.

"Seperti kita ketahui 1 dari 7 perempuan, remaja putri, tidak masuk sekolah waktu menstruasi, yang berdampak sangat jelek pada perkembangan pendidikan, banyak ketinggalan kelas, dan putus sekolah. Itu tidak boleh terjadi lagi pada remaja putri kita," ia menyambung.

Pihaknya juga membangkitkan kesadaran publik tentang pentingnya manajemen kesehatan menstruasi dengan meluncurkan film pendek berjudul Ana and The Red Wings yang melibatkan talent dari Sumba, NTT. Red Wings alias sayap merah merupakan simbol pertumbuhan kedewasaan seorang anak perempuan.

"Ceritanya terinspirasi dari remaja Indonesia Timur. Saat hadapi menstruasi pertama dengan hambatan mereka tidak sekolah. Kami berharap dengan video ini, jadi aspirasi buat remaja putri di Indonesia agar mereka siap dan percaya diri," ujarnya. Eka menyebut sejak diunggah pada 8 Maret 2023 di Hari Perempuan Internasional, video tersebut sudah ditonton sekitar 1,5 juta kali.

 

4 dari 4 halaman

Butuh Dukungan Para Lelaki untuk Memahami

Zainal menambahkan bahwa edukasi tentang menstruasi tidak cukup hanya diberikan kepada para remaja putri, tetapi juga kepada guru, orangtua, dan para lelaki. Menurut dia, dukungan dari para lelaki akan membuat remaja putri nyaman saat mendapat menstruasi.

Di sisi lain, stigma tentang menstruasi masih melekat di sebagian masyarakat. Ia mencontohkan kasus saat remaja putri ingin membeli pembalut, tetapi tak jadi karena malu digoda penjual yang notabene lelaki.

"Terkadang mereka (penjual) mem-bully dengan bilang beli roti. Ini salah satu indikasi bukan sekadar informasi yang kurang, tapi stigma di masyarakat masih tabu untuk bicarakan itu, bahkan anak sering tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial," ujarnya.

"Ada jargon penting, perempuan yang mengalami, laki-laki memahami," imbuhnya.

Menstruasi menjadi salah satu indikasi untuk mengecek kondisi kesehatan reproduksi secara mandiri. Dikutip dari kanal Health Liputan6.com, dokter spesialis kebidanan dan kandungan RS EMC Sentul, Ruswantriani mengungkapkan bahwa salah satu cara yang paling mudah untuk memeriksakan kesehatan reproduksi secara mandiri adalah dengan memerhatikan lebih dulu siklus menstruasi setiap bulannya.

"Mulailah biasakan dulu mencatat waktu menstruasi kita. Biasakan mencatat kapan hari pertama kita menstruasi. Dari sana, mulai ketahuan kalau memang kita siklusnya enggak teratur. Artinya, enggak setiap bulan atau malah terlalu sering," ujar Tria dalam acara Healthy Monday bersama Liputan6.com dan EMC Healthcare ditulis Jumat, 23 Desember 2022.