Sukses

Asia Tenggara Hadapi Cuaca Panas Ekstrem Pertama dalam 200 Tahun, Suhu di Thailand Tembus 45,4 Derajat Celcius

Cuaca panas ekstrem di Asia Tenggara itu diperparah dengan perubahan iklim yang terjadi secara global. Suhu di Thailand sampai mencetak rekor tertinggi.

Liputan6.com, Jakarta - Bulan April dan Mei biasanya menjadi bulan terpanas di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada periode ini, suhu meningkat drastis sebelum datangnya hujan monsun yang memberikan sedikit keteduhan. Namun tahun ini, Asia Tenggara, terutama destinasi wisata populer seperti Thailand dan Vietnam, mengalami gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada 15 April 2023, Thailand mencatat hari terpanas sepanjang sejarahnya, mencapai suhu 45,4 derajat Celsius. Demikian pula, Laos mengalami dua hari terpanas berturut-turut pada Mei 2023 dengan suhu mencapai puncaknya di 43,5 derajat Celsius, sementara Vietnam memecahkan rekor tertingginya pada awal Mei 2023, mencapai 44,2 derajat Celsius. 

Dikutip dari CNN pada Rabu (7/6/2023), temuan ini didasarkan pada data stasiun cuaca yang dianalisis oleh ahli iklim dan sejarawan cuaca, Maximiliano Herrera. Herrera menyebut periode ini sebagai "gelombang panas paling brutal yang tak pernah berakhir". 

Laporan terbaru dari World Weather Attribution (WWA), sebuah kelompok ilmuwan internasional, menyatakan bahwa gelombang panas pada April di Asia Tenggara merupakan peristiwa yang terjadi sekali dalam 200 tahun dan hampir tidak mungkin terjadi tanpa adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. 

Di Hanoi, Vietnam, pekerja harus bertahan menghadapi panas ekstrem saat menjalankan keseharian mereka. Phong, seorang pengendara sepeda motor dari Vietnam, menghadapi kondisi yang sangat melelahkan saat menavigasi kota yang padat itu selama lebih dari 12 jam sehari. Meskipun menggunakan berbagai upaya untuk menghalangi sinar matahari yang menyengat seperti topi, sapu tangan basah, dan air, suhu yang melampaui 40 derajat Celsius itu sangat mempengaruhi kondisinya. 

Demikian juga, pekerja kebersihan bernama Dinh merasa sulit menghadapi panas ekstrem saat membersihkan jalan, yang menyebabkan bau tidak sedap dan mempengaruhi kesehatannya. Dinh mengatakan "tidak ada cara lain" selain mengubah waktu kerjanya. "Saya mencoba bekerja di pagi hari atau sore dan malam hari saja," katanya.

2 dari 4 halaman

Bahaya Humid Heat Bagi Kesehatan

Panas terik di Asia Tenggara diperparah dengan tingginya kelembaban udara, menciptakan kondisi yang semakin tidak tertahankan dan juga berbahaya bagi kesehatan. Fenomena ini dikenal sebagai humid heat.

Kelembaban udara, ditambah dengan suhu yang ekstrem, membuat tubuh semakin sulit mendinginkan diri. Penyakit terkait panas atau heat-related illness, seperti heat stroke dan heat exhaustion, memiliki gejala yang parah dan dapat mengancam jiwa, terutama bagi mereka yang menderita penyakit jantung, masalah ginjal, diabetes, dan ibu hamil.

"Meningkatnya kelembaban udara akan membuat tubuh terus berkeringat untuk melepaskan kelembaban dan mendinginkan diri. Namun, karena keringat tidak menguap, hal ini akan menyebabkan dehidrasi parah dan dalam kasus yang akut dapat menyebabkan heat stroke dan kematian," ujar Mariam Zachariah, peneliti di World Weather Attribution initiative di Imperial College London.

"Oleh karena itu, gelombang panas yang lembap lebih berbahaya daripada gelombang panas yang kering," tambahnya.

Untuk memahami risiko kesehatan dari cuaca yang panas dan lembab, para ilmuwan sering menghitung “feels-like temperature”, suhu yang menggambarkan bagaimana panasnya udara terasa bagi tubuh manusia ketika suhu udara dan kelembaban udara diperhitungkan, kadang-kadang dengan mempertimbangkan faktor lain seperti angin dingin.

"Feels-like temperature" biasanya beberapa derajat lebih tinggi daripada suhu yang sebenarnya dan memberikan pembacaan yang lebih akurat tentang dampak panas pada manusia.

 

3 dari 4 halaman

Suhu Saat Ini Sudah Melebihi Ambang Batas

Analisis CNN terhadap data Copernicus Climate Change Service  menemukan bahwa antara awal April dan akhir Mei 2023, enam negara di wilayah daratan Asia Tenggara (Thailand, Kamboja, Myanmar, Vietnam, Laos, Malaysia) mencapai suhu yang terasa seperti 40 derajat Celsius atau lebih setiap harinya. 

Angka ini sudah melebihi ambang batas yang dianggap berbahaya, terutama bagi orang dengan masalah kesehatan atau yang tidak terbiasa dengan panas ekstrem.

Gelombang panas pada April hingga Mei di Asia Tenggara menyebabkan kerusakan jalan, memicu kebakaran, menyebabkan penutupan sekolah, hingga membuat banyak orang terluka dan harus dirawat di rumah sakit. Namun, jumlah kematian masih belum diketahui, menurut laporan World Weather Attribution.

Studi tersebut menemukan bahwa, suhu terasa seperti dua derajat Celsius lebih tinggi daripada yang seharusnya jika tidak ada pemanasan global akibat polusi. Jika pemanasan global terus meningkat hingga mencapai 2 derajat Celsius, gelombang panas yang lembap dapat terjadi sepuluh kali lebih sering.

Dalam dua dekade mendatang, jika emisi karbon terus meningkat dengan kecepatan yang sama, jumlah kematian akibat panas di Thailand dapat menjadi 30 kematian per 1 juta penduduk, dan meningkat menjadi 130 kematian per 1 juta penduduk menjelang akhir abad ini.

4 dari 4 halaman

Cuaca Ekstrem Hancurkan Nasib Kelas Pekerja

Kelompok miskin dan rentan menjadi korban paling parah dari suhu ekstrem ini. Anggota masyarakat yang terpinggirkan, yang tidak memiliki akses yang memadai ke layanan kesehatan dan sistem pendinginan, serta yang lebih sering bekerja dalam kondisi panas dan lembap yang ekstrem, adalah yang paling berisiko mengalami stres panas atau heat stress.

Sayangnya, bagi mereka yang bekerja dalam ekonomi informal, tidak masuk kerja satu hari berarti tidak mendapatkan penghasilan. Saat ini, lebih dari 60 persen penduduk di Asia Tenggara merupakan pekerja sektor informal.

Di Thailand, pemerintah merekomendasikan langkah-langkah reaktif, seperti mengimbau agar pekerja tetap berada di dalam ruangan, minum air yang cukup, mengenakan pakaian berwarna terang, dan menghindari beberapa jenis makanan. Namun, tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk melakukannya.

Chaya Vaddhanaphuti, penulis laporan WWA dan dosen geografi di Chiang Mai University Thailand, berpendapat bahwa diperlukan rencana internasional yang kokoh yang dapat melindungi populasi yang lebih rentan dalam menghadapi risiko perubahan iklim yang semakin meningkat. Pemerintah perlu mengembangkan solusi berskala besar, seperti sistem peringatan dini untuk panas, pendinginan pasif dan aktif untuk semua orang, perencanaan perkotaan, dan rencana tindakan untuk mengatasi panas.