Liputan6.com, Jakarta Pengelolaan sampah yang baik dan efektif adalah kunci untuk menjaga lingkungan kita tetap sehat dan lestari. Dengan semakin meningkatnya masalah lingkungan yang serius seperti polusi udara, pencemaran air, dan perubahan iklim, pengelolaan sampah yang tepat tidak boleh diabaikan.
Desa Adat Cemenggaon di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, telah mengimplementasikan langkah-langkah pengelolaan sampah yang sangat sistematis. Seluruh warga desa yang terdiri dari 350 Kartu Keluarga (KK), telah memilah sampahnya secara mandiri selama tiga tahun terakhir.
Wayan Balik Mustiana, Ketua Badan Pengelolaan Sampah Desa Adat Cemenggaon berkata, "Kami ada program namanya PESAN PEDE, Pengelolaan Sampah Mandiri Pedesaan. Itu ada empat syaratnya," jelasnya kepada Liputan6.com saat diwawancarai pada Selasa, 9 Mei 2023.
Advertisement
Pertama, seluruh warga harus memiliki paling tidak dua tong sampah di rumahnya masing-masing. "Ini untuk memisahkan sampah secara lansung, memilah pada saat pembuangan," jelas Balik.
Dua tong sampah tersebut untuk memisahkan sampah organik dan anorganik. Namun, Balik menganjurkan warga untuk memiliki tiga atau lebih tong sampah, untuk memisahkan sampah anorganik menjadi sampah plastik yang dapat didaur ulang dan sampah residu.
Kedua, setiap rumah harus memiliki teba modern, sebuah lubang berkedalaman dua meter di halaman rumah untuk mengurai sampah organik. Balik melanjutkan, "Harus ada bank sampah aktif untuk menampung sampah anorganik."
Warga diimbau untuk menyetorkan sampah anorganik satu kali perbulan ke Bank Sampah Sami Asri milik desa. Warga juga bisa menarik uang langsung dari konversi bank sampah atau menabungnya di buku tabungan.
Terinspirasi Kearifan Lokal
Terakhir, harus ada peran langsung dari Desa Adat. Balik menjelaskan, "Karena di Bali ada empat upacara besar, jadi ada yang menampung sampah di pura." Selain itu, dibuatkan juga sebuah sistem komposter untuk memproses sampah organik.
Konsep teba modern untuk mengurai sampah organik yang diusung Balik dan segenap Badan Pengelolaan Sampah Desa Adat Cemenggaon sebetulnya terinspirasi dari kearifan lokal Bali. Dalam arsitektur tradisional Bali, setiap rumah memiliki teba, yaitu bagian belakang rumah yang dikhususkan untuk bercocok tanam dan membuat kandang untuk hewan ternak.
"Dulu sebelum ada plastik, orang-orang tua buang sampah langsung di teba, tidak masalah karena langsung terurai di tanah," jelas Balik yang juga merupakan seorang pengrajin daerah.
Dengan hadirnya plastik, kini kita tidak dapat lagi membuang sampah langsung ke halaman. Badan Pengelolaan Sampah kemudian berinisiatif memodifikasi teba menjadi versi modernnya dengan membuat lubang tertutup dengan lebar 80 cm dan kedalaman dua meter yang terbuat dari beton atau batako di setiap rumah.
Lubang tersebut dapat dibuat tersembunyi di balik potongan batu ubin di jalan. "Ini kami buat supaya tidak bau dan tidak mengganggu keindahan," ucap Balik.
Advertisement
Digunakan Sebagai Media Tanam
Saat ini, sudah ke-350 KK di Desa Cemenggaon sudah memiliki teba modern di rumahnya. "Dari 350 KK itu, 290 KK sudah punya dua lubang, tinggal 60 lagi," ujar Balik. Memiliki dua teba dinilai akan membuat proses penguraian sampah organik lebih maksimal, karena ketika satu lubang sudah penuh, warga dapat mengisi lubang yang lainnya.
Sampah organik yang dimasukkan ke dalam teba modern membutuhkan waktu sekitar lima sampai enam bulan untuk terurai secara alami menjadi tanah subur. "Sekali panen bisa sampai enam kampil (karung) beras. Kalau mau warga pakai silakan, kalau nggak ya kita yang ambil," ujar Balik. Namun, tanah subur itu biasanya langsung dipakai warga sebagai pupuk atau media tanam untuk menanam aneka tumbuhan.
Di Bali dan Desa Adat Cemenggaon terutama, sampah organik memang mendominasi karena banyaknya tradisi yang memerlukan canang atau sesajen sehari-hari, yang biasanya terdiri atas bunga-bungaan dan tumbuhan. "Dengan adanya teba modern, 60-70 persen sampah sudah tertangani," ucap Balik.
Sementara sampah organik tertangani dengan teba modern, sampah anorganik seperti plastik, botol, logam, dan kertas diserahkan ke bank sampah desa untuk didaur ulang. Selain itu, sampah residu yang tidak dapat didaur ulang seperti pembalut, pampers, dan styrofoam dipungut untuk diserahkan ke TPA Temesi Gianyar.
Rutin Mengangkut Sampah Residu ke TPA
Balik mengatakan, "Sama BPS secara rutin diangkut setiap hari Minggu pagi, mulai jam 5 sampai 8 pagi di beberapa halte-halte." Sampah diangkut menggunakan mobil bak dan dipasangkan pengeras suara yang berbunyi “Residu, residu” disertai dengan lagu berbahasa Bali yang memiliki makna menjaga kelestarian lingkungan.
Menurut Balik, pengelolaan sampah ini penting mengingat setiap harinya, semua warga akan selalu menghasilkan sampah. "Misalnya setiap KK menghasilkan 4 kilo sampah perhari, dikali 350 sudah 1,2 ton. Dikali 30 hari, ada 40 ton sampah per bulan," jelas Balik.
Ia juga berpendapat bahwa penanganan sampah yang sukses ada pada proses pemilahan. Ia mengatakan, "Kapan tidak memilah (sampah), itulah kegagalan. Kalau sudah terpilah, itu akan tersistem."
Sejak 2011, Desa Cemenggaon telah mendirikan Forum Peduli Lingkungan dan sejak 2016 telah membuka bank sampahnya. Untungnya seluruh warga kooperatif dengan program ini dan mendapat banyak tanggapan positif. Desa Cemenggaon juga menjadi contoh bagi desa, organisasi, dan sekolah di Bali untuk menerapkan sistem teba modern.
Balik juga mengingatkan perlunya ada kesadaran diri dari setiap orang untuk melakukan pemilahan sampah mulai dari skala terkecil, yakni rumah sendiri. "Berhenti berdebat masalah sampah. Ayo kita bertanggung jawab dengan sampah sendiri," tutupnya.
Advertisement