Sukses

Mengenal Cengkih, Rempah Bahan Dasar Pembuatan Jamu Gendong

Cengkih menjadi salah satu bahan dasar pembuatan jamu gendong. Selain cengkih, ada pula bahan lain yang wajib digunakan peracik jamu gendong tersebut, yakni kunyit, kencur, kedawung, kayu manis, jahe, dan kapulaga.

Liputan6.com, Jakarta - Cengkih menjadi salah satu bahan dasar pembuatan jamu gendong. Selain cengkih, ada pula bahan lain yang wajib digunakan peracik jamu gendong tersebut, yakni kunyit, kencur, kedawung, kayu manis, jahe, dan kapulaga.

Dikutip dari "Jamu Gendong Solusi Sehat Tanpa Obat" oleh Sukini, Jumat, 21 April 2023, cengkih atau Syzygium aromaticum merupakan salah satu rempah yang sangat terkenal sejak berabad-abad lalu. Cengkih pernah menjadi komoditas perdagangan yang sangat penting dan berharga mahal di dunia.

Pada akhir abad ke-15, harga 1 kg cengkih di Eropa sama dengan harga 7 gram emas. Bahkan, pada abad ke17 dan ke-18 di Inggris harga cengkih sama dengan harga emas. Itulah sebabnya, banyak negara mengirimkanekspedisi untuk menemukan wilayah asal cengkih dan berbagai jenis rempah-rempah lainnya.

Cengkih merupakan tanaman tahunan. Tinggi tanaman ini dapat mendapai 10–20 meter. Bagian tanaman yang dimanfaatkan adalah bunga dan daun.

Bunga cengkih akan dipanen jika sudah mencapai panjang 1,5--2 cm. Bunga cengkih dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, yakni sebagai bahan pengawet alami makanan, bumbu masak, pengharum ruangan, campuranminuman, dan campuran obat.

Manfaat cengkih untuk kesehatan, adalah untuk obat kolera, campak, sakit gigi, mual dan muntah, pilek, sinusitis, dan batuk. Cengkih juga bermanfaat untuk menghangatkan tubuh, meringankan infeksi saluran pernapasan, menyehatkan jantung, mencegah rambut rontok, meningkatkan sistem pencernaan, hingga untuk mencegah peradangan.

 

2 dari 4 halaman

Konsep Jualan Jamu Gendong

Jamu gendong dipasarkan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol. Kemudian, botol-botol disusun di dalam bakul. Penjual jamu biasa menggendong bakul tersebut saat berjualan. Inilah alasan jamu ini dikenal sebagai jamu gendong.

Penjual jamu gendong juga menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari. Mereka kebanyakan adalah perempuan lantaran dulu tenaga laki-laki lebih diperlukan untuk bertani.

Konsep berjualan dengan menggendong barang dagangan ini menjadi sesuatu yang terbilang menarik. Penjual jamu gendong biasa menggendong bakul jamunya dengan kain panjang, baik kain batik maupun lurik, sebagai salah satu ciri khas perempuan Jawa ketika membawa sesuatu.

Disebutkan, tidak hanya penjual jamu gendong yang membawa dagangannya dengan cara digendong. Dulu, penjual aneka jajanan, seperti nasi pecel dan nasi liwet umumnya juga berjualan dengan menggendong dagangannya.

Para perempuan Jawa, khusus pada zaman dahulu atau di daerah pedesaan, pun membawa aneka barang dengan cara menggendongnya, seperti membawa kayu bakar, air di dalam jerigen, bahan-bahan pangan, dan hasil pertanian. Inilah yang menjadi asal-usul jamu gendong di Indonesia.

3 dari 4 halaman

Makna Menggendong Jamu

Ternyata ada makna dari membawa sesuatu dengan cara digendong ini. Menggendong identik dengan seorang ibu yang membuai bayinya dalam gendongan. Karena itu, para perempuan Jawa yang membawa barang dagangannya dengan cara digendong dimaknai mereka membawa barang dagangan seperti halnya membawa anaknya sendiri.

Barang dagangan merupakan sarana mencari rezeki sehingga harus dibawa dengan baik, ditawarkan dengan baik, dan disajikan dengan baik. Rezeki pun dicari dengan niat dan cara yang baik. Dengan demikian, usaha mencari rezeki dan apa yang didapat diharapkan memperoleh berkah dari Tuhan.

Selain dijajakan langsung, jamu juga dijajakan di kedai yang biasanya berbentuk sachet, tablet, kaplet, dan kapsul yang biasanya diproduksi di pabrik-pabrik jamu berskala sedang atau besar. Jamu Air Mancur, Nyonya Meneer, atau Djamu Djago adalah contoh perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang produksi jamu. Jamu-jamu ini tentu kalah segar dengan yang dibuat oleh penjual jamu gendong. 

4 dari 4 halaman

Ritual Sebelum Meracik Jamu

Diyakini bahwa tradisi meracik dan meminum jamu telah ada sejak ratusan tahun silam pada masa kerajaan Hindu dan Buddha. Seiring zaman berganti, orang-orang keraton mulai mengenalkan jamu kepada masyarakat luas.

Pengenalan jamu keluar keraton diperkirakan sudah terjadi di periode akhir Kerajaan Majapahit. Kemudian, tradisi berlanjut pada masa kerajaan-kerajaan setelahnya dan terus berjalan hingga pada masa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Dulu, jamu hanya dibuat oleh orang-orang yang dianggap mempunyai kekuatan spiritual, seperti wiku atau dukun. Pada masa itu, praktik-praktik pengobatan banyak dilakukan oleh wiku. Para wiku ini umumnya mengobati menggunakan ramuan jamu dan doa-doa.

Para wiku sering kali mengirimkan jamu racikannya kepada orang-orang yang membutuhkan atau berdasarkan pesanan. Saat itu, jamu dikirimkan melalui para laki-laki yang menjadi utusan. Sementara, penjualan jamu dengan cara digendong diperkirakan telah dimulai pada masa Kerajaan Mataram Islam.

Seiring waktu, permintaan terhadap jamu kian meningkat sehingga pengirimannya ke berbagai tempat pun dilakukan teratur. Sampai akhirnya, penjualan jamu ke desa-desa terus berkembang. Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang berjualan jamu secara berkeliling, baik laki-laki maupun perempuan.

Â