Sukses

6 Fakta Menarik Masjid Hidayatullah Karet Semanggi, Cermin Peradaban Jakarta yang Multietnik

Salah satu masjid bersejarah yang kuno di Jakarta adalah Masjid Hidayatullah yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Masjid ini bisa bercerita banyak tentang sejarah Jakarta di masa lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu masjid bersejarah yang kuno di Jakarta adalah Masjid Hidayatullah yang terletak di Kawasan Kuningan, Karet Semanggi, Kecamatan Setiabudi, Kota Jakarta Selatan. Masjid ini telah berdiri sejak tahun 1747 dan memiliki desain yang unik dengan menggabungkan pengaruh dari tiga budaya yaitu Hindu, Tionghoa, dan Betawi.

Dalam acara Wisata Religi bersama Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta, Minggu, 16 April 2023, Muhammad Tohir, ketua pengurus Masjid Hidayatullah, menceritakan sejarah masjid tersebut. Berikut enam fakta menarik Masjid Hidayatullah yang dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber.

1. Melambangkan Peran Multietnik

Masjid Hidayatullah bisa bercerita banyak tentang sejarah Jakarta masa lalu. Seperti terbentuknya negara Singapura, sifat multi etnik masyarakat yang tinggal di Betawi yang sekarang disebut Jakarta, tidak ada bedanya. Kalau negara Singapura berpenduduk ras  China, Arab, India, dan Melayu, hal itu tercermin dari kehidupan sosial mereka.

Namun Jakarta  sebagai pelabuhan besar masa lalu yang dihuni oleh suku Betawi, Jawa, India, China, dan Arab, bukan hanya menciptakan kehidupan yang plural namun juga diwujudkan dalam bangunan, khususnya masjid. Kehidupan multietnik di Jakarta, sebenarnya sudah ada sebelum Abad ke-17. Pada tahun 1747, kehidupan itu diaktualisasikan dalam arsitektur masjid Hidayatullah.

2. Arsitektur Bangunan Kolaboratif

Mengamati keseluruhan bangunan masjid, yang dominan adalah bentuk atapnya. “Bangunan Masjid Hidayatullah menggabungkan tiga budaya, yaitu Betawi, Hindu, dan Tionghoa,” jelas Tohir pada acara Wisata Religi, Minggu, 16 April 2023.

Alih-alih mengikuti kubah mesjid konvensional, atapnya malah seperti atap bangunan arsitektur China, atap perisai yang bertingkat seperti Kelenteng. Sedangkan kusen pintu dan jendelanya dibuat dari kayu meniru bangunan rumah Betawi.

Menengok interior bangunan, sangat dipengaruhi plafon gaya bangunan Joglo dari Jawa. Kaso-kaso diekspos seperti jari-jari payung, dengan tiang penyangga seperti pada struktur Soko Guru. Pada tiang-tiang itu diukirkan dekorasi kaligrafi Arab. Sedang ciri-ciri ornamen China muncul lagi berupa bunga yang diukir di mimbar masjid.

 

2 dari 4 halaman

3. Unsur Bangunan Bermakna

Yang mengherankan adalah munculnya arsitektur India atau Hindu, yang digambarkan dengan menara kembar dari masjid Hidayatullah. Ini dapat memancing pertanyaan lebih jauh adanya makna tertentu dari setiap komponen bangunan yang ada. “Menara kembar atau dua menara yang ada pada masjid menyampaikan pesan dua kalimat syahadat,” ucap Tohir. 

Sementara tiga atap yang bersusun tiga mempunyai arti wirtun yakni tidak ada yang sempurna dalam hidup ini kecuali Allah SWT, atau melambangkan bahwa Allah itu Maha Esa dan tidak terbilang. Sedangkan mimbar khotbah yang memiliki empat anak tangga menandakan perlunya kerukunan bagi para khulafaur rasyidin atau sahabat-sahabat nabi.

Tidak berhenti di situ saja, tiang penyangga mesjid yang berjumlah delapan juga memiliki pesan tertentu. Angka delapan dari jumlah tiang itu terdiri dari lima ditambah tiga. Angka lima sesuai dengan jumlah Rukun Islam yang terdiri dari syahadat, sholat, zakat, puasa, dan naik haji bagi yang mampu. Angka tiga adalah sendi-sendi utama agama Islam yakni Islam, Iman, dan Ikhsan.

