Liputan6.com, Jakarta - Ahli Utama Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Dermawan menyebut, dari tujuh spesies penyu di dunia, enam spesies di antaranya hidup di perairan laut Indonesia. Namun sejauh ini, baru empat spesies yang kerap dilihat secara rutin bertelur di wilayah Tanah Air.
"Dari perjalanan waktu yang cukup panjang, enam spesies dan kita sekarang ada empat spesies yang masih ditemukan, ini menunjukkan populasi penyu di dunia maupun Indonesia, semakin hari semakin menurun," kata Agus dalam peluncuran buku "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo" secara daring, Kamis, 6 April 2023.
Baca Juga
Maka dari itu, pemerintah Indonesia sejak 1980 telah mengeluarkan sebuah keputusan yang fokusnya untuk melindungi penyu. Agus menyebut, ancaman terbesar, yang dilihat dari perspektif global, mengidentifikasi dua alasan terancamnya kehidupan penyu di wilayah Indonesia.
Advertisement
"Pertama sudah pasti faktor manusia, faktor antropogenik yang ini sejak dulu sampai sekarang walau statusnya sudah dilindungi, memang masih menjadi ancaman," katanya.
Agus menambahkan, ancaman secara langsung tidak hanya akibat perburuan, pengambilan telur, maupun induk penyu. "Juga, intervensi manusia di pembangunan-pembangunan di wilayah pesisir yang mengancam habitat peneluran penyu," terangnya.
Selanjutnya adalah faktor alamiah yang juga mengancam habitat-habitat alami penyu. Ia mencontohkan kerusakan habitat peneluran penyu ini dapat disebabkan karena ada abrasi pantai, perubahan iklim yang menjadi fenomena alam saat ini pun jadi satu persoalan besar.
Ancaman Faktor Alamiah
"Akibat perubahan iklim ini yang juga tidak saja pada perusakan habitat, tetapi juga terkait seks rasio karena pengaruh suhu kemudian menyebabkan perubahan iklim semakin panas, sehingga telur-telur penyu yang menetas itu sebagian besar betina, sehingga keseimbangan secara rasio antara pejantan betina ini tidak lagi seimbang sebagaimana proporsi yang kita harapkan," ungkapnya.
Agus menerangkan, "Jadi, kemungkinan besar, yang lahir itu adalah penyu-penyu betina karena suhunya di atas 30 derajat celcius."
Dari aspek alam, dikatakan Agus, juga ada persoalan predator yang masih banyak ditemukan sebagai ancaman. Hewan pemangsa ini mengincar telur maupun anak-anak penyu yang disebut sebagai tukik.
"Kita lihat dengan kondisi yang semakin hari semakin menurun tadi populasinya, maka sikap pemerintah akhirnya memutuskan untuk melindungi seluruh penyu yang kita miliki," katanya.
Karenanya, terbitlah regulasi yang mengatur perlindungan penyu sejak 1999, yakni Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999. "Kemudian Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 mengenai konservasi sumber daya ikan, ini menjadi landasan regulasi kita untuk melindungi keenam spesies yang kita miliki di Indonesia," lanjutnya.
Advertisement
Terancah Punah
Dalam tahun berikutnya, muncul pula Keputusan-Keputusan Menteri, baik di kehutanan pada saat itu, maupun di Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam bentuk Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2015 tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu.
"Di dalam konteks dunia global, kita juga melihat bahwa seluruh jenis penyu ini sudah tidak bisa dimanfaatkan secara langsung, baik dalam bentuk apapun, termasuk produknya. IUCN atau Badan Konservasi Dunia mengategorikan bahwa seluruh penyu masuk pada red list IUHN," terang Agus.
Ia menegaskan, "Baik dalam kepentingan global maupun nasional, sudah sama-sama sepakat memang penyu sudah terancam punah dan perlu dilestarikan."
Sementara, upaya konservasi penyu terus digalakkan berbagai pihak. Langkah ini juga dilakukan di pesisir Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang didokumentasikan Yayasan WWF Indonesia. Kisah suka duka dan perjuangan ini terangkum dalam buku bertajuk "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo."
Peluncuran Buku
CEO Yayasan WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, mengungkap bahwa lahirnya buku ini adalah upaya konservasi penyu di Kecamatan Paloh yang berjalan sejak 2009 hingga kini. Paloh tercatat memiliki salah satu hamparan pantai sepanjang 63 kilometer.
"Hamparan pantai peneluran penyu yang terpanjang di Indonesia. Setiap tahunnya dari data yang dikumpulkan, kurang lebih 3.700 penyu mendarat di wilayah ini dan separuhnya bertelur," kata Dito, begitu ia akrab disapa, dalam peluncuran buku "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo" secara daring pada Kamis, 6 April 2023.
Dito menyampaikan, sebagian besar penyu yang mendarat di pesisir Paloh adalah penyu hijau. Hal tersebut dikatakannya sangat penting karena penyu hijau termasuk hewan yang dilindungi.
"Dalam buku ini, kami berharap pembaca mendapatkan informasi tentang suka duka, kebahagiaan, dan pencapaian aktivitas konservasi di Paloh yang melewati berbagai tantangan, tapi secara bersama-sama sudah menunjukkan hasil-hasilnya," lanjutnya.
Salah satu pencapaian upaya ini adalah pada 2020 lalu, saat Paloh ditetapkan sebagai kawasan konservasi melalui Kepmen KP No. 93 Tahun 2020. Tak hanya itu, pada masa awal upaya konservasi, yakni di 2009, hampir 100 persen telur penyu hilang.
"Namun menurut catatan, sekarang ini yang terambil hanya 5,4 persen saja," kata Dito.
Sementara, buku "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo" diterbitkan Yayasan WWF Indonesia. Buku ini ditulis empat orang, yakni Abroorza Ahmad Yusra, Agri Aditya Fisesa, Andi Fachrizal, dan Hendro Susanto.
Advertisement