Sukses

Hidup Petani Apel Malang di Batu Makin Tak Menentu, Terancam Krisis Iklim akibat Pemanasan Global

Pemanasan global yang mencakup perubahan cuaca secara ekstrem dan peningkatan suhu, mengancam daerah perkebunan apel terbesar di Indonesia. Dikutip dari laporan The Strait Times pada Rabu, 29 Maret 2023, Agus Ridwan membagikan kisahnya sebagai petani apel di Batu, Malang, Jawa Timur, yang kian hari kian sulit.

Liputan6.com, Jakarta - Pemanasan global yang mencakup perubahan cuaca secara ekstrim dan peningkatan suhu, mengancam daerah perkebunan apel terbesar di Indonesia. Dikutip dari laporan The Strait Times pada Rabu, 29 Maret 2023, Agus Ridwan membagikan kisahnya sebagai petani apel malang di Batu, Jawa Timur, yang kian hari kian sulit. 

Meskipun dia tersenyum dengan senang hati karena tandan apelnya terlihat baik-baik saja, Agus tetap khawatir akan cuaca yang buruk dan dampaknya pada panen apelnya. "Mereka terlihat baik-baik saja hari ini. Saya hanya berharap hujan tidak semakin deras, atau lebih buruk lagi, berubah menjadi badai. Itu pasti akan merusak bunga, dan semua kerja keras saya," kata pria berusia 47 tahun itu.

Agus, yang telah menanam apel selama dua dekade di lereng gunung berapi Desa Sumbergondo di Kota Batu, Jawa Timur, mengungkapkan bahwa panen apel di Batu dan daerah tetangganya, Pasuruan dan Malang, telah menurun dalam beberapa tahun terakhir karena krisis iklim yang menyebabkan suhu dan curah hujan yang lebih tinggi. 

Pohon-pohon apel tua yang telah berumur lebih dari 30 tahun, harga apel yang anjlok, dan tanah yang kurang subur semakin memperparah situasi ini. Belum lagi faktor lain seperti deforestasi dan pembangunan perkotaan. 

Kebun apel Agus seluas 0,4 hektare yang dulunya dapat menghasilkan hingga lima ton apel per panen, sekarang hanya menghasilkan 200kg hingga 500kg per panen. Harga jual setiap kilogram apel berkisar antara Rp10.000 dan Rp30.000. 

2 dari 4 halaman

Cuaca Tak Menentu Menjadi Tantangan Utama Menanam Apel

Tidak banyak orang di luar Indonesia yang mengetahui bahwa Jawa Timur merupakan rumah bagi kebun apel terbesar di negara ini. Salah satu varietas apel yang populer dari daerah ini adalah Manalagi, yang meskipun kecil dan berwarna hijau, rasanya manis dan aromatik. Apel ini dijual di pasar sekitar Jawa hingga Jakarta dan bisa diolah menjadi jus, selai, atau keripik apel.

Bukan tanaman asli Asia Tenggara, apel pertama kali ditanam oleh Belanda pada 1930-an dan tersedia secara komersial di Indonesia pada 1960-an. Produksi apel terus berkembang selama dua dekade berikutnya di dataran tinggi subtropis.

Namun, produksi apel di Jawa Timur menurun dalam beberapa tahun terakhir. Di Batu, angka resmi menunjukkan produksi buah turun drastis dari lebih dari 142.000 ton pada tahun 2007 menjadi 23.000 ton pada 2020. Cuaca yang tidak menentu menjadi tantangan utama bagi petani apel di daerah ini.

"Di masa lalu, kita bisa mendapatkan musim sejuk dan kering yang stabil selama beberapa bulan mulai bulan Mei, yang merupakan waktu yang tepat untuk menanam apel. Tapi, cuaca yang tidak menentu sekarang berarti kapan saja bisa terik dan tiba-tiba bisa saja hujan lebat di hari berikutnya," celotehnya sambil menggelengkan kepala.

