Liputan6.com, Jakarta - Cathay Pacific Airways telah memecat tiga pramugari setelah ada keluhan bahwa mereka mendiskriminasi penumpang yang tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka dipecat setelah klip audio awak kabin yang tampaknya mengejek penumpang menjadi viral.
Dikutip dari BBC, Kamis, 25 Mei 2023, maskapai penerbangan terbesar Hong Kong ini meluncurkan penyelidikan internal dan meminta maaf karena menyebabkan "kekhawatiran luas". Media pemerintah China mengklaim maskapai itu "meremehkan orang China daratan".
Kejadian bermula dari seorang penumpang yang bepergian dari Chengdu ke Hong Kong mengatakan awak kabin mengejek penumpang yang secara keliru meminta "karpet", bukan "selimut". Dalam klip audio, seorang pramugari terdengar tertawa ketika dia memberi tahu rekan-rekannya.
Advertisement
"Jika Anda tidak bisa mengatakan selimut dalam bahasa Inggris, Anda tidak bisa memilikinya. Karpet ada di lantai," kata pramugari itu.
Insiden tersebut menuai banyak kritik di media sosial di China. Beberapa warganet menyerukan boikot terhadap Cathay Pacific.
Kepala eksekutif Hong Kong John Lee juga mengatakan insiden itu telah "melukai perasaan rekan senegaranya di Hong Kong dan daratan". CEO Cathay Pacific Ronald Lam meminta maaf atas insiden tersebut.
Ia secara pribadi akan memimpin satuan tugas untuk meninjau terhadap kode etik perusahaan. Cathay Pacific telah mencoba untuk kembali mendapatkan keuntungan karena wilayah tersebut menghapus batasan pandemi yang tersisa.
Maskapai itu terpukul keras oleh aturan karantina yang ketat dan penutupan perbatasan. Kebijakan tersebut menyebabkan pemutusan hubungan kerja besar-besaran pada 2020 di puncak pandemi.
Â
China Pasar Utama
Karena itu, maskapai ini tidak dapat mengasingkan China, kata Greg Waldron yang meliput industri kedirgantaraan di situs berita penerbangan online FlightGlobal. "Cathay sangat bergantung pada China, yang merupakan pasar utama bagi perusahaan untuk perjalanan masuk ke Hong Kong, serta lalu lintas transit ke jaringan Cathay yang lebih luas," katanya kepada BBC.
Merek-merek besar seperti H&M, Nike, Adidas, dan Puma semuanya merasakan beban reaksi yang dipicu oleh media sosial di China atas ketidakpekaan budaya atau kontroversi politik.
"Siapa pun yang menyinggung rakyat China harus bersiap untuk membayar harganya," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying pada 2021 ketika ditanya tentang perusahaan Barat yang menghadapi boikot setelah mengungkapkan keprihatinan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Provinsi Xinjiang.
Hubungan antara Hong Kong dan China telah tegang sejak 2019, ketika protes massa meletus atas RUU ekstradisi yang diajukan oleh Beijing, yang memungkinkan tersangka dari Hong Kong dikirim ke China untuk diadili. Menanggapi demonstrasi tersebut, China mengesahkan undang-undang keamanan nasional kontroversial yang mengkriminalkan subversi.
Advertisement
Hubungan Tegang
Beijing mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk membawa stabilitas ke kota. Kritikus mengatakan itu dirancang untuk meredam perbedaan pendapat, dan melemahkan otonomi Hong Kong.
Lebih dari 250 orang telah ditangkap berdasarkan undang-undang tersebut sejak diberlakukan, dengan sebanyak 30 orang dihukum. Carolyn Cartier, seorang profesor studi Asia di University of Technology Sydney, mengatakan bahwa biasanya titik api antara Hong Kong dan China berputar di sekitar bahasa dan perbedaan keyakinan politik.
Cartier, yang sering bepergian ke kedua tempat tersebut untuk bekerja, mengatakan berbicara dalam bahasa Kanton dipandang sebagai "simbol kesetiaan pada budaya Hong Kong". "Hong Kong dipandang sebagai pusat keuangan yang gemerlap dan glamor," katanya kepada BBC.
Cartier juga menerangkan, "Ini bukan tentang siapa yang berasal dari Hong Kong atau siapa yang berasal dari China. Ini tentang siapa yang cukup cerdas untuk belajar tentang budaya, dan menjadi cukup kosmopolitan untuk berada di sana".
Gunakan Bahan Bakar Berkelanjutan untuk Tekan Emisi Karbon
Cathay Pacific, telah bekerja sama dengan State Power Investment Corporation (SPIC) untuk mendorong pengembangan rantai pasokan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF) di China daratan. Pada Maret 2023, SPIC dan Cathay Pacific menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) yang mencakup empat pabrik SAF di bawah SPIC.
Disaksikan Ketua SPIC Qian Zhimin dan Wakil Presiden Chen Haibin, Chief Executive Officer Cathay Pacific Group Ronald Lam, dan Chief Operations and Service Delivery Officer-designate Alex McGowan, MoU ditandatangani Ketua SPIC International Finance (HK) Co. Ltd. Yin Guoping dan General Manager Cathay Pacific Corporate Affairs Andy Wong di kantor pusat Cathay Pacific di Hong Kong, merujuk keterangan resmi pada Liputan6.com, baru-baru ini.Â
SAF diklaim sebagai bahan bakar penerbangan yang dibuat dari bahan baku berkelanjutan dan dapat mengurangi emisi karbon selama siklus hidupnya. SAF dibuat dari berbagai bahan baku, seperti minyak jelantah, limbah padat, limbah kayu, tanaman cepat tumbuh, dan ganggang, menurut perusahaan minyak dan gas BP.Â
Saat ini, industri penerbangan sangat membutuhkan bahan bakar jet karena memiliki kepadatan energi yang tinggi dan memungkinkan penerbangan jarak jauh. Namun, di sisi lain, penggunaan bahan bakar jet secara tradisional meningkatkan emisi karbon. Dengan SAF, emisi karbon diklaim dapat berkurang hingga 80 persen selama siklus hidup bahan bakar, tergantung pada bahan baku dan metode produksinya.
Â
Advertisement