Liputan6.com, Jakarta - Seperti wilayah lain di dunia, Indonesia juga punya kebiasaan tertentu dalam menyambut Ramadan. Di antara rentetannya, terdapat tradisi makan bersama yang punya nama berbeda di berbagai daerah di Tanah Air.
Sejarawan, Wijaya, menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, makan bersama merupakan tradisi yang telah berlangsung dalam konteks sederhana, yakni sebagai ruang untuk menyampaikan pesan dan menjalin keakraban. Di Indonesia, ia berkata mengutip arkeolog Brian Hayden, makan bersama sudah terjadi sebelum budaya mengolah tanah.
"Hampir di semua wilayah ada tradisi makan bersama," ia menyebut melalui pesan pada Liputan6.com, Rabu, 15 Maret 2023. "Misalnya, bancakan dan kokobok di Banten, ngeliwet di Jawa, patita di Maluku, bajamba di Sumatra Barat, dan megibung di Bali."
Advertisement
Ia menyambung, "Semua aktivitas tersebut dilatarbelakangi faktor relasi keagamaan, serta terdapat elemen sosial budaya atau dimensi sosio antropologis budaya."
Narasi ini disepakai Daisy Yasmine, sosiolog Universitas Indonesia. Melalui pesan, Jumat, 17 Maret 2023, ia menjelaskan, "Makan bersama biasanya dilakukan sebagai simbol kebersamaan, berbagi, dan pengucapan syukur dalam momen-momen penting dalam siklus kehidupan."
"Makan bersama juga jadi ruang untuk berkomunikasi dan menjalin relasi antar anggota kelompok," ia menyambung. "Tradisi ini terus dilestarikan sehingga tidak sekadar jadi bagian dari adat istiadat, tapi telah jadi bagian dari kehidupan modern masyarakat Indonesia dalam bentuk, makna, dan istilah yang berbeda-beda."
Daisy mencontohkan arisan yang juga biasanya diikuti makan bersama. "Demikian pula rapat di Indonesia yang biasanya disertai makan bersama, baik makan berat atau hanya camilan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga mengenal istilah 'makan-makan' untuk merayakan berbagai peristiwa pengucapan syukur dan kebersamaan," tuturnya.
Faktor-Faktor Pelanggeng Tradisi Makan Bersama di Indonesia
Terkait faktor-faktor yang melanggengkan tradisi makan bersama sampai sekarang, menurut Daisy, pertama, faktor struktural. "Tradisi makan bersama dapat langgeng karena terus direproduksi sebagai bagian dari hukum adat istiadat yang masih berlaku," ia mengatakan.
"Makan bersama juga direproduksi dalam berbagai dimensi ruang kehidupan. Misalnya dalam keluarga, dalam kehidupan pekerjaan, dan kehidupan sosial lain," imbuhnya.
Kedua, faktor kultural. Nilai-nilai dalam makan bersama, seperti kebersamaan, berbagi, dan pengucapan syukur, kata Daisy, sudah terinternalisasi dalam kehidupan kebanyakan masyarakat Indonesia yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
"(Lalu), faktor prosesual. Tradisi makan bersama dapat beradaptasi dengan berbagai ruang kehidupan dan mengikuti perkembangan zaman, sehingga dapat terus hidup," ucapnya.
Menambahkan, Wijaya berpendapat bahwa faktor relasi keagamaan, sistem komunal masyarakat, dan sistem komunikasi politik dalam setiap tingkatan juga mempengaruhi langgengnya tradisi makan bersama. "Jadi, komunikasi dan penyampaikan pesan dilaksanakan dalam suasana santai dan penuh kegembiraan," katanya.
Makan bersama dalam penyebutan umum, menurutnya, juga berkembang sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan sistem sosial, ekonomi, keagaman, dan budaya, mulai dari perubahan jenis masakan, cara dan tempat penyajian, hingga waktu makan bersama.
Advertisement
Makna Positif dan Negatif Tradisi Makan Bersama
Tradisi makan bersama, Daisy menyebut, pada dasarnya memiliki makna positif, yaitu sebagai simbol kebersamaan, berbagi, pengucapan syukur, sarana komunikasi, dan memperkuat relasi antar anggota komunitas. "Namun demikian, perlu dicermati juga beberapa konsekuensi (dari tradisi makan bersama) yang bisa berdampak negatif," ia menambahkan.
"Misalnya, menghamburkan uang jika (makan bersama) dilakukan dengan biaya yang besar, jadi simbol status yang dapat menciptakan kesenjangan, atau sarana gratifikasi yang berlebihan," ujarnya.
Secara general, sebut Wijaya, praktik tradisi makan bersama di setiap daerah di Indonesia berbeda, meski sama secara subtansi: menghabiskan sajian makanan dan membangun keakraban, serta proses komunikasi tentang ungkapan rasa syukur, kegembiraan, atau ajakan.
"Misalnya, botram di Sunda terlaksana untuk membangun keakraban baik terikat hubungan tetangga, teman, nasab keluarga, atau jemaah pengajian menjelang Ramadan," ia mencontohkan. "Perbedaan lain terlihat dari proses penyajian, alat dan tempat makan, serta proses makan bersama itu sendiri."
Arah Perkembangan Tradisi Makan Bersama di Indonesia
Akhirnya, bagaimana seharusnya arah perkembangan tradisi makan bersama di Indonesia agar terus langgeng? Wijaya berkata, makan bersama merupakan tradisi membangun relasi keagamaan, relasi sosial, relasi politik, dan relasi ekonomi yang akan terus berlangsung selama kepentingan manusia sebagai makhluk beragama dan sosial itu ada.
"Upaya sederhana untuk menjaga tradisi positif makan bersama (adalah) dengan pembiasaan di tingkat keluarga, masyarakat, dan komunitas dengan adaptasi terhadap perubahan zaman," ucapnya. "(Baik terkait) tempat pelaksanaan, menu maupun sajian makanan, kegiatan makan bersama, dan pesan-pesan yang ingin disampaikan pada momen tersebut."
Makan bersama, menurutnya, bukan sekadar memenuhi kebutuhan asupan makan untuk tubuh, tapi jadi salah satu aktivitas yang membangun semangat gotong royong, kepedulian, dan saling berbagi atas nikmat yang diperoleh.
Sementara Daisy berpendapat, sesuai makna positif dari tradisi makan bersama itu sendiri, perkembangan kebiasaan ini seharusnya lebih menonjolkan kebersaman, nilai berbagi, dan mempererat ikatan sosial.
Advertisement