Liputan6.com, Jakarta - Indonesia kaya akan ragam tanaman obatnya, khususnya untuk membuat jamu yang telah menjadi warisan leluhur. Untuk melestarikaannya tak hanya dengan terus mengonsumsi jamu sebagai bagian keseharian.
Keberadaan Kampoeng Djamoe Organik (KaDO) di area Cikarang yang kini sedang dipindahkan ke daerah Sukabumi, Jawa Barat ini merupakan pengembangan selanjutnya dari pemikiran Martha Tilaar. Tentu publik sudah mengenal sosoknya yang menciptakan salah satu merek jamu di Indonesia.
Baca Juga
Mengutip dari laman resmi Kampoeng Djamoe Organik, Kamis (1/6/2023), KaDO adalah kebun botani yang khusus mengelola dan melestarikan tanaman berkhasiat obat asli Indonesia. Tempat ini telah dirintis lebih dari 10 tahun lalu oleh Martha Tilaar.
Advertisement
Tujuannya ingin memberikan dampak bagi upaya pelestarian budaya, sumber daya hayati dan sekaligus sebagai pusat pendidikan lingkungan. Dengan koleksi sekitar 650 spesies tanaman obat, kosmetik, dan aromatik (OKA), kebun ini dikelola oleh para ahli pertanian serta didukung oleh Martha Tilaar Innovation Center (MTIC).
Pada awalnya tempat ini merupakan kebun yang menyediakan koleksi tanaman obat. Lambat laun KaDO mulai difungsikan sebagai pusat pendidikan lingkungan lentaran memiliki berbagai koleksi tanaman obat asli Indonesia yang dibudidayakan secara organik selaras dengan alam.
Di area pasca panen juga terjadi proses penanganan bahan baku tanaman hasil panel hingga menghasilkan bahan yang berkualitas dan berstandar. Kehadiran KaDO memiliki tujuan sebagai salah satu program pelestarian kekayaan alam Indonesia, khusunya Tanaman Obat, Kosmetika dan Aromaterapi (TOKA).
Di mana Indonesia memiliki 33 ribu spesies flora yang bisa diteliti untuk kepentingan kecantikan dan kesehatan. KaDO sendiri sudah memulai dengan mengkonservasi dan membudidayakan lebih dari 500 jenis TOKA.
Memanfaatkan Kincir Angin dan Solar Panel Ramah Lingkungan
Dulunya tanah di Kampoeng Djamoe Organik yang berlokasi di Cikarang adalah milik pendiri Martha Tilaar Group, Martha Tilaar. Lantaran ingin memiliki kebun organik sendiri untuk pelestarian Tanaman Obat, Kosmetik, dan Aromatik (TOKA), maka ia pun menggagas berdirinya Kampoeng Djamoe Organik.
Gagasan baik ini direalisasikan sejak 1998 dan diawali dengan pengolahan lahan. Setelah beberapa tahun pengolahan dan penanaman tanaman, lahan hijau Kampoeng Djamoe Organik akhirnya resmi dibuka untuk umum pada bulan Juni 2006.
Pada peresmiannya, hadir juga Ir. Rahmad Witoelar yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Namun sejak 2022, tempat ini dalam proses pemindahan ke area di Sukabumi sehingga saat ini belum kembali menerima kunjungan.
Uniknya, Kampoeng Djamoe Organik ini memanfaatkan windmills atau kincir angin serta solar panel (panel surya) untuk menghasilkan tenaga listrik. Sumber tenaga yang ramah lingkungan ini akan diimplementasikan pada pembuatan pabrik di Cikarang secara bertahap.
Tempat ini selama belasan tahun lebih sempat menjadi sarana edukasi para petani untuk menanam secara organik. Terdapat lebih dari 117 ketua kelompok tani dari berbagai provinsi di Indonesia sudah dilatih di KaDO sejak tahun 2000 lalu melalui kerjasama dengan Kementrian Pertanian.
Proses dari penanaman, panen, hingga pengeringan hasil panen tanaman obat untuk kemudian dijadikan ekstrak. Kegiatan ini jadi sarana edutainment untuk anak sekolah dan orang dewasa.
Â
Advertisement
Kampung Jamu Kiringan di Yogyakarta
Di tempat lain di Indonesia, terdapat pula Desa Wisata Jamu Kiringan. Desa ini derawal dari kebiasaan warganya menanam Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di pekarangan rumah, Dusun Kiringan hingga membentuk citra baru sebagai Desa Wisata Jamu Kiringan.
Seperti namanya, potensi desa wisata yang berlokasi di Kiringan, Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta ini adalah jamu tradisionalnya. Mengutip dari laman Jadesta Kemenparekraf, Jumat, 3 Maret 2023, mulanya , penanaman tanaman obat tersebut hanya bertujuan mempermudah perolehan bahan baku jamu tradisional warga setempat.
Seiring waktu berjalan produk jamu Dusun Kiringan mulai dikenal di daerah sekitar, permintaan minuman tradisional itu pun makin tinggi. Akhirnya, Desa Wisata Jamu Kiringan diresmikan pada 2016. Di sini, pengunjung bisa melihat langsung proses pembuatan jamu tradisional, mulai dari memilih empon-empon, sampai diracik jadi jamu.
Setelahnya, pengunjung boleh meminum jamu racikan mereka sendiri memakai bathok atau dibawa pulang. Mereka dapat berinteraksi langsung dengan ibu-ibu penjual jamu yang sudah selama puluhan tahun menjual jamu dari kampung ke kampung. Tak hanya dalam bentuk konvensional, pihaknya juga mengkreasikan jamu instan bubuk, agar "lebih higienis, serta mudah dibawa serta dikirimkan ke seluruh wilayah Indonesia."Â
Â
Mulanya Kreasi Buruh Batik
Di samping itu, batas konsumsi produk tersebut pun lebih lama daripada jamu tradisional yang cair. Di catatan sejarah, jamu kiringan adalah kreasi buruh batik di Kota Yogyakarta yang diarahkan abdi salem Keraton Yogyakarta untuk alih profesi ketika Belanda hendak hengkang dari Nusantara.
Perempuan diketahui bernama Joparto ini kemudian jadi peramu sekaligus penjual jamu. Dari situ, pendapatnya disebut lebih baik dibandingkan dengan saat ia jadi buruh batik. Karena menjualnya dengan cara digendong, awalnya disebut "jamu gendong."
Dari dua tetangganya yang ikut berjualan, sekarang ada 132 penjual jamu gendong di Desa Kiringan. Bukan cuma mengenal serba-serbi jamu kiringan, pengunjung juga bisa bermalam di homestay di Desa Wisata Jamu Kiringan. Kegiatan ini akan memungkinkan pengunjung merasakan langsung kehidupan di desa, termasuk makan makanan khas setempat.
Dalam catatan sejarahnya, merujuk pada buku Jamu Gendong Solusi Sehat Tanpa Obat yang ditulis Sukini, seperti ditkup 25 Januari 2023, jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan dan dipasarkan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol.Â
Botol-botol jamu itu lalu disusun di dalam bakul. Penjual jamu menggendong bakul tersebut saat berjualan, yang selanjutnya melahirkan istilah jamu gendong. Penjual jamu gendong menjajakan dagangannya dengan berkeliling setiap hari. Mereka kebanyakan perempuan, lantaran dulu tenaga laki-laki lebih dibutuhkan untuk bertani.
Â
Advertisement