Sukses

Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono yang Legendaris

Puisi Sapardi Djoko Damono telah menggaung dan legendaris sejak dulu hingga sang penyair telah tiada.

Liputan6.com, Jakarta - Penyair ternama Tanah Air, Sapardi Djoko Damono memang telah tiada. Meski begitu, sosoknya yang menginspirasi dan puisi akan terus hidup di hati para kerabat dan pecinta setia puisi Sapardi Djoko Damono.

Sosok sang penyair pun menghiasi Google Doodle hari ini, Senin (20/3/2023). Raksasa mesin pencarian tersebut menghormati Sapardi Djoko Damono bertepatan di hari lahirnya.

"Doodle hari ini memperingati hari lahir Sapardi Djoko Damono, penyair yang secara luas dianggap sebagai pelopor puisi liris di Indonesia," demikian bunyi keterangan tersebut.

Dikutip dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Senin (20/3/2023), Sapardi Djoko Damono lahir pada 20 Maret 1940. Ia adalah anak pertama pasangan Sadyoko dan Saparian, di Solo, Jawa Tengah.

Ia menempuh studi SR (sekolah rakyat) Kraton "Kasatriyan", Baluwarti, Solo, lalu dilanjutkan ke SMP Negeri II Solo. Usai menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas, Sapardi kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Sastra Inggris.

Ia pernah memperdalam pengetahuan tentang humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat pada 1970--1971. Pada 1989, Sapardi Djoko Damono memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi yang berjudul "Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur". Tahun 1995 ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (FSUI-sekarang Fakultas Ilmu Budaya) dan menjadi Dekan FSUI pada 1995-1999.

Sapardi mengumpulkan sajaknya dalam buku yang berjudul Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003). Dalam tahun 2001 terbit kumpulan cerpennya berjudul Pengarang Telah Mati. Pada 2009 terbit kumpulan sajaknya yang berjudul Kolam.

 

 
2 dari 4 halaman

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

 

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.

Kita abadi.

 

Sajak Kecil tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut

Mencintai air harus menjadi ricik

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintai-Mu harus menjelma aku

3 dari 4 halaman

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

 

Hanya

Hanya suara burung yang kau dengar

dan tak pernah kaulihat burung itu

tapi tahu burung itu ada di sana

Hanya desir angin yang kaurasa

dan tak pernah kaulihat angin itu

tapi percaya angin itu di sekitarmu

Hanya doaku yang bergetar malam ini

dan tak pernah kau lihat siapa aku

tapi yakin aku ada dalam dirimu

 

Menjenguk Wajah di Kolam

Jangan kau ulang lagi

menjenguk wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi itu.

Jangan sekali-kali membayangkan wajahmu sebagai rembulan.

Ingat, jangan sekali-kali. Jangan.

Baik, Tuan.

4 dari 4 halaman

Akulah Si Telaga

akulah si telaga:berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil

yang menggerakkan bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

perahumu biar aku yang menjaganya.

 

Tentang Matahari

Matahari yang ada di atas kepalamu ituAdalah balon gas yang terlepas dari tanganmu

waktu kau kecil, adalah bola lampu

yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat

yang teratur kauterima dari sebuah Alamat,

adalah jam weker yang berdering

saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan

yang dituding anak kecil itu sambil berkata:

"Ini matahari! Ini matahari!"

Matahari itu? Ia memang di atas sana

supaya selamanya kau menghela

bayang-bayangmu itu.

 

Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,

biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang,

yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi

sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.