3 dari 4 halaman

4. Makam sebagai Ciri Kesakralan

Untuk menambah kesakralan atau kekramatan  dari Masjid Hidayatullah, ada tanaman langka yang tumbuh di pekarangan masjid berupa pohon-pohon langka dan sudah  berusia ratusan tahun, antara lain pohon kurma, pohon malaka, dan pohon nangka. Bahkan sebelumnya di sekitar masjid ada puluhan makam yang merupakan pendiri beserta keluarganya.

Namun di pemakaman tersebut tidak dijumpai makam dari orang yang mewakafkan tanah tersebut. Setelah mewakafkan, orang itu pergi begitu saja seolah tidak mau dikenang dan dikultuskan.

Ia bernama Muhammad Yusuf keturunan campuran Betawi dan Bugis yang berprofesi sebagai “bek” yakni kaki tangan atau pengawal orang Belanda bernama Safir Hand. Tetapi selain itu, ada alasan lain. “Sampai saat ini, makan Muhammad Yusuf tidak tahu ada di mana. Tidak dimakamkan di sini supaya orang-orang tidak banyak datang ke sini untuk berziarah, musyrik,” ucap Tohir.

Saat ini jangan berharap Anda masih menemui banyak makam di sana, karena masjid telah menghibahkan sebagian tanahnya untuk pembangunan jalan alternatif dan pelebaran Kali Krukut oleh Pemerintah DKI Jakarta. Oleh karena itu, tanah wakaf yang sebelumnya 3000 meter persegi itu, kini tinggal 1600 meter persegi. Sementara ratusan makam telah dipindahkan oleh ahli warisnya.

5. Menjadi  Cagar Budaya

Walaupun tidak ada makam lagi di halaman Masjid Hidayatullah, tidak berarti kekeramatannya hilang. Sejarah Masjid Hidayatullah sebagai pusat syiar agama Islam dua abad yang lalu di Betawi atau Jakarta tetap akan meneguhkan eksistensinya, karena bangunan itu telah dimasukkan sebagai Cagar Budaya pada tahun 2001.

Menjadi Cagar Budaya ternyata membawa kesulitan tersendiri  bagi pengelola masjid untuk melakukan renovasi. Renovasi harus terus dilakukan mengingat masjid merupakan bangunan publik yang perlu dijaga keamanan bangunannya.

“Renovasi telah dilakukan lima kali, pada 1921, 1948, 1975, dan terakhir 1989,” ucap Tohir. Renovasi harus tetap mempertahankan keaslian struktur dan bentuk bangunan.  Karena adanya kelapukan dari struktur kayunya, setiap tiga tahun, secara rutin diadakan pengecekan oleh pengurus masjid.

Ruang sholat masjid menjadi prioritas yang harus dicek kekuatan bahannya. Sedang untuk penggantian bahan konstruksi bangunan, pihak masjid harus berkonsultasi dengan Dinas Kebudayaan. Dengan demikian, originalitas dan otentitas bangunan tetap memenuhi kriteria sebagai Cagar budaya.

4 dari 4 halaman

6. Markas Pejuang Muslim Betawi

Dari masa ke masa, fungsi Masjid  Hidayatullah yang sebelumnya sebagai pusat syiar dan dakwah agama Islam di Betawi  pun mengalami perubahan. Pada masa perjuangan kemerdekaan masjid ini digunakan sebagai markas melawan penjajah Belanda. Di masjid inilah strategi perjuangan dirumuskan oleh kaum muslim Betawi.

Ketika terjadi pertempuran Kerawang - Bekasi yang digambarkan dalam puisi oleh Chairil Anwar seorang sastrawan Betawi, dari masjid inilah pasokan senjata dikirim. Kedua menara kembar Masjid Hidayatullah pada waktu itu digunakan sebagai tempat mengintip gerak-gerik lawan. Kini “lawan” dari Masjid Hidayatullah tentu bukan NICA atau Belanda, tetapi bangunan pencakar langit di sekelilingnya.

Semua muslim Betawi dan masyarakat Jakarta mengharapkan bangunan ini setelah menjadi Cagar Budaya tetap akan dipertahankan. Sehingga lokasi Masjid Hidayatullah yang sebelumnya menjadi pesantren, mengembangkan dakwah, memberi pembelajaran agama, dan menyelenggarakan kegiatan sosial, bahkan andil dalam perjuangan, tidak tergusur seperti bangunan tempat Bung Tomo menggembleng Arek-arek Suroboyo.