Liputan6.com, Jakarta - Setelah mengalami kemacetan yang parah selama uji coba, beton penutup di Simpang Santa, yang terletak di daerah Jakarta Selatan, akhirnya dibuka. Dilansir dari News Liputan6.com, Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Latif Usman mengatakan bahwa pihaknya masih berusaha mencari solusi untuk mengatasi kemacetan di wilayah tersebut.
"Nah kami berupaya ada beberapa celah yang bisa kita manfaatkan dengan beberapa pengaturan, walaupun memang setelah dilakukan uji coba ada beberapa kendala," ujar Latif Usman saat ditemui di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Selasa (18/4/2023).
Dinas Perhubungan DKI Jakarta telah membuka kembali pagar beton di Simpang Santa, Jakarta Selatan setelah evaluasi uji coba rekayasa lalu lintas dilakukan. Awalnya, rekayasa lalu lintas yang dilakukan dengan membongkar jalur sepeda dan pejalan kaki menjadi jalan raya bertujuan mengurangi kemacetan di kawasan perempatan Santa (Jalan Wolter Monginsidi, Jalan Suryo, dan Jalan Wijaya).
Advertisement
Salah satu bahan evaluasi dari kejadian tersebut adalah banyaknya kritik yang masuk dari masyarakat, terutama komunitas dan aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak pejalan kaki dan pesepeda di Jakarta, salah satunya Greenpeace Indonesia.
Pada Minggu, 16 April 2023 pukul 7 pagi, Greenpeace bersama komunitas lain yaitu Bike To Work, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, KoPK, Road Safety Association, Forum Diskusi Transportasi Jakarta, dan Institute for Transportation and Development Policy menggelar aksi tabur bunga di Simpang Santa.
"Ini bertujuan merespons dihilangkannya trotoar dan jalur sepeda yang konon bertujuan untuk mengurai kemacetan di lokasi tersebut,” ujar Bondan Andriyanu Pengkampanye iklim dan energi Greenpeace kepada Liputan6.com pada Selasa, 18 April 2023.
Khawatirkan Dampak Polusi Udara
Dalam foto aksi tabur bunga yang diunggah di laman Instagram Greenpeace Indonesia, terlihat bunga pemakaman ditaburkan di atas jalur sepeda yang tinggal setengah karena ditutupi beton, dengan sepeda yang ditidurkan di sebelah taburan bunga dan tulisan di kertas yang berbunyi “Rest in Peace Peradaban Transportasi #ReThinkMobility” dan “#SelamatkanPedestrian #SelamatkanJalurSepeda.”
Hal ini menjadi masalah bagi Greenpeace dan komunitas yang turut serta dalam aksi lantaran kebijakan tersebut membuat Jakarta lebih mundur dari segi keberpihakan pada lingkungan. Dengan mengubah jalur sepeda dan pedestrian menjadi jalan raya untuk mobil dan motor, hal ini diartikan sebagai dukungan untuk masyarakat menggunakan kendaraan pribadi yang berkontribusi pada meningkatnya emisi gas rumah kaca.
"Beban emisi DKI Jakarta dari transportasi mencapai 19.165 ton/hari, yang bersumber dari sepeda motor (45%), truk (20%), bus (13%), mobil diesel (6%), mobil bensin (16 %), dan kendaraan roda tiga (0,23%), sementara beban CO2 mencapai 318.840 ton/hari yang bersumber dari truk (43%), bus (32%), sepeda motor (18%), mobil bensin (4%), mobil diesel (3%), dan tiga -roda (0,01%)," demikian disampaikan oleh Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB dalam rilis yang dibagikan.
"Untuk itu, DKI Jakarta harus melakukan langkah progresif untuk melindungi warganya dari pencemaran udara yang sengat tidak sehat, sekaligus berkontribusi untuk pengendalian emisi GRK guna memitigasi krisis iklim," Safrudin menambahkan.
Advertisement
Tidak Menaati Aturan dan Misi Jakarta
Kebijakan Pjs Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono yang menghapus lajur sepeda dan fasilitas pejalan kaki di perempatan Santa disebut melanggar UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, di antaranya yang menyebutkan bahwa pesepeda dan pejalan kaki berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain demi kelancaran dalam berlalu lintas.
"Penghilangan lajur sepeda dan fasilitas pejalan kaki di Jalan Santa ini bertentangan dengan amanat putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Warga Negara atas pencemaran udara Jakarta. Seharusnya fasilitas NMT ini diperluas dalam rangka merealisasikan peningkatan kualitas udara sebagai mana amanat putusan PN Jakarta Pusat," pesan tegas dari Bondan Andrianu, Greenpeace.
Selain itu, kebijakan ini juga seakan meruntuhkan dedikasi Jakarta selama dua dekade untuk mengurangi gas emisi dengan membangun fasilitas angkutan umum masal (BRT Trans Jakarta dengan jaringan Jak Lingko) dipadu dengan kebijakan Non Motorized Transport (NMT), yaitu fasilitas pejalan kaki dan lajur sepeda.
"Nah sejatinya membongkar trotoar dan lajur sepeda sungguh bertolak belakang dengan janji-janji DKI Jakarta yang akan menjadikan Jakarta ramah pejalan kaki dan pesepeda. Bahkan, pembangunan lajur sepeda adalah upaya mengurangi polusi yang dilakukan DKI Jakarta jadi bukan malah ditambah kok malah dikurangi, dihilangkan, lajurnya," ujar Bondan.
Rekayasa Lalu Lintas Justru Menambah Kemacetan
Upaya rekayasa lalu lintas yang dilakukan di lokasi Simpang Santa dengan membongkar trotoar dan lajur sepeda justru sempat menyebabkan kemacetan parah yang terjadi dari hari Senin pagi hingga sore harinya, bahkan sampai ke jalan di pemukiman warga. “Hal ini membuat pada hari Selasanya justru rekayasa yang dilakukan dikembalikan seperti sedia kala dan akhirnya hari ini kemacetan tidak kembali lagi terjadi,” jelas Bondan.
Menurutnya, pembongkaran trotoar dan lajur sepeda tidak ada signifikansinya dalam upaya rekayasa lalu lintas mengurai kemacetan seperti yang diharapkan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merespons cepat aksi tabur bunga Greenpeace yang kemudian viral di media sosial dan mendapat banyak dukungan warganet.
Bondan berkata, "Malam itu juga setelah kami aksi, langsung dibuat rekayasa lainnya dengan membuka beton pembatas yang menutupi pejalan kaki yang hendak menyebrang. Malam itu juga dibuat zebra cross dan pelican crossing agar memudahkan pejalan kaki yang hendak menyebrang."
Namun, perubahan kebijakan yang serba diambil secepat kilat ini tentunya mengambil banyak anggaran. "Jadi ada pemborosan anggran yang perlu kita lihat terjadi di sini. Angkanya berapa perlu ditanya ke DKI Jakarta mungkin ya. Untuk bangun trotoar itu berapa, dan untuk upaya pembongkaran berapa," kata Bondan.
Kejadian ini memperlihatkan bahwa pengambilan kebijakan tidak memiliki data yang kuat sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu, sebelum mengambil langkah, Bondan berpendapat perlu adanya data yang akurat dan valid agar kebijakan yang diambil dapat efektif dan tidak membuat pemborosan anggaran.
Advertisement