Liputan6.com, Jakarta - Industri pariwisata, terutama di Bali, telah diwarnai dengan beragam aksi tak bertanggung jawab dari sejumlah turis asing yang berulah. Berkaca dari insiden tersebut, hadir pula wacana penerapan pajak turis asing hingga pembatasan kuota demi mewujudkan pariwisata berkualitas.
Plt. Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Frans Teguh menyampaikan wacana pajak turis asing hingga pembatasan kuota saat ini masih dalam tahap konsolidasi dengan berbagai kementerian. Pembahasan juga dilakukan dengan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan karena berkaitan dengan pajak.
Baca Juga
"Juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah karena menetapkan kebijakan seperti ini juga harus lebih komperhensif. Ada tahapan sosialisasi sehingga hal-hal seperti ini bisa dimitigasi lebih dini," kata Frans kepada Liputan6.com, Sabtu, 10 Juni 2023.
Advertisement
Frans melanjutkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan mengoordinasi terkait bidang pariwisata dan memastikan sebaiknya ada penerapan pajak turis asing di Bali. Di balik itu, kata Frans, pihaknya ingin menjadikan Pulau Dewata sebagai barometer pariwisata semakin berkualitas.
"Kita harapkan ada kontribusi yang lebih nyata dari wisatawan untuk memastikan alam dan budaya, yang menjadi produk utama yang dikunjungi dan dinikmati tetap terjaga dan terawat," tambahnya,
Frans mengungkapkan, "Sebetulnya, yang paling mendasar saat ini kita mencegah terjadinya wisatawan yang berlebih, artinya pada titik-titik tertentu kita lihat overtourism sudah mulai terjadi. Kita harapkan ini lebih dimininalisir."
Ia menyebut guna melancarkan upaya tersebut, perlu ada peran serta dari wisatawan untuk memastikan kualitas lingkungan, kondisi sosial budaya, dan kualitas kehidupan lokal tetap terjaga. Pihaknya memulai langkah dengan Bali sebagai contoh atau prototyping.
"Agar perkembangan Bali saat ini harus dilihat sebagai cara kita mengembangkan pariwisata yang lebih berkeseimbangan, berkualitas, tetap berkarakter, dan akhirnya tidak hanya terjadi saat ini, tetapi bisa berkelanjutan," terang Frans.
Formulasi Kebijakan
Frans mengatakan, "Wacana ini kita olah dengan formulasi kebijakan dan mudah-mudahan bisa mendapatkan satu pemahaman bagaimana tourist tax dan pembatasan kuota menjadi salah satu cara kita mengembangkan pariwisata lebih berkualitas dan berkelanjutan. Kita harapkan tahun ini (wacana rampung), paling lambat tahun depan sudah kita terapkan."
Dikatakan Frans, dalam pembahasan kedua wacana ini, pihaknya akan memformulasikan exercise yang pas hingga nilai dolar atau rupiah yang harus diterapkan. Hal tersebut tergantung dari jenis kunjungan yang menjadi variabel yang dipertimbangkan.
"Kelompok usia, lama tinggal, preferensi atau tujuan kunjungan sampai ke jenis akomodasi, sesuatu yang kita lihat lebih utuh untuk memformulasikan kebijakan. Kita perlu waktu, kita harapkan tidak menjadi sesuatu yang kalau diterapkan nanti ramai lagi," ungkapnya.
Ia menerangkan, "Harus lihat berbasis kebijakan dan manfaat yang terukur, lihat uangnya lari ke mana, PNBP atau masuk pajak, dispenda kalau daerah. Itu menurut saya business process harus accountable karena kalau tidak, nanti distorsi, bocor sana-sini, menimbulkan ketidakpercayaan."
Pariwisata, disebut Frans, adalah bisnis kepercayaan yang dibangun tidak hanya untuk wisatawan. Mekanisme ini dipersiapkan dengan instrumen accountable dan terukur yang dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Advertisement
Pengaturan dan Pengembangan Pariwisata
Berkaca dari negara-negara yang telah menerapkan pajak turis asing, Frans menjelaskan tujuan hingga seberapa efektif pajak turis asing hingga pembatasan kuota bagi pariwisata. "Kita juga belajar dari negara-negara lain, kita harus punya benchmarking, apakah di Selandia Baru, Jepang, Thailand, Portugal, Kroasia, mereka sampai mengenakan pajak," ungkapnya.
