Sukses

Diduga Pakai Tenaga Kerja Paksa di Xinjiang China, CEO Nike dan Adidas Dipanggil Kongres AS

Selain Nike dan Adidas, Kongres AS juga memanggil dua entitas usaha buatan China yang beroperasi di Amerika Serikat untuk mengklarifikasi dugaan keterlibatan mereka dalam praktik kerja paksa di Xinjiang, China, yang memiliki populasi etnis muslim Uighur terbesar.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pelaku industri fesyen global menghadapi tuduhan bahwa mereka menggunakan tenaga kerja paksa atau bahan baku dari daerah yang mempraktikkan sistem kerja demikian dalam proses produksinya. Sekelompok anggota kongres Amerika Serikat akhirnya berkirim surat kepada CEO Adidas, Nike, Shein, dan aplikasi belanja China, Temu, untuk mengklarifikasi langsung soal rantai pasok mereka.

Mengutip laman news.co.au, Rabu, 3 Mei 2023, dalam surat yang dikirimkan pada Selasa, 2 Mei 2023, House Select Committee on the Strategic Competition antara Amerika Serikat dan Partai Komunis China mengutip kesaksian saksi bahwa Nike dan Adidas diduga mengambil bahan dari wilayah Xinjiang China, yang mungkin melanggar hukum AS. Xinjiang merupakan wilayah yang didiami sebagian besar etnis Uyghur yang disebut direpresi pemerintah China.

"Kami ingin menawarkan" Nike dan Adidas "kesempatan untuk menanggapi tuduhan serius ini dan untuk memberikan informasi mengenai" kepatuhan terhadap Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur, bunyi surat yang dilihat AFP itu.

Komite juga meminta jajaran eksekutif Temu dan Shein, situs belanja pakaian, untuk menjelaskan bagaimana mereka memverifikasi kepatuhan rantai pasok mereka berdasarkan UU yang berlaku di AS. Agenda hearing itu direncanakan untuk digelar pada pekan ini.

Surat kepada sejumlah petinggi label tersebut datang hanya sehari setelah kelompok bipartisan terpisah dari anggota Kongres AS mendesak regulator sekuritas untuk meminta Shein membuktikan bahwa pihaknya tidak menggunakan tenaga kerja paksa China sebagai syarat penawaran umum.

2 dari 4 halaman

Perkembangan Agresif Bisnis Shein di AS

Berdasarkan laporan, Shein yang bisnisnya berkembang pesat itu disebut menggunakan kapas yang dihasilkan di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang. Hal itu mendorong dua lusin anggota parlemen mendesak Kepala Komisi Sekuritas dan Saham AS segera bertindak.

"Shein secara agresif mengumpulkan modal dan berencana untuk melakukan IPO sebelum akhir tahun kalender ini," kata mereka dalam surat tertanggal 1 Mei 2023.

"Kami meminta Anda menetapkan peraturan dan mandat Shein untuk menyatakan melalui verifikasi independen bahwa perusahaan tidak menggunakan kerja paksa Uyghur sebagai syarat terdaftar untuk menerbitkan sekuritas di Amerika Serikat."

Sebelumnya, dikutip dari kanal Global Liputan6.com, VOA Indonesia melaporkan bahwa Amerika, Kanada, Inggris, Belanda dan berbagai kelompok hak asasi manusia menuduh China melakukan genosida terhadap warga Uighur, dengan rezim yang mencakup aksi pemenjaraan massal dan kerja paksa, pendirian kamp "pendidikan ulang" besar-besaran, sterilisasi paksa, pengawasan secara menyeluruh terhadap warga Uighur, serta pemisahan anak-anak dari keluarga mereka.

China telah membantah berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan tegas. "Kami telah berulang kali menegur kebohongan-kebohongan AS terkait Xinjiang," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian dalam konferensi pers pada Kamis, 2 Juni 2022.

3 dari 4 halaman

Tanggapan Shein atas Tuduhan Terlibat Praktik Kerja Paksa

Pengiriman surat pemanggilan itu diinisiasi oleh anggota Partai Demokrat Virginia Jennifer Wexton dan anggota Partai Republik Tennessee John Rose, serta ditandatangani oleh 24 anggota DPR. Tuduhan itu pun ditanggapi serius oleh Shein.

Seorang juru bicara Shein mengatakan perusahaan tidak memiliki pemasok di wilayah Xinjiang dan tidak 'menoleransi' kerja paksa. "Kami menganggap serius visibilitas di seluruh rantai pasokan kami, dan kami berkomitmen untuk menghormati hak asasi manusia dan mematuhi undang-undang setempat di setiap pasar tempat kami beroperasi," kata juru bicara itu.

"Pemasok kami harus mematuhi kode etik yang ketat yang selaras dengan konvensi inti Organisasi Perburuhan Internasional."

Didirikan pada 2008 di China dan saat ini berbasis di Singapura, Shein disebut sebagai contoh fast fashion. Perusahaan itu memanfaatkan TikTok dan platform online lainnya untuk memasarkan barang-barangnya.

Langkah pemanggilan Kongres AS lebih dulu dilakukan kepada TikTok. Pada Kamis, 23 Maret 2022, CEO TikTok, Shou Zi Chew, terpaksa menjelaskan hubungan perusahaannya dengan China, serta perlindungan bagi pengguna muda TikTok di depan sidang kongres bersama Komite DPR untuk Energi dan Perdagangan AS. Sidang digelar di tengah gencarnya upaya bipartisan untuk melarang penggunaan TikTok di Amerika Serikat karena alasan keamanan nasional.

4 dari 4 halaman

Muslim di China Dilarang Berpuasa

Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta pemerintah Indonesia dan negara-negara dunia untuk mengutuk dan membawa dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menimpa umat Muslim di Uighur, China ke Mahkamah Internasional.

"Perbuatan China melarang umat muslim di Tiongkok berpuasa adalah tindakan keji dan tidak menghormati agama Islam sebagai agama yang sah diakui oleh peradaban umat manusia di dunia," kata Wakil Bendahara DPP PII, Furqan Raka dalam keterangan diterima Sabtu, 1 April 2023, dikutip dari kanal Islami.

Furqan menyebut langkah melarang muslim di China untuk berpuasa adalah bukti nyata permusuhan terhadap Islam dan tidak menutup kemungkinan juga terhadap agama-agama lainnya. Menurut catatan DPP PII, terdapat 11,4 juta Muslim Hui China, sebuah komunitas dekat etnis China yang telah mempertahankan keyakinan Muslim mereka selama berabad-abad.

Mereka saat ini berada dalam situasi berbahaya sebab kepecayaan mereka dipaksa dihapus oleh otoritas setempat. Beberapa kelompok dan penggiat HAM internasional, termasuk jaringan pembela HAM China dalam laporannya menyebut, umat muslim di Tiongkok meski tercatat sebagai warga negaranya, telah diidentifikasi oleh sebagai ancaman yang harus diselesaikan melalui asimilasi paksa.

"Ini sangat kontras dengan kebebasan beragama yang mereka nikmati sebelum Presiden Xi Jinping melancarkan serangan baru terhadap ibadah agama, memaksa orang Kristen, Muslim, dan Budha untuk tunduk pada kontrol partai dan penyensoran kehidupan beragama," jelas Furqan.