Liputan6.com, Jakarta - Nama lengkapnya Raden Ayu Lasminingrat. Profilnya diangkat menjadi gambar Google Doodle pada hari ini, Rabu (29/3/2023), untuk merayakan ulang tahun Lasminingrat ke-169. Ia digambarkan lengkap dengan sanggul dan kebaya.Â
Mengingat hari ini diperingati sebagai ulang tahunnya ke-169, ia semestinya lahir pada 1854. Namun, dalam jurnal PERAN RADEN AYU LASMININGRAT DALAM MENGEMBANGKAN SEKOLAH KEUTAMAAN ISTRI TAHUN 1907-1948 yang dipublikasikan di Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya menyebut istri kedua Bupati Garut RAA Wiratanudatar VII itu lahir pada 1843 di Garut.
Baca Juga
Mengutip jurnal Gerakan Emansipasi Perempuan dalam Bidang Pendidikan di Jawa Barat Pada Awal Abad Kedua Puluh yang diterbitkan di Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, Vol. 5 No.1 Tahun 2022, sosok Lasminingrat tidak bisa dilepaskan dari Dewi Sartika. Ia adalah rekan seperjuangan Dewi Sartika dalam mewujudkan akses pendidikan untuk para perempuan Sunda yang saat itu dianggap warga negara kelas dua.
Advertisement
Ia berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya adalah Raden Moehammad Moesa, seorang hofdpanghulu di Limbangan, Garut, yang sangat dihormati masyarakat. Ia juga dikenal sebagai sahabat karib K.F. Holle, seorang pengusaha kebun teh Belanda yang juga tokoh berpengaruh dalam sejarah sastra Sunda, serta Levyssohn Norman, seorang pejabat Belanda di Sumedang.
Persahabatan sang ayah dengan pengusaha Belanda mempengaruhi pola pikir keluarganya akan modernitas, termasuk Lasminingrat. Kedekatan ayahnya dengan orang Belanda membuat Lasminingrat juga bisa diterima di lingkungan orang-orang Belanda. Ia bahkan belajar membaca, menulis, dan pengetahuan umum lain, termasuk Bahasa Belanda, di rumah Levyssohn Norman.
Karier Lasminingrat Sebagai Penulis Sastra Sunda
Lasminingrat menunjukkan kemampuan menulis. Keterampilannya sangat langka karena akses pendidikan untuk anak perempuan saat itu nyaris tak ada, kecuali ia berasal dari keluarga berada. Kiprahnya sebagai pengarang berkembang dengan menerjemahkan sejumlah cerita dari Eropa ke dalam bahasa Sunda.
Karya pertamanya, Tjarita Erman, diterbitkan pertama kali pada 1875 dengan tiras mencapai 6.105 eksemplar. Buku itu ditulis menggunakan aksara Jawa dan latin, cetakan ulang dilakukan pada 1911. Kemudian oleh M.S. Cakrabangsa, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada 1919, cetakan ke-2 dan ke-3 muncul pada 1930.
Setelah sukses dengan buku pertamanya. Raden Ayu Lasminingrat mengeluarkan kumpulan dongeng Warnasari Jilid 1 terbit 1876 dan Jilid 2. Isi pembahasan yang terdapat dalam Carita Erman yang diterjemahkan dalam bahasa melayu Indonesia terdapat 15 pasal atau bab, yakni di antaranya pasal I.Hikajat Erman, II. Lalai dan Lengah Itoe Mendatangkan Tjelaka Besar, III.Kasoesahan Boendanja, VI. Goewa Tempat Pentjoeri, dan V. Djalan Kaloewar dari dalam Goewa. Buku pelajaran yang berjudul Warnasari dan Tjarita Erman dijadikan buku bacaan wajib di Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Advertisement
Mulai Merintis Sekolah Kautamaan Istri di Garut
Namun, karier kepenulisannya berhenti ketika ia menikah dengan Raden Wiratanudatar VIII, Bupati Garut pada masa itu. Ia lalu mencurahkan energinya berjuang melalui dunia pendidikan, khususnya pendidikan bagi kaum perempuan. Pada tahun-tahun awal abad ke-20, ia mendengar Dewi Sartika berusaha membuka sekolah khusus bagi perempuan di Bandung.
Mendengar bahwa Bupati Bandung R.A.A. Martanegara menolak usulan Dewi Sartika, Lasminingrat lalu membujuk suaminya meyakinkan koleganya agar menerima ide pendirian sekolah itu. Lobi itu berhasil. Sekolah khusus perempuan pertama di Jawa Barat akhirnya berdiri pada 1904.
Lasminingrat mendukung perjuangan Dewi Sartika karena ingin para perempuan berilmu tentang rumah tangga untuk mendidik anak-anaknya. Menurut dia, pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia, tapi sampai akhir abad ke-19, hanya sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan.Â
Ia mengikuti jejak Dewi Sartika dengan mendirikan Sekolah Keutamaan Istri di lingkungan pendopo Garut pada 1907. Berbeda dengan Dewi Sartika yang mendapat kesulitan saat proses mendirikan sekolahnya, Lasminingrat tidak mengalami kesulitan yang berarti, kecuali saat berupaya mendapatkan murid.Â
Kurikulum Sekolah Kautamaan Istri yang Didirikan Lasminingrat
Salah satu penyebab kesulitan mendapatkan siswa adalah pengaruh adat lama yang beranggapan bahwa kaum wanita tidak perlu memperoleh pendidikan di sekolah. Karena itu, Lasminingrat pertama-tama mengerahkan anak-anak gadis sanak saudaranya dan anak-anak gadis para pegawai negeri untuk menjadi murid sekolah yang didirikannnya.
Ia juga mengerahkan keluarganya, yaitu Surianingrum (kemenakan), Raden Rajakusumah (cucu), serta Murtiah, seorang guru yang didatangkan dari Bandung, untuk mengajar para murid. Pelajaran di sekolah itu pada dasarnya sama dengan pelajaran yang diberikan di sekolah Raden Dewi Sartika, yaitu menulis, membaca, dan keterampilan perempuan, seperti menjahit, menyulam, merenda, membordel, merajut, membatik, dan kerajinan tangan wanita lainnya.
Lasminingrat lalu ditemani oleh Dokter Meulder menghadap Gubernur Jenderal di Istana Bogor untuk memohon restu pendirian sekolah gadis itu. Usahanya berhasil dan sekolah tersebut disahkan sebagai suatu organisasi yangdisebut Vereeneging Kautamaan Istri Scholeh dengan akte nomor 12 tanggal 12 Februari 1913. Pada dekade kedua abad kedua puluh, jumlah Sekolah Kautamaan Istri terus bertambah di berbagai daerah, baik di wilayah Garut atau wilayah lain seperti Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Purwakarta, dan Rangkasbitung.
Almanak Rakyat yang terbit pada 1919 menuliskan, "Ieu sakola anjeunana diangranan Kaoetamaan Istri, moeridna geus leuwih ti 200. Kelasna aja 5, pangajarana roepa-roepa." (Ini sekolah dinamakan Kautamaan Istri, karena muridnya lebih dari 200. Kelas ada 5 dan pelajarannya bermacam-macam).
Advertisement