"Karena di Indonesia, ada pajak hotel, namun yang dimaksudkan di sini adalah pajak wisatawan yang kita komunikasikan kepada wisatawan. Kalau lihat seberapa efektif wacana ini, terkait tujuan, saya menggarisbawahi sekali lagi bahwa kita sedang berhadapan dengan kegoncangan global yang memberikan persyaratan yang baik kepada kita agar sumber daya kita dijaga dan dirawat," tambahnya.
Frans menyebut pihaknya berharap pajak wisata benar-benar diarahkan untuk preservasi, perlindungan, konservasi, dan perawatan nilai-nilai budaya. Hal tersebut dilakukan agar sumber daya tetap lestari dan dijaga tetap berkualitas.
"Agar promosi atau kegiatan-kegiatan komunikasi kepada negara lain tetap diperhatikan aspek reputasi pariwisata kita bahwa ini tebangun satu kesadaran untuk menjaga dan berkelanjutan. Dengan adanya pengaturan ini, kita harapkan destinasi-destinasi kita lebih aman, tertib, terawat, dan ada tanggung jawab kualitas pengalaman yang terbaik," jelasnya.
Frans mengungkapkan isu yang paling mendasar dalam pengembangan pembangunan pariwisata adalah soal visitor management. Pengaturan dan pengelolaan pengunjung yang hadir di suatu daerah dan mereka harus mengikuti aturan yang berlaku.
"Supaya dia datang ke tempat kita tidak seenaknya sebagai wisatawan, meski kita membutuhkan mereka karena ada nilai ekonomi, tapi harus respek, ada kode etik, ada local values, ada kearifan-kearifan yang harus dijaga. Peran tidak hanya pemerintah, tapi juga masyarakat dan pelaku (wisata)," kata Frans.
Aturan berwisata menjadi cara paling mendasar untuk memberi kesadaran kepada wisatawan yang datang hanya sementara. "Pariwisata harus diatur dengan mengatur kuotanya, misalnya kapan bisa berkunjung, harus ada keseimbangan dengan resource yang kita miliki," tambahnya.
"Mana kala kita terapkan, saya pikir kualitas atau pengalaman pengunjung bisa kita jaga. Pengaturan pariwisata bukan soal kepuasan wisatawan semata, tapi juga masyarakat lokal, budaya, dan lingkungannya," katanya.
Apa Indikator Suksesnya?
Lantas, apa indikator sukses bila wacana ini diterapkan nantinya? "Kalau lihat dari cara kita mengelola penerapan ini masih wacana, saya kira indikator terbaik kita akan mengukur kualitas pariwisata yang menggunakan pengukuran berkelanjutan, secara ekonomi ada volume, kita lihat berapa pendapatan, perubahan pendapatan daerah, harus diimbangi dengan sosio budaya, harus ada pengukuran terbaik dengan instrumen akurat dari aspek lingkungan," katanya.
Frans menjelaskan pihaknya memotret dan memastikan tiga indikator sebagai bottomline, yakni dari aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologi atau lingkungan, seimbang. "Selaras dengan nilai-nilai yang kita miliki, bahkan kalau bicara Bali, kearifan lokal terkait Tri Hita Karana jadi treasure atau modalitas yang luar biasa," katanya.
"Kita menuju ke pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan dengan local values visitor management yang bagus," terangnya.
Pengamat pariwisata sekaligus akademisi Robert Alexander Moningka setuju dengan penerapan pajak turis asing, terkhusus untuk Bali. "Menurut saya fokus pada 'quality tourist'," kata Bob, begitu ia akrab disapa, kepada Liputan6.com, Jumat, 9 Juni 2023.
"Quality tourist, mereka yang 'spending money' dalam jumlah dana 'besar' dalam setiap aktivitas pariwisata yang ada. Kan targetnya visa," lanjutnya.
Bob mencontohkan Bhutan, ketika wisatawan berkunjung ke sana, telah memiliki tiket pesawat pulang-pergi dan akomodasi selama beberapa hari. "Sehingga minimum spendingnya ketahuan," kata Bob.
Advertisement