Liputan6.com, Jakarta - Buku adalah jendela ilmu, buku jendela dunia. Pepatah terkenal itu sampai sekarang masih sering terdengar diucapkan para pendidik dan orang-orang sukses yang berhasil menggapai cita-citanya. Seiring waktu, buku yang tadinya berwujud fisik kertas berubah digital dalam bentuk file hingga bisa dibaca melalui gawai.
Perkembangan teknologi yang pesat telah mengubah banyak hal, termasuk buku. Masa pandemi yang sulit dengan segala keterbatasannya ikut mempercepat digitalisasi termasuk bagi para penerbit buku untuk mengubah strategi bisnisnya.
Baca Juga
Penjualan buku tak berpusat di toko buku saja, tapi marketplace dan saluran digital lainnya. "Separuh anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) sudah 50 persen bertransformasi ke format digital," sebut Ketua Umum IKAPI, Arys Hilman melalui sambungan telepon kepada Liputan6.com, Jumat 12 Mei 2023.
Advertisement
Arys mengungkapkan perubahan itu adalah keniscayaan dan adaptasi di industri penerbitan buku sebenarnya sudah jauh lama dilakukan. Selain buku digital ada pula audio book serta buku digital generasi ke-4 yang sudah cukup lama eksis.
Sekarang ini bentuk paling mudah yang bisa diakses masyarakat dalam format PDF. Tapi ada pula buku digital yang disertai gambar animasi, dipilih seberapa besar ukuran hurufnya hingga dengan jentikan jari dapat zoom in maupun zoom out. Hal tersebut ikut membawa ketertarikan membaca anak-anak, apalagi indeks literasi Indonesia masih terbilang jauh dibandingkan negara lain.
"Sudah sangat maju dan terutama buku sekolah pendidikan, ada animasinya dan lebih interaktif, responsif dan menarik sehingga anak-anak bisa lebih tertarik memahami isinya," sambungnya Arys.
Tantangan Pembajakan di Dunia Buku
Lebih jauh Arsy menjelaskan, bentuk digital buku kini makin mudah diakses masyarakat. Namun di sana pula pembajakan yang merugikan penerbit buku semakin mudah dilakukan oleh oknum yang ingin mencari keuntungan.
"Dulu pelan, penerbit menyesuaikan diri. Tapi walau sudah berusaha keras tetap ada pembajakan dan pembajakan itu makin marak," sebutnya.
Survei dari IKAPI menyebutkan 50 persen penerbit menemukan bahwa buku-bukunya dibajak. Hal ini terjadi lantaran buku digital mudah untuk dibagikan. Sementara yang seharusnya tetap harus ada digital rights management, bahkan di perpustakaan tidak bisa diundu dan dibagikan ke orang lain.
"Di dunia teknologi yang ada penyelesaiannya tapi tetap ada celah," katanya lagi.
Selain itu ada pula sekalangan orang yang masih permisif dengan membeli buku bajakan. Di banyak ulasan serta ruang tanya jawab marketplace hal itu bisa terlihat ketika pembeli buku menanyakan kepada penjual apakah buku-bukunya terbitan asli.
Advertisement
Penjualan Buku Konvensional Masih Mendominasi
Diungkapkan Arys, pangsa pasar orang dalam membeli buku fisik kertas masih terbilang dominan dibanding buku digital. Alasannya ada wangi kertas, bisa dikoleksi dan menjadi aksen ruangan.
Survei IKAPI pada 2020 menyebut penjualan buku digital di Indonesia masih kurang dari 10 persen. Di dunia buku digital penjualannya masih sekitar 20 persen. Sama halnya dengan Indonesia, bahkan di seluruh dunia penjualan buku kertas tetap mendominasi.
"Saat pandemi ada lonjakan buku digital, paling besar audio book. Di Finlandia (yang terkenal tinggi indeks literasinya) bahkan naik 200 persen, tapi penjualan buku cetak juga naik," jelas Arys.
Sama halnya dengan Amerika dan Jepang yang indeks literasinya cukup tinggi, penjualan buku digital dan buku konvensional ikut meningkat. Sementara di Indonesia penjualan buku digital ikut meningkat, tapi buku cetak justru anjlok sehingga pendapatan buku digital tidak bisa mencukupi bagi para penerbit.
Krisis penjualan buku dirasakan penerbit buku di Indonesia selama pandemi. Hal ini ikut diperparah dengan disrupsi digital, di mana tindakan pembajakan makin permisif dan mudah dilakukan.
Dunia Buku Beradaptasi dengan Pembacanya
Ibnu Wahyudi, Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan SUSS, Singapura mengatakan, perubahan industri buku yang saat ini terjadi tidak mudah diramalkan bentuknya di masa depan. Begitu juga dengan buku, sebuah keniscayaan bahwa nanti buku tidak lagi diproduksi karena semua telah didigitalisasi.
"Sebagai perbandingan, toko musik sekarang tinggal sejarah. Akankah dunia perbukuan mengalami nasib serupa? Sangat mungkin meskipun sebagian orang tetap terperangkap dalam “kenikmatan” memegang dan membaca buku secara fisik daripada melalui layar ponsel atau komputer," ungkap Ibnu, dalam wawancara tertulis dengan Liputan6.com, Jumat 12 Mei 2023.
Mengenai minat terhadap bacaan, ia mengatakan tidak secara langsung berhubungan dengan perubahan publikasi yang diakibatkan oleh teknologi digital tersebut. Minat baca lebih berkaitan dengan pengondisian dunia literasi dan intelektual yang dibangun oleh lingkungan terdekat seseorang.
Adapun mengenai cara menaikkan minat baca, selain dunia pendidikan yang seharusnya memberi stimulus kepada para siswa untuk senang membaca karena banyak manfaat yang diperoleh dari membaca. Menurutnya lingkungan keluarga menjadi faktor sangat penting.
Namun hal ini tentu harus dibedakan dengan membaca sekadar untuk kepentingan komunikasi karena membaca bagi asupan intelektualitas dapat melampaui permasalahan bentuk yang menampung tulisan atau suatu teks. "Sedangkan bagi penulis atau perpustakaan, saya kira lebih lentur dalam menyikapi perubahan teknologi tersebut," sambungnya.
Perpustakaan pun saat ini menurutnya tidak hanya menampung dan menyimpan karya-karya tercetak tetapi sudah mengakomodasi karya-karya berbentuk digital. Sedangkan para penulis atau kreator, pasti akan beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan dinamika teknologi yang terjadi.
"Seperti sekarang saja, adanya twitterature atau “novel internet” umumnya pada dasarnya merupakan tanggapan para penulis terhadap perkembangan teknologi publikasi tersebut," paparnya.
Advertisement