Sukses

Prancis Segera Larang Influencer Promosikan Operasi Plastik di Media Sosial, Diancam Sanksi Penjara 2 Tahun dan Denda Hampir Rp500 Juta

Aturan baru yang melarang influencer mempromosikan operasi plastik di media sosial itu tidak hanya berlaku untuk mereka yang berada di Prancis saja, tetapi juga influencer di luar negeri yang mendapat sponsor dari produk yang dijual di Prancis.

Liputan6.com, Jakarta - Prancis tidak akan lagi menoleransi beragam promosi terkait operasi plastik di media sosial. Pemerintah setempat segera melarang para influencer di Prancis menggunakan platformnya untuk mempromosikan operasi plastik.

Pemerintah Prancis juga akan mewajibkan mereka memberi label untuk setiap unggahan foto yang difilter. Di bawah aturan hukum baru yang masih dibahas, sebuah foto atau video yang difilter atau diretouch harus disampaikan secara terbuka. Tujuannya adalah untuk 'membatasi efek psikologi yang merusak' lewat praktek-praktek tersebut untuk para pengguna media sosial.

Rencana undang-undang baru itu juga memuat sanksi bagi pelanggar. Diusulkan oleh Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire, pelanggar terancam dijatuhi sanksi penjara hingga dua tahun dan denda 30 ribu euro atau hampir Rp500 juta. Yang paling parah, influencer yang terbukti bersama akan dilarang menggunakan media sosial atau melanjutkan karier mereka di platform tersebut.

Mengutip NY Post, Kamis (30/3/2023), Le Maire mengatakan pihaknya menggunakan 'pendekatan tanpa toleransi' terhadap siapa pun yang tidak menghormati aturan tersebut. Isi undang-undang akan dibahas dalam Majelis Nasional Prancis mulai hari ini.

Dalam siaran pers, dia menyatakan Prancis menjadi negara Eropa pertama yang membuat kerangka kerja komprehensif untuk mengatur sektor influencer. Aturan RUU baru itu tidak hanya berlaku bagi semua influencer Prancis, tetapi juga mereka yang tinggal di luar negeri tetapi mendapatkan uang dari mensponsori produk yang dijual di Prancis.

Le Maire pada Senin, 27 Maret 2023, mengatakan kepada Franceinfo bahwa peraturan tersebut bukanlah 'pertarungan' melawan influencer atau cara untuk menstigmatisasi mereka, tetapi merupakan sistem untuk melindungi mereka dan konsumen. "Influencer harus tunduk pada aturan yang sama seperti yang berlaku untuk media tradisional," katanya, dengan mengatakan bahwa internet 'bukan Wild West'.

 

2 dari 4 halaman

RUU Baru Menambah UU yang Mengatur Pelabelan Foto Hasil Manipulasi

Ini bukan pertama kalinya Prancis berupaya meningkatkan transparansi terkait peredaran gambar yang dimanipulasi. Negara itu sebelumnya mengesahkan undang-undang pada 2017 yang mewajibkan setiap foto komersial yang telah di-retouch untuk membuat tubuh model tampak lebih tipis atau lebih tebal untuk diberi label "photographie retouchée" (foto telah di-retouch).

Ide tersebut datang dari mantan menteri kesehatan Prancis Marisol Touraine, yang mengatakan pada saat itu penting untuk menghindari promosi "ide-ide kecantikan yang tidak dapat diakses dan untuk mencegah anoreksia di kalangan anak muda". Pada saat kekhawatiran meluas atas teknologi canggih filter – yang semakin tidak terdeteksi – pengenalan undang-undang semacam itu tampaknya tepat.

Penelitian oleh Dove baru-baru ini menemukan bahwa 50 persen perempuan percaya bahwa mereka tidak terlihat cukup baik tanpa beberapa bentuk pengeditan foto. Namun, para ahli juga telah memperingatkan bahwa sekadar melabeli sesuatu sebagai telah diubah atau difilter tidak serta merta menghentikan keinginan pemirsa untuk mendapatkan tampilan tersebut.

3 dari 4 halaman

Temuan Menarik Soal Respons Publik atas Label Foto Difilter

Sebuah studi yang dilakukan Universitas Warwick menemukan bahwa skema pelabelan 'di-retouch' atau 'dimanipulasi' sebenarnya meningkatkan keinginan kita untuk meniru penampilan mereka.

"Menarik perhatian pada gambar yang diubah secara digital mungkin tidak, seperti yang diharapkan dan diharapkan, mengurangi aspirasi untuk mencapai cita-cita kecantikan kontemporer," kata makalah tersebut.

"Cita-cita kecantikan tidak dapat dengan mudah ditentang oleh intervensi semacam itu. Cita-cita kecantikan dibangun secara budaya dan merupakan pembawa makna dan nilai."

Di sisi lain, aplikasi TikTok sedang disorot setelah Kepala eksekutif TikTok, Shou Zi Chew, menghadiri sidang kongres bersama Komite DPR untuk Energi dan Perdagangan AS yang berlangsung kontroversial pada Kamis, 23 Maret 2022. Sidang tersebut dilaksanakan di tengah gencarnya upaya bipartisan untuk melarang penggunaan TikTok di Amerika Serikat karena alasan keamanan nasional.

Dikutip dari The Guardian pada Jumat, 24 Maret 2023, sidang tersebut merupakan penampilan pertama kepala eksekutif TikTok di depan legislator AS, dan penampilan publik yang jarang dilakukan oleh Chew. Ia telah lama menjadi sosok yang jarang muncul di depan umum meski popularitas TikTok terus meningkat.

4 dari 4 halaman

TikTok Dianggap Merusak Kesehatan Mental

TikTok saat ini memiliki puluhan juta pengguna di AS. Para legislator telah lama mengkhawatirkan dampak platform ini terhadap kesehatan mental, terutama bagi pengguna anak dan remajanya. Anggota kongres dari Partai Republik, Gus Bilirakis, membagikan kisah Chase Nasca, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun yang bunuh diri setahun yang lalu dengan melompat ke rel kereta api.

Orangtua Nasca, yang telah menggugat ByteDance, perusahaan induk TikTok, hadir dalam sidang tersebut dan terlihat emosional ketika Bilirakis menceritakan kisah putra mereka. Ia mengklaim bahwa Chase terpengaruh konten melukai diri sendiri di TikTok. "Mr. Chew, perusahaan Anda menghancurkan kehidupan mereka," ungkap Bilirakis.

Anggota kongres wanita, Nanette Barragán juga bertanya pada Chew mengenai adanya laporan bahwa ia tidak membiarkan anak-anaknya sendiri menggunakan aplikasi tersebut. "Pada usia berapa menurut Anda layak bagi seorang anak muda untuk menggunakan TikTok?" tanyanya.

Chew mengonfirmasi bahwa anak-anaknya tidak menggunakan aplikasi TikTok. Tapi, ia berdalih itu karena di Singapura, tempat mereka tinggal, tidak ada versi TikTok untuk pengguna di bawah usia 13 tahun.