Banyak petani apel beralih menanam tanaman lain seperti jeruk, wortel, tomat, sayuran, dan bunga untuk menambah penghasilan mereka. Bagi petani yang bergantung pada apel selama beberapa generasi, penurunan produksi ini berdampak ekonomi yang signifikan. "Saya tidak tahu berapa lama lagi saya bisa bertahan," tambah Agus. 

3 dari 4 halaman

Sudah Melebihi Suhu Ideal Untuk Budidaya Apel

Petani apel Wawan Mujiono (39), yang telah menanam apel selama 12 tahun, mengalami tantangan baru dalam menghasilkan panen yang baik. Wawan menjelaskan bahwa cuaca yang semakin panas menjadi ancaman bagi pertanian apel di daerahnya.

"Akhir-akhir ini sangat panas, saya harus memakai topi dan mencari tempat berteduh pada pukul 10 pagi. Saya juga terkena bintik matahari," katanya. "Dulu, kami juga bisa panen dua kali dalam setahun, tapi panen saya gagal dalam empat tahun terakhir."

Pakar perubahan iklim menunjukkan curah hujan yang berkepanjangan dan suhu yang melonjak sebagai ancaman serius bagi pertanian apel. Suhu rata-rata di wilayah tersebut telah meningkat, dari 21 derajat celcius antara 2000 dan 2010, menjadi 22,5 derajat celcius sekarang, melebihi suhu ideal untuk membudidayakan apel yakni 22,2 celcius, kata Profesor Rizaldi Boer, peneliti senior di Pusat Risiko dan Peluang Iklim Manajemen di IPB University di Bogor, Jawa Barat.

Upaya untuk merevitalisasi kebun apel, memperbaiki teknik budidaya, dan menanam lebih banyak varietas apel yang tahan iklim akan berjalan lambat dan tidak memadai, katanya. Ia juga berpendapat bahwa pemerintah perlu mendukung petani apel seperti kepada petani sawit, yang dapat menerima bantuan dana untuk peremajaan pohon sawit dan bibit unggul.

"Tapi skema bantuannya belum ada untuk komoditas hortikultura seperti apel," ujarnya.

4 dari 4 halaman

Tidak Ada Masa Depan Untuk Perkebunan Apel

Petani apel di Batu, Jawa Timur menghadapi tantangan yang semakin berat dalam mengelola kebun mereka. Bantuan benih yang diberikan oleh Pemerintah Kota Batu untuk peremajaan apel ternyata terbatas dan tidak memadai, sehingga petani terpaksa mencari cara lain untuk memperbaiki kondisi kebun mereka.

Beberapa petani telah beralih menggunakan pupuk dan pestisida sintetis untuk meningkatkan kualitas tanah dan mengatasi serangan kutu daun, tungau laba-laba, dan jamur. Namun, penggunaan bahan kimia ini memerlukan biaya yang sangat tinggi dan beberapa petani bahkan harus mengambil pinjaman dari bank.

Para petani dan ahli khawatir pemanasan global yang memburuk pada akhirnya akan memusnahkan kebun di Indonesia. Profesor Budi Haryanto, seorang peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan di Universitas Indonesia, mengatakan, "Jika perubahan iklim tidak segera dikendalikan dan masif, peningkatan suhu, curah hujan, kelembaban dan frekuensi cuaca ekstrem akan semakin merusak lingkungan."

"Bahkan, kerusakan lingkungan akan semakin masif mulai tahun 2050. Jadi, pohon apel yang sensitif terhadap kondisi iklim jelas mengancam masa depan."

Tantangan ini membuat Wawan pesimistis terhadap masa depan profesi ini. Dia bahkan tidak akan mendorong anak-anaknya untuk menjadi petani apel. Ia berujar, "Perubahan iklim telah menghancurkan kita semua. Pekerjaan ini tidak memiliki masa depan, itu berakhir di saya."

 

 

Â